Cerpen, Jawa Pos, Mashdar Zainal

Lidah Murai Batu

Lidah Murai Batu - Cerpen Mashdar Zainal

Lidah Murai Batu ilustrasi Budiono/Jawa Pos

2.9
(10)

Cerpen Mashdar Zainal (Jawa Pos, 12 Desember 2021)

KETIKA saya membersihkan rumput di halaman rumah pekan lalu, seekor burung mungil mendadak hinggap di dahan kenanga di sudut pekarangan. Seekor burung berbulu hitam mengilap kebiru-biruan dengan warna oranye di bagian perut. Saya yakin, itu jenis murai batu. Serta-merta saya teringat kisah Pardi dan Sobari.

Lima belas tahun lalu, saat saya masih kuliah, saya mengontrak sebuah rumah di ujung gang—yang jaraknya tiga kilometer dari kampus tempat saya kuliah. Sebenarnya bukan cuma saya yang mengontrak di rumah itu, tapi juga empat teman saya. Rumah itu tidak lebar, tapi punya lima kamar. Masing-masing dari kami menempati satu kamar. Dan saya dapat kamar paling depan. Kamar yang berseberangan langsung dengan teras yang lebarnya cuma satu meter. Manakala jendela kamar itu dibuka, saya bisa langsung melihat teras sempit itu, juga halaman yang penuh dengan tanaman tak terurus. Serta dua rumah yang berdempetan di seberang jalan. Rumah Pardi dan Sobari.

Kami tak begitu karib dengan keduanya, baik Pardi maupun Sobari. Pardi, ia seorang lelaki paro baya, punya seorang anak berumur tujuh tahun. Dan istrinya cerewet sekali. Setiap pagi, rumah itu ribut tidak keruan. Lebih ribut dari kandang ayam. Pardi meneriaki istrinya, istrinya meneriaki anaknya, anaknya menangis, lalu Pardi dan istrinya sama-sama meneriaki anaknya. Bocah itu sudah masuk SD, tapi hampir setiap malam masih ngompol. Jadi, setiap pagi Pardi atau istrinya selalu menjemur kasur lipat berwarna biru, disampirkan begitu saja di pagar depan rumah, mereka memukul kasur-kasur itu dengan penebah, debu beterbangan, dan aroma pesing lagi apek dari kasur itu kerap melayang-layang sampai ke kamar saya.

Adapun Sobari, lelaki tua, kisaran enam puluh atau tujuh puluh tahun, duda, tinggal seorang diri. Konon dia punya seorang anak, lelaki, tapi anak itu sudah mati dan dikubur di luar kota. Menurut cerita, anak Sobari kerja di sebuah perusahaan listrik, lalu mati tersetrum saat memperbaiki kabel di sebuah permukiman padat penduduk. Mayatnya menggantung di antara juntaian kabel di ketinggian. Itu cuma cerita, saya tidak tahu pasti kebenarannya. Yang saya tahu, dan itu pasti, bahwa Sobari ini suka sekali memelihara burung. Di teras rumahnya yang sempit itu, tak kurang dari tujuh kurungan menggantung di langit-langit. Dan setiap kurungan ada isinya. Saya tidak jeli, jenis burung apa saja yang dipelihara Sobari. Tapi dari kicauannya, saya yakin, beberapa di antaranya adalah jenis murai batu.

Setiap hari, terutama pagi menjelang siang, kicauan burung menggema dari teras rumah Sobari. Burung-burung itu seperti sedang kontes adu kicau. Setiap pagi, dengan telaten, Sobari menjemur burung-burungnya bergantian beserta kurungan-kurungannya di tepi jalan. Kadang digantungkan di dahan-dahan mangga. Kadang diletakkan begitu saja. Yang penting kena panas biar kicaunya tambah nyaring, kata Sobari pada suatu pagi.

Baca juga  SANTRI POLITISI

Setiap pagi pula, Sobari rajin mengeruk tahi burung dari dasar kurungan-kurungan itu, lalu menumpahkannya ke selokan. Dan aroma tahi burung itu sering kali dibawa angin dan bertamasya sampai ke kamar saya. Hingga pada waktu-waktu tertentu, aroma pesing dan aroma tahi burung melebur jadi satu, bertamu ke kamar saya. Membuat saya memanjatkan doa-doa buruk untuk para tetangga tak tahu diri di seberang jalan sana.

Dua orang ini tak punya wajah ramah meski kadang tetap tersenyum saat berpapasan. Senyum yang datar dan hanya sekilas. Di depan kami, mereka tak banyak bicara, tapi dari rumah kontrakan kami, kami melihat mereka semua begitu banyak bicara. Pardi dengan istri dan anaknya. Sobari dengan burung-burung piaraannya. Adapun hubungan Pardi dan Sobari ibarat sabun pencuci piring dengan lemak. Tak pernah akur. Kadang kala, saat mereka sama-sama bersandingan di depan rumah—Pardi menjemur kasur dan Sobari menjemur burung—mereka seperti menganggap satu sama lain tak pernah ada. Sesekali mereka berdehem, hanya berdehem. Tak ada kata-kata lebih. Tapi, begitu salah satu masuk rumah, yang lain akan segera mengomel.

“Apa guna piara burung, tahinya bau, ocehannya berisik, mengganggu tetangga,” ungkap Pardi seperti bicara kepada dirinya sendiri.

“Setiap hari kok ribut-ribut ngomelin bocah ngompol. Namanya juga bocah, diomelin kayak apa pun tetap bocah. Saya yang dengar saja bosan,” seru Sobari, menyindir.

Entah mereka sama-sama dengar atau tidak, yang jelas hal semacam itu terus berlangsung dari waktu ke waktu. Pardi dan Sobari seperti tak pernah lelah bermain ungkur-ungkuran. Setiap hari ada saja yang mereka ributkan. Suatu pagi, seperti kebanyakan pagi yang lain, saat istri Pardi menyapu, ia menggerutu, kenapa sampah-sampah daun mangga dari rumah Sobari selalu saja mengotori halamannya. Sambil menggerutu begitu, istri Pardi menggiring kembali sampah-sampah daun itu ke depan rumah Sobari. Tak berselang lama, setelah istri Pardi masuk rumah, silih Sobari muncul mencangking sapu sambil bersungut-sungut sebab depan rumahnya dipenuhi sampah, lalu Sobari kembali menebarkan sampah-sampah itu ke depan rumah Pardi.

Pada suatu sore, Pardi dan Sobari sengit terlibat adu mulut gara-gara perkara sampah yang sama. Mereka seperti dua petarung bersenjata sapu yang telah siap menyapu wajah satu sama lain. Mereka tak pernah keberatan jadi tontonan anak-anak kecil. Pertengkaran itu lerai selepas warga datang dan memisahkan mereka.

Baca juga  Bedil

Pertengkaran-pertengkaran konyol macam itu bukan lagi hal baru bagi kami dan para tetangga yang lain. Sampai suatu siang yang mendidih, sepulang dari rumah kerabat, Sobari memekik histeris tersebab tiga burung piaraannya mati dalam kurungan, sementara empat yang lain tak bisa lagi berkicau sebab seseorang telah memotong lidah burung-burung itu. Tanpa banyak omong, Sobari melabrak Pardi, menggedor-gedor pintu rumah Pardi seperti orang kerasukan. Pardi pun menanggapi. Adu jotos antara orang-orang tua itu tak terhindarkan sampai warga melerai mereka. Sobari bersikeras bahwa Pardi telah memotong lidah burung-burung piaraannya dan membuat tiga di antaranya tewas. Pardi sendiri mengelak, menggertak balik Sobari yang sudah menuduh orang tanpa bukti.

Menurut Sobari, sehari sebelum kejadian, tepatnya tiga jam sebelum Sobari berangkat dan menginap di rumah kerabatnya, Pardi berteriak-teriak, akan memotong lidah burung-burung itu kalau burung-burung itu tidak berhenti mengoceh. Pardi sedang sakit gigi. Ocehan istrinya yang cerewet itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kepala Pardi meledak lantaran gigi yang bengkak, ditambah lagi burung-burung di sebelah rumah yang tak pernah berhenti berkicau. Pardi memang mengaku, ia mengatakan itu semua, tapi ia tak pernah benar-benar berniat memotong lidah binatang tak berdosa itu. Kalaupun ia ingin burung-burung itu berhenti berkicau, ia bisa saja melepaskan burung-burung itu dari kurungannya, tanpa harus repot-repot memotong lidahnya.

Perseteruan itu berakhir dengan robohnya tubuh tua Sobari ke tanah. Siang itu juga Sobari dilarikan ke rumah sakit dan petang harinya kami mendapat kabar bahwa Sobari sudah tidak ada. Kerabat-kerabat jauh Sobari berdatangan. Sepasang rumah di seberang jalan jadi ramai orang. Para tetangga yang melayat ke rumah Sobari mengatakan bahwa Sobari terkena serangan jantung. Di antara kerumunan itu, kami melihat Pardi dengan wajahnya yang murung penuh sesal. Meski tak ada yang mengatakan bahwa penyebab kematian Sobari adalah Pardi, tapi wajah Pardi sendiri menyiratkan kesan itu. Tiga hari berselang, rumah Pardi digembok oleh kerabatnya dan dibiarkan sepi tanpa penghuni. Tak ada lagi burung-burung bergelantungan di langit-langit teras. Tak ada lagi kicauan-kicauan kecil yang memberisiki hari-hari. Yang ada hanya kesepian yang memagut. Dari hari ke hari, kesan seram mulai merambati rumah itu. Meski di rumah sebelah, keributan-keributan kecil tak pernah berakhir.

Dari semua kejadian itu, hanya satu yang masih jadi pertanyaan orang-orang di kerumunan: siapa sebenarnya yang sampai hati memotong lidah burung-burung tak berdosa itu? Tak ada titik terang muncul. Lambat laun, pertanyaan itu menguap digerus waktu. Sampai suatu malam, istri Pardi menangis sambil berlarian mendatangi rumah tetangga. Ada cerita tak masuk akal yang disampaikannya kepada para tetangga bahwa suaminya baru saja mengalami kecelakaan saat makan malam. Lelaki itu tak sengaja menggigit lidahnya sendiri sampai hampir putus. Malam itu pula, Pardi diusung ke rumah sakit. Bagaimana bisa, para tetangga bertanya. Dan istri Pardi tak bisa menjelaskan sama sekali. Apakah sampai nyaris putus itu benar-benar nyaris sampai putus, tanya orang-orang. Istri Pardi sendiri bertanya-tanya: entahlah, bagaimana bisa seseorang tak sengaja menggigit lidahnya sendiri sampai nyaris putus.

Baca juga  Bunga Lima Warna

Hari-hari berikutnya, Pardi jadi begitu pendiam sebab ada cedera parah di lidahnya sehingga ia kesulitan berkata-kata, nyaris jadi bisu. Kejadian itu berlangsung begitu saja. Seperti kejadian-kejadian lain yang bermacam-macam dan menjadi kedaluwarsa untuk diperbincangkan. Rasanya, tak seorang pun selain saya terpikir untuk menyangkutpautkan kejadian itu dengan kejadian di rumah Sobari berbulan-bulan sebelumnya perihal burung-burung yang terpotong lidahnya. Perihal burung-burung yang mati dan menjadi bisu.

Malam itu, ketika Sobari menginap di rumah kerabatnya, pukul dua dini hari saya mendengar keributan kecil dari seberang jalan. Semula saya mengabaikannya. Namun, lambat laun suara ribut itu kian mengusik. Akhirnya saya mengintip dari balik gorden. Dan di seberang sana, di bawah lampu jalan yang remang karena lebatnya pohon mangga, saya melihat Pardi melompat keluar dari pagar rumah Sobari. Satu tangannya menggenggam benda kecil serupa gunting entah catut. Ketika itu, yang terlintas dalam benak saya adalah mungkin Pardi sedang merencanakan keusilan yang lain untuk Sobari. Tak ada hubungannya dengan lidah burung-burung. Entahlah.

Sampai detik ini, saya belum pernah menceritakan kejadian itu kepada siapa pun. Dan itu sudah lima belas tahun. Sudah sangat kedaluwarsa untuk diperbincangkan.

Murai batu di pekarangan rumah itu membuat saya bertanya-tanya: apakah sekarang Pardi masih hidup? Apakah lidahnya yang cedera itu sudah pulih? Lalu, bagaimana kabar burung-burung Sobari yang terpotong lidahnya itu? Apakah mereka semua akhirnya tewas? Ingin rasanya saya menangkap burung yang hinggap di dahan kenanga itu. Lalu memeriksa apakah lidahnya utuh atau tidak. Tapi begitu saya bergerak mendekat, burung itu terbang menghilang entah ke mana. ***

.

.

Malang, 2021

Mashdar Zainal. Lahir di Madiun, 5 Juni 1984, penyuka prosa. Buku terbarunya Kartamani, Riwayat Gelap dari Bonggol Pohon (Penerbit Basabasi, 2020). Kini bermukim di Malang.

.

Lidah Murai Batu. Lidah Murai Batu. Lidah Murai Batu. Lidah Murai Batu. Lidah Murai Batu.

.

Loading

Average rating 2.9 / 5. Vote count: 10

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Atrop

    Dalam cerpen ini ada penyebutan nama yang tertukar.
    “Setelah tiga hari berselang, rumah Pardi digembok oleh kerabatnya…”
    Jelas, seharusnya itu rumah Sobari yang digembok. bukan rumah Pardi.

    Tapi secara keseluruhan, ceritanya sangat bagus, khas Cerpen Jawa Pos.

Leave a Reply

error: Content is protected !!