Cerpen Reni Asih Widiyastuti (Suara Merdeka, 28 November 2021)
LAGI-LAGI Yana berdiri di balkon itu, memandangi rumpunan ilalang yang terhampar sampai ke batas pantai di depan rumahnya. Tak peduli embusan angin membuat rambutnya terlihat tak beraturan dan dingin menyapu kulitnya.
Sungguh, ia tak mampu melupakan kenangan indah bersama seseorang yang sangat ia dambakan akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Kenangan itu menari lincah di depan matanya tanpa jeda. Sama seperti ketika ia dan lelaki dewasa itu bercengkerama di antara ilalang yang bergoyang.
Waktu itu, saat matahari hendak kembali ke peraduan, meringkuk dan bersembunyi di balik tubuh malam, lelaki itu berbisik lembut dan sesaat setelahnya mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening Yana.
“Aku berjanji pada senja yang baru saja turun, aku akan selalu berada di sampingmu. Aku akan datang tepat waktu setiap kali kau memanggil. Meski aku sedang sakit sekalipun.”
Seketika Yana terkesiap. Gadis berusia enam belas tahun itu merasa degup jantungnya tak beraturan. Seperti ketika murid-murid sedang berebut keluar kelas pada jam pulang sekolah. Berjejalan, lalu ingin bebas lebih dulu dari yang lain.
Yana tak berkata apa-apa setelah itu. Ia hanya merasakan kehangatan luar biasa, menjalar ke seluruh tubuh, seiring kesiur angin yang menerbangkan helaian rambutnya.
Lelaki dewasa itu benar-benar telah membuat Yana seolah-olah kembali memiliki sosok seorang ayah. Sebab ayahnya meninggal kala ia masih dalam kandungan akibat Tuberkulosis kronis. Menurut ibunya, sebagai seorang penggambar, ayahnya memang tak pernah luput meninggalkan rokok. Rokok menjadi teman paling setia saat membuat suatu karya. Apalagi jika sudah dini hari. Selain berperan sebagai teman, rokok juga mampu mengusir kejenuhan. Mungkin lantaran kecanduan dan sering begadang itulah yang menyebabkan sang ayah tak kuasa melawan penyakit ganas tersebut.
Namun, kehadiran lelaki yang dua puluh tahun lebih tua darinya itu ternyata justru membuat batin Yana bergolak. Entah kenapa, sejak lelaki dewasa itu menolong dari tabrakan yang hampir merenggut nyawanya, perasaan aneh muncul tiba-tiba. Lelaki dewasa itu memang lebih pantas dijadikan sebagai ayahnya. Namun, ia menentang itu. Ia harus mengakui bahwa perasaan yang sedang liar mengembara di dalam hatinya adalah cinta.
Yana tidak pernah menceritakan pertemuannya dengan lelaki dewasa itu pada ibunya, karena takut ibunya tidak suka. Jika bertemu pun hanya sebentar. Selalu saat sunset hampir menyapa. Setelah turun dan lenyap di balik langit, lelaki dewasa itu akan pulang. Begitu seterusnya hingga kenyamanan bersarang di dalam hatinya yang bertahun-tahun terasa begitu hampa.
Kini, telah genap dua puluh senja ia nikmati tanpa lelaki pujaan hatinya itu. Ya, lelaki dewasa itu tiba-tiba lenyap begitu saja. Seketika mencuat tanya di dalam hati. Ke manakah perginya? Apakah ia baik-baik saja? Atau barangkali sudah menemukan perempuan lain yang lebih pantas disandang sebagai istri? Ah, entahlah. Namun, terlepas dari semua tanda tanya itu, ia tak pernah alpa melakukan ritual khusus setiap senja turun. Yaitu menatap bayang-bayang siluet tubuh si lelaki, yang seolah-olah nyata di depan mata.
Suatu kali, Yana pernah bertanya pada beberapa orang, apakah pernah melihat lelaki dewasa itu. Menyebutkan ciri-cirinya. Bertubuh tegap. Rambut hitam lurus. Di kedua pipinya ada lesung pipit. Tak lupa selalu menyempatkan diri menyambut sunset. Sayangnya, tidak ada yang tahu keberadaan lelaki dewasa itu. Yana begitu kecewa. Namun, ia tidak lantas menyerah. Besok adalah hari kedua puluh satu lelaki dewasa itu pergi meninggalkannya. Tepat pada hari ulang tahunnya yang ketujuh belas.
Seperti biasa, Yana menanti sunset di tepi pantai sembari menunggu kepulangan ibu. Ya, sejak sang ayah meninggal, ibunya menjual ikan di pasar dari hasil melaut para nelayan. Penghasilannya memang tidak seberapa. Namun, cukuplah sebagai media untuk menyibukkan diri dan berdamai dengan luka. Luka ditinggalkan oleh orang yang teramat berarti dalam hidup. Terbukti dua hari lalu, ibu bercerita bahwa hendak memberikan ayah baru untuknya. Hanya, ia sama sekali tidak diperbolehkan menemui calon ayah barunya. Meski merasa aneh, ia tidak mempermasalahkan hal itu. Terpenting adalah kebahagiaan ibu.
Kaki Yana beberapa kali tersentuh air laut. Ia tenggelam dalam lamun. Riuh camar di kejauhan semakin menambah nikmat suasana. Saat itulah tiba-tiba ada seseorang yang menjejeri dan berkata mengejutkannya.
“Sedang menunggu seseorang, Nak?”
“Eh.”
Ia menoleh dan kaget lantaran kini sudah ada seorang kakek yang duduk di sebelahnya.
“Ia tidak akan kemari lagi, Nak,” kata sang kakek.
“Siapa yang Kakek maksud tidak akan kemari lagi?”
“Lelaki yang sering menemanimu melihat sunset.”
“Kakek tahu dia ada di mana? Tolong beri tahu aku, Kek. Aku sangat merindukannya.”
“Lebih baik kau bunuh perasaan rindu itu, Nak.”
Sang kakek beranjak dan menepuk-nepuk pelan pundak kanan Yana. Ia pergi. Yana berkali-kali memanggil. Namun, sang kakek tetap berjalan tanpa memedulikannya lagi. Sungguh, ia masih tidak mengerti apa maksud dari semua yang dikatakan oleh sang kakek. Ia akhirnya pulang.
Di rumah, Yana bertemu dengan ibunya. Ibunya bilang bahwa satu minggu lagi akan menikah dengan lelaki yang akan menjadi ayah baru untuk Yana. Yana menggeleng keras. Batinnya berperang. Di satu sisi ia memang merindukan sosok ayah. Di sisi lain, ia enggan memiliki ayah lagi. Ibu sudah cukup baginya. Maka, daripada berujung dengan perdebatan, ia memilih tidur.
Satu minggu ternyata begitu singkat bagi Yana. Seperti menjalani satu jam saja. Ini hari kedua puluh delapan sejak lelaki dewasa itu pergi meninggalkannya. Namun, ia tidak bisa menunggu sunset. Hari ini akan dihabiskan dengan kesibukan janji suci dan pesta pernikahan ibunya. Ia berdandan minimalis dan mengenakan kebaya. Ia terlihat begitu cantik dan menyendiri di balkon. Entah sudah berapa lama ia berada di sana. Sampai tiba-tiba ada seseorang memanggilnya.
“Yana, kenapa masih saja di balkon? Lekaslah turun. Tamu-tamu sudah berdatangan. Jangan sampai kau membuat malu ibumu ini di depan banyak orang!”
Perkataan seseorang, yang tak lain adalah ibunya, telah membuyarkan lamunan Yana. Agak berat rasanya meninggalkan balkon, apalagi ia tengah asyik menikmati indahnya sunset.
“Iya, Bu. Sebentar lagi Yana akan turun.”
Sebetulnya Yana amat malas untuk turun. Apa gunanya? Bahkan di bawah sana ada banyak orang. Yana paling benci, jika harus menemui mereka. Ya, ia memang tak suka dengan keramaian.
Yana perlahan turun, menapaki tangga demi tangga dengan langkah lemah. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada seseorang yang sangat ia idam-idamkan itu. Lelaki dewasa yang ia harapkan mampu menjadi pendamping hidupnya.
Saat ia telah tiba di tangga terakhir, lelaki itu menghampirinya, lalu tak lupa mendaratkan kecupan hangat di kening Yana agak lama. Sesaat kemudian, ia menggandeng Yana menuju tempat strategis untuk menyaksikan detik-detik paling berharga yang sudah pasti akan mengubah jalan cintanya.
Yana duduk di antara tamu-tamu undangan. Manik matanya tak lepas dari sosok wanita berkebaya di depannya.
“Yana, sebentar lagi kau tidak perlu memanggil dia ‘Om’ lagi.”
Yana menggigit bibir bawahnya setelah mendengar perkataan ibunya. Ingin rasanya berteriak di antara kerumunan orang dan berlari sejauh mungkin. Tapi, lelaki itu sungguh telah membuat kakinya mati rasa. ***
.
.
Semarang, Juli 2021
—Reni Asih Widiyastuti kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media. Salah satu buku tunggalnya telah terbit, yaitu Pagi untuk Sam (Stiletto Indie Book, Juni 2019).
.
Hari Kedua Puluh Delapan. Hari Kedua Puluh Delapan.
Leave a Reply