Cerpen Alexander Robert Nainggolan (Tanjungpinang Pos, 11 Desember 2021)
“SIAPA yang mengirimkan mawar merah yang masih segar ini ke depan jendela kamarku?” memercikkan cahaya pagi yang membawa segantang terka dari sisa mimpi yang belum benar-benar selesai. Pastilah bidadari iseng sedang singgah, mempermainkan diriku.
Yeah, alangkah terkejutnya aku saat melihat mawar merah nyala ini. Kembang itu seperti baru saja dipetik, ada hawa kematian yang menggenaskan tertinggal di sana. Tangkainya yang berdarah, dibanjiri oleh getah-getah yang memuncak, merebah ke masa silam yang panjang.
Kulihat ia menangis lalu kucoba tenangkan dengan membuatkan segelas susu hangat. Ah, mengapa mesti susu hangat, apa karena susu begitu putih sehingga bisa dianggap murni begitu saja? Tapi biarlah, biarlah ia beristirahat sejenak memasuki kamarku yang rombeng dan karatan ini. Tentu, tentu, ia butuh keadaan ini untuk menenangkan batinnya yang terus berdegup, memaki pada dunia.
Dan, pagi ini sinar matahari baru saja masuk ke celah-celah kamar, terasa menghimpit dada jadi makin sempit. Cahaya putih yang terus berkelebat dengan kecepatan 300 m/detik, memantul di seisi kamar yang berukuran 4×5 meter ini. Menyinari mimpi-mimpiku dari malam-malam yang mencekam dan memburu bagai serigala yang kelaparan. Mimpi-mimpi yang kelabu, tidak selalu putih atau hitam. Samar. Cahaya yang juga sama menyipratkan sinarnya ke gelas-gelas kotor di atas meja, sisa kopi semalam—yang tentunya berhari-hari belum dicuci. Gelas yang aku sendiri terkadang merasa jijik untuk memakainya, meski dari congorku sendiri.
Yeah, mawar itu tak lagi meniupkan wanginya ke udara. Tak lagi berkisah panjang. Namun, ia pulalah yang juga menggugah kenangan masa laluku. Ketika derita begitu indah. Kita yang bermesraan di tepi telaga sambil memandangi dua ekor itik yang berenang, dan seketika itu pula kita berharap menjadi itik agar bisa terus berduaan. Mungkin, mungkin aku terlalu romantis. Sok berbicara cinta. Tapi apalagi yang tersisa dari kita selain cinta itu?
Meski sebenarnya aku sudah lama pula tak mengharapkanmu untuk kembali lagi. Entah, perasaan macam apa ini. Rindu dicampur benci. Semenjak kau pergi ketika hujan menderas lalu kau berlari memasuki celah-celah gang sempit kota ini yang berbau sangit. Hujan kala itu makin lebat, barangkali juga air mataku turut tumpah, muncrat bersama kenangan yang mengharu biru. Meleleh membanjiri ruangan kamar ini. Menciptakan kristal-kristal baru yang melesat cepat bagai peluru di tengah kegamangan langkah.
Akhirnya, kau kembali, tanpa kendaraan yang mengantarkanmu untuk pulang. Namun, sikapmu berubah. Apakah waktu memang sebegitu kuat mengambil jati diri kita? Waktu yang terlalu kuat untuk memanjati batas usia sampai tua dan terbungkuk-bungkuk?
Tapi biarlah. Semoga mawar yang datang pagi ini bisa mengobati lukaku. Lukaku yang terus berleleran bagai ingus, meleleh menciptakan bau yang busuk sekali di atas kanvas hingga membentu kata: “ha… ha” [1] Toh nyatanya hidup ini hanyalah sepetak kenangan yang berupa serpihan-serpihan-mengambang ke samudera luas yang belum pula tentu ujungnya.
Aku kenang lagi, bibirmu yang mendumel gelisah saat kukecup pertama kali. Dengan tersipu dan langkah-langkah malu, kau kemudian tertunduk menjauhiku sesaat. Kulihat pula wajahmu bagai memerah bagai mawar, kau berusaha menyembunyikan rasa malu itu. Lalu kita berbicara sembarangan seperti anak kecil yang baru saja mengenal cinta.
Kita definisikan cinta, bagaimana rupa dan bentuknya. Bila aku kebablasan, anjlok ke posisi yang tak terkendali dengan segera kau mengingatkan agar aku kembali menjadi manusia. Bahwa kita memang belum cocok untuk melakukan itu. “Kita belum pasti… Ingat Tuhan.”
Ya, ya, ya telah lama kunanti kau. Setiap senja yang meninggalkan warna merah di ufuk barat sana. Mengisyaratkan segaris kerinduan yang mungkin akan abadi. Aku kenang kamu. Betapa penuh kau merajai hari-hariku. Kuingat dirimu, sungguh! Jauh di sudut hatiku berbicara ini, apa adanya.
Barangkali pula, kelak akan kita bangun lagi sebuah rumah, seusai meredam perbedaan kita. Yang selalu berjauhan. Rumah yang kelak akan kita bangun dari puing-puing cinta yang tercecer, selama langkah berguguran menikam jauh ke belakang. Entahlah, apa keinginan ataupun kerinduan punya bentuk?
Kuambil mawar yang terkulai lemah di atas jendela, tapi tanganku tertusuk durinya-berdarah. Aku berusaha menggapai. Berusaha untuk merengkuhnya. Tak kunjung berhasil. Ah, mengapa kau selalu mengindar dariku? Selalu menciptakan jarak yang panjang di antara perjumpaan kita yang terkesan mendadak. Tak lama, kaupun tertidur di pagi yang baru saja singgah. Menciptakan pelangi dalam kamar. Di tengah tidurmu yang mendayu, semua mimpimu berubah menjadi gambar bunga. Dinding yang tadinya bercat putih itu kini bagai ditempeli oleh ratusan gambar mawar.
Nama pemilik mawar itu: Anas, lengkapnya Anastasia Keke, lahir di Manado, tanggal 11 November 1981, tentu-tentu ia berkulit putih. Dan sebagaimana bintang Scorpio pada umumnya, pikirannya sangat terbuka, mampu menghargai lawan bicaranya. Memahami dan terbuka. Naluri berpikirnya sangat kuat, meski terkadang ada satu yang menjengkelkan yaitu sifat keras kepalanya itulah yang berlebihan.
Aku bertemu dengannya di penyebrangan selat Sunda, antara Pulau Sumatera dan Jawa. Di dalam kapal Ferry kutemukan ia merenung sendirian sambil membaca buku Chicken Soup. Entah, apa judulnya. Pendeknya, kami berkenalan dan saling bertukar alamat juga nomor telepon. Dan, ya begitulah semakin lama semakin dekat bagai tak tercelah. Aku tahu dia, dia juga tahu aku.
“Maukah kau menemaniku. Malam ini saja, please!” kau berujar lirih seperti kau telah muak pada hidup ini. Jauh-jauh sebelumnya, kau datang dengan mata sayu seperti ini di pagi yang masih dingin.
“Kemana?” kataku.
“Kemana saja asal bisa senang-senang,” lanjutmu.
Maka bergegaslah kami mengarungi cahaya kota di malam hari, menyaksikan sinar merkuri yang merambat mengubah bayangan malam jadi meriah.
Yeah, memang aku mengenalmu lewat malam, saat aku telah lelah pontang-panting ke sana-kemari di siang hari. Banyak orang yang aku tahu mempergunjingkanmu sebagai bunga ranjang. Bila kau itu seorang perempuan murahan, yang selalu menjual harga dirimu. Pelacur. Lanjut mereka, bahwa tubuhmu yang indah itu telah dijamah oleh tangan-tangan liar perkasa, setiap malamnya.
Namun, aku tak peduli, pikirku, meski sesekali aku menemuimu bertengger di sudut-sudut kota dengan penerangan yang buram. Entahlah, mungkin kau ingin mencari sesuatu di balik kelamnya malam. Pada saat malam yang serba singkat. Kelabu, tak lagi jelas mana yang hitam mana yang putih.
Tiba-tiba pula, aku teringat akan penampilanmu yang begitu khas. Dengan rambut yang meluruh sebahu, pinggang yang ramping, juga kaki yang panjang bagai belalang. Dan, terlebih lagi bahumu yang putih itu… ehm… meski wajahmu yang berseri itu makin kelabu saat tersiram oleh cahaya lampu merkuri yang serba remang-remang.
Barangkali pula penerangan kota ini sebenarnya telah lama padam. Perusahaan listrik telah bangkrut dan kolaps, sehingga subsidi pun terpaksa dicabut. Ujung-ujungnya yang merasakan kegetiran, ya, yang di bawah ini.
Dan, sejak itu. Ya, sejak itu, aku merasa telah jatuh cinta padamu. Cinta yang murni pada saat manusia yang berlawanan jenis saling menyihir dengan menatap bola mata masing-masing. Kuraih lenganmu-mengajak kau berjalan ke penjuru kota. Menikmati keramaian bersama. Kita berjalan melewati rumah-rumah pejabat, gubuk-gubuk liar yang resah di pinggir kali, hingga ke tepi cakrawala yang padat.
“Maukah kau menjadi kekasih hatiku?” kau meminta. Sedang aku hanya terdiam menikmati harum mawar yang menyeruak dari dalam tubuhmu. “Tapi, aku bukan perempuan suci lagi, malam jahanam telah mengutukku, menyeretku agar segera masuk ke dalam perangkapnya,” lanjutmu.
Kulihat air matamu menetes, meleleh membasahi pipi. Butir-butir air yang jujur bercerita tentang dirimu sendiri. Tentang kesedihan yang mendalam. “Tenanglah, mawar dengan apapun namanya, tetap saja mawar. Jadilah mawarku hembuskan wangimu ke dadaku,” kataku.
Sementara, kau memang hanya tersenyum. Diam tanpa memberikan reaksi apapun. Mungkin pula, aku sadar betapa pentingnya arti cintamu padaku. Segalanya tampak nyata. Biarlah, tubuhmu menjadi bahan obrolan bagi lelaki jalanan yang haus akan kehangatan, asal cinta sucimu bakal jadi milikku.
Hari ini genap tujuh purnama kami menjalin jaring-jaring ini. Menghangatkan arti cinta yang selama ini pernah membeku. Bagai laba-laba yang demikian setianya merajut helai demi helai sulur perekat untuk membuat rumah idaman. Nanti, kelak, suatu saat. Sosok rumah yang selalu diimpikan dan nanti akan ada beberapa kanak-kanak kecil yang bermata jerni saling bekejaran di dalamnya.
Ya, aku juga yakin sepenuh hati laki-laki itu tak akan ada yang berani menyatakan cinta mereka kepadamu. Paling-paling mereka hanya ingin melumat dirimu saja, supaya mendapatkan kehangatan dari tubuhmu saat malam mendingin tiba. Ataupun saat hujan menderas, menciptakan aroma udara yang membeku. Setelah puas, begitu tega mereka menendangmu untuk keluar.
Dan aku melihat kamu berjalan tertatih dengan langkah yang gemetar melewati kebekuan malam. Wajahmu memucat, tak lagi nampak raut bahagia di sana. Tak lama aku akan datang menghampirmu. Tapi aku bukan seorang pahlawan yang kebetulan saja singgah. Bukan, bukan itu, Anas. Dalam keremangan gang-gang sempit kota ini yang selalu membecek, aku berikan padamu setangkai kembang mawar yang berwarna merah nyala.
Sesaat setelah itu, seseorang yang mengaku sebagai germomu meminta bayaran empat puluh ribu rupiah. Ah, alangkah murah harga dirimu. Tubuhmu yang berbentuk pualam itu hanya dihargai empat lembar uang puluhan ribu.
Bagiku juga, hal itu bukan berarti sebuah masalah. Apa artinya harta dibandingkan dengan cinta suci yang telah lekat bersatu dalam jiwa? Sungguh, tak berarti sedikitpun. Aku memberikanmu jaket hangat untuk kaukenakan. Lalu, kau tersenyum. O, betapa indahnya senyuman itu. Barangkali, telah kutemukan sosok kewanitaan yang utuh dalam dirimu. Semenjak Adam memutuskan berani untuk memakan buah khuldi dan kalah taruhan dengan iblis. Lantas, mencintai Hawa, mengembalikannya sebagai pasangan dari tulang rusuknya.
Namun, begitulah cinta, sebuah riwayat dalam kehidupan manusia yang mungkin juga harus selalu penuh dengan derita. Membuat kita terpaksa terus membungkus kesedihan yang teramat pilu. Mendaki-daki puncak yang tak pernah nampak. Merangkaikan kesedihan itu satu per satu menjadi sebuah bunga agar tetap terlena akan harumnya. Meski telah disadari, betapa tidak adilnya hidup ini. Sehingga memaksa kita untuk senantiasa tenggelam dalam kepura-puraan.
Ya, mungkin juga harum mawar yang menyeruak dari dalam tubuhmu adalah sebuah pertanda. Bila sejak dulu Adam terlalu bernafsu untuk mengikuti ajakan dari Hawa. Dengan tidak menyadari segara memakan buah khuldi. Maka terciptalah kita di sini, untuk bunuh-membunuh, tipu-menipu, jilat-menjilat. Berdiri tegak pada tanah yang merah disirami oleh darah yang anyir, menatap senja dan berkata, “Alangkah indahnya. Ya, betapa indahnya senja ini….”
Dan, aku masih mengingat ketika hujan turun dengan sangat menderas. Menggigilkan posisi tubuhku sampai lembab. Engkau, Anas, tengah terkapar di pelukan seorang lelaki.
Terus-terang darahku pada saat itu bergejolak. Mendidih. Namun, aku berusaha tampil dewasa untuk meminimalisir amarahku. Terlebih lagi, dari dalam tubuhmu menyeruak aroma mawar yang membuat aku tentram. Ada kedamaian di sana. Membuatku tersentak, membuatku teringat bahwa kau adalah sosok seorang wanita yang selama ini kunanti.
Mungkin juga, benar adanya bila kau pasangan tulang igaku, sejak Adam dan Hawa tercipta hingga kemudian diturunkan ke bumi yang senantiasa menyemai kekerasan ini.
Tapi hujan kembali berbincang. Berganti gerimis yang pelan. Air matamu sudah tak meleleh lagi. Kau nampak jauh lebih kuat saat ini. Badai hidup seperti tengah kau tantang dan berusaha untuk tetap tegak berdiri di atas kedua kakimu.
Begitulah aku mengenalmu, kekasih. Saat ini aku memang harus mendapatkan wanita yang kuat. Ya, pastilah harus kuat! Sebab tantangan dalam hidup ini datang bertubi-tubi. Aku menemukan semua itu dari dalam dirimu. Terlebih lagi harum mawar yang menggelora dari tubuhmu. Bagiku, mawar adalah lambang kesetiaan sekaligus perlawanan. Kau bisa saja bertingkah anggun dengan warnamu yang merah menyala, namun sebaliknya kau dapat juga piawai menjaga dirimu sendiri lewat duri yang berjejer rapi di tangkaimu.
“Namun, sungguh! Aku bukan perempuan suci lagi,” kau terus mengucap itu sepanjang malam. Yeah, aku juga mengerti itu, mengapa pula malam jahanam harus menyeret kesucianmu ke lembah duka?
Ah, masa bodoh asal saja cinta tulus yang bersemai dari hatimu sepenuhnya milikku. Dan terbanglah kamu kepadaku-berikan wangimu padaku, isap saripati cintaku sampai habis. Bukankah cinta butuh suatu ketulusan, dan ketulusan itu didapat dari rasa saling percaya?
***
“Siapa yang mengirimiku mawar merah ini?” dan aku terkenang suatu malam kau mengetuk pintu kamarku. Wajahmu tirus. Pucat dan memar. Udara pagi jadi racun bencana. Kau terus saja menangis tersedu-sedu. Kurasakan, betapa rapuh perasaanmu saat itu. Aku biarkan kau tertidur di ranjang, menyelimutimu dengan hati-hati agar udara pagi tidak segera melumatmu.
Ya, sudah terlampau berat penderitaan yang jatuh ke pundakmu, dan kesemuanya itu mesti kau pikul sendirian, andai saja aku bisa membantu untuk meringankan penderitaanmu, pasti akan kulakukan.
Aku merasa tak berarti ketika memandang kau yang terlelap begitu lelah. Percuma saja, aku disebut laki-laki, namun tak pernah bisa meredakan kegundahanmu. Hingga, aku bertekad, nanti sore, saat sinar matahari mau tenggelam, menggantikan jingganya pada gelapnya malam.
Akan kutanami sepetak taman kecil di luar jendela kamarku dengan ratusan mawar dari seluruh dunia. Mungkin, warnanya akan beraneka: merah, hijau, kuning, ungu, jingga, juga berbagai warna lainnya. Barangkali juga, hal itu bisa meredakan kegundahanmu dalam melewati hari-hari yang begitu melelahkan ini…. ***
Catatan kaki:
[1] Sajak dari Sutardji Calzoum Bachri yang berjudul “Luka” dalam antologi puisi “O Amuk Kapak”.
.
.
ALEX R NAINGGOLAN, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen.
.
Elegi Mawar. Elegi Mawar. Elegi Mawar. Elegi Mawar. Elegi Mawar. Elegi Mawar. Elegi Mawar. Elegi Mawar.
.
Leave a Reply