Cerpen, Edna S, Singgalang

Titik-titik Segitiga

Titik-titik Segitiga - Cerpen Edna S

Titik-titik Segitiga ilustrasi Singgalang

2.7
(3)

Cerpen Edna S (Singgalang, 12 Desember 2021)

DUA hari lagi pernikahanku akan diselenggarakan. Pesta pernikahan yang sudah lama kunanti-nanti. Pesta yang tak meriah dan cukuplah untuk mengobat rinduku pada seorang lelaki yang pernah tinggal di rumah ibu. Menjelang pesta perkawinan, aku dan keluarga besar mempersiapkan segala hal yang diperlukan, mulai dari alat-alat dapur, perkakas makan, hingga bersih-bersih rumah.

Sebagai calon pengantin yang belum pernah kawin, hari pernikahan merupakan hal yang mendebar-deburkan jantungku. Bagi ibu, ini kali pertama pulangunduh mantu. Aku tak dibiarkan untuk bepergian jauh lagi, padahal lagi ada hal penting yang ingin aku urus sebelum hari baik itu tiba. Ada seorang lelaki yang kupanggil ayah untuk kutemui diam-diam.

Rumah ibu sudah dipasangi berbagai hiasan pengantin, tenda biru putih, janur kuning pelaminan. Aku perhatikan ibu sibuk mondar-mandir memastikan semua sudah oke. Tapi, mengapa ibu tak mau bertanya padaku, adahal yang masih belum oke dan apakah ibu akan menuruti inginku agar ini semakin oke? Aku ragu mengutarakan ingin ini pada ibu, ia benar-benar sudah membuang lelaki yang pernah menjadi suaminya itu. Sementara aku sangat ingin lelaki itu hadir menyaksikan hari bahagiaku sekaligus sebagai wali nikahku. Apakah ini salah?

Malam makin melarut, mataku masih belum tidur sepicingpun. Di bilikku foto ketika aku masih balita dan ayah yang tertawa lepas melihat lensa, segaja aku bingkai akhir-akhir ini. Konon, foto itu sering dipuji ibu, bahwa ayahku begitu tampan dan penyayang perempuan. Tampak ayah mengenakan singlet putih dan celana jeans khas 80-an. Aku juga tak kalah senang dengan menepukkan tangan dirangkul erat oleh tangan berotot itu. Bayangan ayah menggema di bilik-bilik mataku. “Ayah, bagaimanapun engkau harus datang.” Mataku mengembun panas mengusap foto itu.

Aku menyibakkan tirai jendela kamar, aku lihat ibu juga tengah begadang. Ibu sengaja tidak menghidupkan lampu ruangan tamu. Namun, remang rembulan menyinari begitu jelas wajah muram ibu. Aku hampiri beliau, tentu juga tidak menyalakan lampu ruangan. Mengapa selarut ini, perempuan janda tak mau lagi bersuami itu masih belum tidur. Kemudian membiarkan dirinya beradu pandang dengan dinginya udara malam. Aku asumsikan ia memikirkan sesuatu yang sama denganku, tentang ayah.

***

IBU dan ayah adalah pasangan yang saling menaruh kepercayaan. Mereka sangat jarang bertengkar. Keluarga kami begitu hangat dalam kesederhanaan. Ayah yang bekerja sebagai kuli bangunan dan ibu yang menambah keuangan rumah tangga dengan berjualan pecel. Jika terjadi selisih paham, aku yang geli sendiri, bagaimana romantisnya ayah membujuk ibu yang tengah merajuk. Aih, aku cekikikan ketika ayah memperlakukan ibu sama halnya memperlakukan aku ketika tak dapat gula-gula.

Baca juga  Peti Mati Ompung Mate

Di Kota Bukittinggi kami juga mengontrak. Awalnya lagi, menetap di kampung keluarga ibu. Namun, ketika aku masih kecil, mendiang nenek seperti tak pernah suka dengan ayah. Nenek ingin menjodohkan ibu dengan anak Pak Rahmat, anak juragan gambir. Ibu yang sudah menaruh kasih pada ayah, tentu enggan memberikan hatinya pada orang lain. Hati ibu sudah diletak di detak jantung ayah. Mana mungkin tega membuang sayang yang disematkan pada anak kuli kebun itu. Ibu sudah memilih ayah sebagai lelaki yang terjaga dan lelap di sampingnya.

Aku dan Lara selalu membanjir kasih sayang dari ayah. Sepulang dari berkuli ayah tak lupa membelikan makanan ringan, gula-gula, dan paling sering membawakan getuk bikinan Mbak Rum. Lebih lagi, aku sangat senang jajanan itu. Khas rasa masakannya beda dengan masakan tradisional lainnya. Lebih lagi, ayah senang dengan bahasan Mbak Rum. Mahasiswa yang ngontrak tak jauh dari rumah kami. Aku yang baru berumur delapan tahun juga terpukau dengan kebaikan Mbak Rum padaku terutama pada ayah.

Setiap libur pekan, aku selalu dibawa ayah berlibur ke kebun binatang. Lara sengaja tak dibawa, sebab masih kecil. Ibu juga tak mau pergi, sebab setiap Minggu pecelnya selalu ramai dikunjungi pelanggan. Setiap mengunjungi Kebun Binatang, Mbak Rum selalu ikut. Aku yang masih berumur belia tak mengerti betul, mengapa Mbak Rum sering merangkul ayah sembari membimbing tanganku. Sebelum pulang ke rumah, aku jua menyaksikan ayah mengecup kening Mbak Rum dan menyisipkan beberapa helai uang ratusan. Sungguh, ini sangat mirip dengan kecupan yang diberikan ayah pada ibu.

***

LAMUNAN ibu sedemikian berlubuk. Aku sengaja pula membawa sebingkai foto keluarga dan mengambil posisi duduk di kursi kayu buatan ayah.

“Mengapa belum tidur. Tak boleh begadang melarut untuk gadis yang bakal menikah. Tidurlah, besok kita akan memulai pesta.”

Aku malah membuat pernyataan baru, “Aku juga seorang perempuan, Bu. Pertanyaan ibu sejatinya sudah ibu jawab sendiri. Ibu memikirkan ayah, bukan?”

Aku kembali melirikkan foto dalam genggaman untuk dilirik ibu. Setiap membahas perkara ayah, ibu selalu memalingkan muka, diam sedingin es. Aku tau bagaimana perasaan sakit yang ditikam ayah di hati perempuan ini.

Tikaman yang sangat menusuk, menjalari racun di darah-darah kebenciannya. Sebagai calon istri, tentu aku tau pula apa alasan ibu, untuk lama menerima lamaran kekasihku, Irfan. Tak lain, ibu tak mau melupakan kejadian keji yang dibuat ayah. Aku tau, luka-luka itu takkan sembuh dan mungkin akan kambuh.

Meski demikian, aku tetap meletakkan ayah menjadi cinta pertamaku. Ayah memang meninggalkan ibu, tetapi ayah tak pernah meninggalkan aku dan Lara. Mengapa ibu tega, tak memberi walau sebuih agar ayah dapat kutemui?

Baca juga  Bidadari yang Tersesat di Neraka

“Aku bukan anak kecil lagi, yang boleh menangis tanpa bertindak, Bu. Bagaimanapun pula beliau adalah ayahku. Ayahku masih hidup, tak dapat diganti dengan wali atau orang lain. Ibu, bisakah ayah menjadi wali nikahku? Beliau juga harus ada di rumah ini, darah dan dagingku dialiri bibit dari ayah pula. Bu, aku sayang ayah seperti ibu sayang aku.” Aku raih tangan ibu yang gemetar mendengar pernyaataan—yang mungkin sedang mengoyak luka hatinya.

Tanganku dikibas ibu, hati perempuan ini memang sudah mengkristal kedendaman, “Kamu sudah dewasa, Lin. Seharusnya sudah paham. Aku tak sudi melihatnya, apalagi bertemu pada pernikahan anakku. Aku tak ingin menghadirkan neraka lagi ke rumah ini. Hatiku sakit tak terperi, Elina. Kau tau mengerti ratap tangis yang kusembunyikan. Gelak tawa yang sering kau lihat adalah getir penuh kabut. Paham apa kau tentang derita seorang ibu yang membesarkan anak tanpa bapak? Tidurlah, jangan bahas lagi dia.”

Aku saksikan mata ibu sudah berserak air. Bibirnya gemetar tangannya di kepal begitu kuat.

Aku tak menyanggah lagi, berlalu pergi menuju bilik. Aku membenamkan ingin sedalam samudera air mata ibu. Menyelami ayah dengan kabar-kabar yang hanya kukirim melalui telepon seluler.

“Ayah, kamu harus datang ke pesta ini. Kau takkan tau betapa rindu ini sangat mengilu. Tak jadi wali nikah tak apa, tapi ayah harus datang. Tidak maukah melihatku bersunting, mengenakan baju pengantin yang menawan. Menjatuhkan cinta pada lelaki selain engkau. Ayah, aku masih anakmu,bukan?”

Pesan We-A itu dikirim dan terceklis biru pula. Aku yakin, ayah juga belum tidur.

***

“Mengapa begitu malang nasibku memilih kau sebagai bapak dari anakku. Mengapa tak kudengarkan kata ibu yang sudah mewanti-wantiku agar tak memilihmu? Aku tak habis pikir padamu, Lim. Apa yang kau lakukan selama ini? Mengapa Rum bisa bunting dan mengaku kamulah bapak dari bayinya. Ya, Allah. Salim?! Apa yang akan kau perbuat pada mahasiswa tahun akhir itu? Hah!”

“Maafkan aku, Mira. Aku salah. Aku tergoda padanya. Dia datang saat engkau sibuk dengan pecel dan Lara. Dia menemaniku, saat kau lena dengan yang lain. Maafkan aku, dia juga wanitaku, Mir.”

“Sudahlah, sekarang pilihlah. Kau bisa pilih aku yang sudah beranak ini atau dia yang kau buntingi. Jika kau pilih aku, tinggallah di sini, aku anggap ini tak terjadi. Jika kau memilih dia, pergilah, aku tak menuntut apa-apa darimu. Bawa segala yang kau perlukan. Asal jangan anak-anakku. Hilanglah dari pandanganku, pergilah sejauh mungkin.”

Sekiranya, ibu tak menitikkan air mata setitikpun ketika mengusir ayah. Ayah menghampiriku dan Lara yang masih bersembunyi di balik kain pintu.

Baca juga  Sengsara Membawa Petaka

“Ayah pergi, ya. Jangan usir ayah di hati kalian, Nak. Ayah minta maaf.”

Ia kecup keningku sembari melemparkan senyum berbaur air mata. Lalu beranjak pergi.

***

AKU temui diriku dalam cermin pengantin. Baju merah bermanik-manik, gincu merah melengkung di bibir, mata lentik seperti rekahan bunga. Aku temui diriku dengan sunting pengantin kebanggaan rang Minang.

Tetamu sudah berdatangan, ijab kabul sudah disahkan. Status sudah menjadi istri orang. Tetapi mataku masih liar, ilir mudik melihat tamu undangan. Lagu-lagu Minang sengaja didendangkan.

Titik itu bertemu di mata adikku yang memerah sambil menggandeng seorang lelaki yang kakinya sudah pincang. Raut wajahnya benar-benar kumuh, legam kulit yang tak terawat. Baju yang dia gunakan adalah kemeja yang pernah dia pakai ketika meninggal aku, ibu dan Lara. Celananya benar-benar sudah lusuh, barangkali jua sudah rapuh.

Mataku kemudian menyelami mata lelaki yang diiringgi adikku ke panggung pengantin. Lelaki itu tergetar di tengah jalan, melihat kedua pundakku berguncang begitu hebat. Kuperhatikan lagi, bibirnya yang sudah sedari tadi komat-kamit memanggil namaku. Lelaki itu terus mendekati pelaminan, aku tak ingin lepas dari matanya. Senyumannya masih sama manisnya seperti dia mengecup keningku dulu. Aku benar-benar tak sabar untuk segera menyentuh tangan lelaki itu.

Lelaki yang jadi suamiku memberiku ruang untuk mengekspresikan cintaku yang berjatuhan pada lelaki bungkuk itu. Benakku menjalar, “Apa yang tengah diperbuat Mbak Rum terhadapnya?”

Belum sampai tangannya menyentuh pipiku, perempuan yang sangat membencinya itu menepis dengan keras. “Beraninya kau sentuh anak-anaku! Pergi! Tak ada ruang untukmu di sini!”

Inginku cegat ibu, agar membiarkan lelaki itu memmbayar kerinduannya pada kami—yang belasan tahun dicekal tanpa boleh bertemu. Ingin kukatakan pada ibu, aku masih bangga dapat melihat lelaki itu masih tersenyum dengan bibir keringnya. Ingin kukatakan pada ibu, dia sudah dicampakkan beberapa kali oleh keluarga Mbak Rum. Kemana pergi di situ ia menginap—sanak saudara juga sudah abai. Ingin kukatakan pula, apa ibu tak menaruh iba?

Lelaki itu benar-benar tak punya sesiapa selain aku dan Lara.

Ingin kubuat permohonan seketika, “Aku ingin merawat ayah hingga tua, seperti aku merawat ibu, suami, adik dan anak-anakku kelak.”

Aku seperti berada di tengah titik segitiga—antara ibu dan ayah. Namun mengapa tubuhkumalah memilih ambruk tak tau merebah ke mana. ***

.

.

Sakinah, mawaddah, warohmah Cici Novia, E.

.

Titik-titik Segitiga. Titik-titik Segitiga. Titik-titik Segitiga. Titik-titik Segitiga. Titik-titik Segitiga. Titik-titik Segitiga..

Loading

Average rating 2.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!