Cerpen, Komala Sutha, Pikiran Rakyat

Sebuah Upaya Balas Dendam

Sebuah Upaya Balas Dendam - Cerpen Komala Sutha

Siapa yang Tinggal, Siapa yang Meninggalkan ilustrasi Adhimas Prasetyo/Pikiran Rakyat

4.5
(4)

Cerpen Komala Sutha (Pikiran Rakyat, 18 Desember 2021)

SUBALI terpekur depan meja kerja di ruangannya yang nyaman. Sendiri saja. Belum tiga puluh menit, ia berada di situ. Duduk, wajahnya murung. Sorot matanya tak seperti biasa. Kini tampak menyimpan kekhawatiran yang sangat. Sesekali dadanya bergerak mengikuti gemuruh yang terkadang menderanya. Kedua tangannya di atas meja. Tak ada yang dilakukannya.

“Ada apa, ya dengan Pak Kadis?” tanya Diman, bawahannya pada Agung, rekan sekerjanya.

“Entahlah, aku juga heran,” sahut Agung.

Setiap pagi, biasanya Subali turun dari mobilnya yang terparkir di halaman. Tubuh tegapnya melangkah mantap. Semua bawahannya mengucapkan selamat pagi sambil sedikit membungkukkan badan. Lalu Subali akan sedikit saja menarik ujung kiri bibirnya. Seraya berlalu dan masuk ke ruangannya. Tak lama akan terdengar suara bertelefon. Tapi tadi ketika di pintu masuk, wajahnya murung. Matanya menyiratkan kekhawatiran yang dalam. Para bawahan tak berani menduga-duga. Ketika datang beberapa kepala sekolah dan seorang pengawas, mereka mengurungkan niat untuk menemui Subali setelah Diman dan rekannya menyampaikan deskripsi wajah atasan yang tak seperti biasa .

Akhirnya para kepala sekolah dan pengawas memilih berkumpul di ruang lain. Padahal semalam di grup WA, dengan tegas Subali memerintah semua kepala sekolah yang berada di lingkungan dinas pendidikan dasar yang dipimpinnya, berkumpul esok pagi, tepat pukul delapan, tidak boleh kurang. Jika melanggar sedikit saja, tentu akibat apa yang akan diterima. Subali akan menyudutkan si pelanggar aturan. Semua tahu, Subali bukan hanya doyan menyudutkan orang penyandang jabatan di bawahnya, tapi juga tak segan-segan memarahinya. Tak peduli di hadapan siapa. Sudah bukan rahasia jika Subali dikenal sebagai kepala dinas yang tegas, keras dan ngegas! Semua takut, kecuali di belakang baru berani kasak-kusuk. Jika di depan, mereka akan pura-pura takut. Tak jauh tingkah tikus dalam rumah.

Waktu menunjukkan pukul sembilan. Tak ada tanda-tanda Subali akan memulai rapat. Bahkan mungkin ia tak ingat atau lupa. Atau juga tak peduli. Sementara para penunggu masih berkumpul di ruang lain. Seorang pun tak ada yang berani menemui Subali.

“Mungkinkah Pak Kadis sedang punya masalah?” tanya seorang kepala sekolah perempuan.

Baca juga  Sekuntum Bunga Marigold dari Chiang Mai

“Mungkin ya… mungkin tidak…,” sahut yang lain.

“Setahu saya, meski Pak Kadis tengah punya masalah, tak akan sampai lupa dengan rapat. Jikalau membatalkan pun, beliau akan segera mengabarkan lewat telefon atau minimal pesan pendek pada salah seorang pengawas,” ucap kepala sekolah paling senior.

“Kita tunggu saja hingga pukul sepuluh,” saran pengawas yang setahun lagi akan pensiun. “Kalau tidak ada pergerakan, biar saya meminta Pak Diman  ke ruangannya.”

Subali masih duduk di kursi depan meja kerjanya. Kali ini tangannya tidak di atas meja. Tapi jemarinya di atas dahi dengan kedua ujung siku tertumpu di alas meja. Ia jarang sekali mendapat berita buruk kecuali saat istrinya meninggal tatkala Subali tengah memimpin rapat. Yang kedua kali ini. Tadi pagi-pagi sekali, sekitar pukul enam lebih beberapa menit, ia menelefon ke nomor anaknya. Sifa, mahasiswa kedokteran semester lima. Ia pastikan anaknya masih berada di rumah kos dan belum bergerak ke kampus. Makanya, ia ingin mengobrol santai melepas rindu. Setelah ibunya meninggal dunia, siapa lagi yang memperhatikan Sifa selain dirinya.

Tapi nomor itu tak aktif. Ia tahu Sifa tak biasa mematikan HP sekitar pukul enam karena itu jadwal rutin ayahnya menelefon. Hingga pukul tujuh, nomor HP itu mati! Lalu Subali mencoba, mencoba, dan mencobanya lagi. Menelefonnya. Berkali-kali. Tapi nomor itu sama sekali tak bisa dihubungi, dan hanya suara operator yang menyusup. Subali masih terpaku. Ia diterpa bingung bukan kepalang. Ia pun sudah menghubungi induk semang di mana Sifa bermukim, tapi jawaban yang didapat  membuatnya tak puas. Sebelum pukul enam, ibu kos melihat Sifa tergesa-gesa pergi. Subali sempat menyimpan sebuah kontak teman Sifa satu jurusan lalu menghubunginya, tapi katanya, Sifa tak datang ke kampus. Dan entah kebingungan bagaimana lagi yang menggedor-gedor kepala Subali. Siapa lagi yang bisa dimintai tolong untuk menanyakan keberadaan anaknya? Siapaaa?

Suara pintu terkuak sedikit. Subali tercekat. Melirik ke arah pintu. Menyembul wajah Diman dengan raut takut-takut. Subali tak bereaksi. Diman berlalu dengan sendirinya.

Tadinya berusaha mengingatkan atasan untuk memberi kepastian jadi tidaknya rapat yang akan digelar dengan semua kepala sekolah dan para pengawas. Jika batal, maka semua kepala sekolah akan segera meluncur ke sekolah yang dipimpinnya masing­masing. Subali tidak lupa. Ia juga tidak ingat. Akan rapat atau tidak. Ia sudah tak memikirkannya. Yang mengusik ketenangannya hanya satu hal, kabar Sifa!

Baca juga  Telepon Genggam Bu Guru Aisyah

Jam demi jam, beban menggelayuti pikirannya. Tubuhnya beranjak, meninggalkan kantor dinas. Meruncingkan tanya Semua bawahannya. Semua kepala sekolah dan para pengawas yang masih mematung. Subali mengendarai mobil dengan pikiran kalut. Cemas dan sedih berbaur. Sifa, anak semata wayangnya. Harta paling berharga dalam hidupnya.

Mobilnya melaju pelan tanpa tujuan. Sesaat pikirannya mengambang. Pada genangan perjalanan hidupnya. Ia dan istri sama-sama guru sekolah dasar. Seprofesi dan berambisi. Subali menjadi kepala sekolah di usia muda dengan kepiawaiannya mendekati kepala dinas saat itu. Tak lama diikuti istrinya. Karir Subali pesat menjadi kepala dinas di kecamatan lain tanpa melewati jabatan kepala sekolah.

Menjadi orang kepercayaan bupati, ia berhasil memuaskan hasrat istrinya menguasai  sekolah dasar berstandar nasional yang mendapat bantuan dana rutin fantastik dengan berbagai fasilitas. Sebagai kepala sekolah favorit, istrinya harus mampu mempertahankan prestasi murid dan guru dalam berbagai bidang meski harus menghalalkan segala cara. Subali kian disayang bupati setelah berhasil meraup suara terbanyak dari guru honor satu kecamatan setelah menjejal mereka dengan sekian ratus ribu rupiah yang bersumber dari dana hibah. Suara untuk anak bupati yang berhasil menjadi anggota dewan legislatif.

Subali terkadang ‘tampak’ wibawa tapi di satu sisi berperangai kasar dan beringas. Banyak yang tak berani menghadapinya. Terlebih setelah banyak yang tahu orang-orang di belakangnya. Subali menjadi pemimpin yang otoriter. Ia pun kerap menuntut upeti pada guru-guru yang mendapat sertifikasi, juga jatah dana hos yang dikelola para kepala sekolah. Seorang pun tak ada yang berani membantah. Ia pun kebal dengan wartawan lokal yang mencoba mengintimidasinya. Ucapannya bagaikan titah. Acap pula melukai hati orang. Ia kian menjadi­jadi. Kematian sang istri tercinta yang secara tiba-tiba, tak membuatnya berubah.

***

DI sebuah kota perbatasan dua provinsi. Sebuah gedung besar . Di lantai paling atas. Tepat pukul 22.00 WIB.

Baca juga  Tentang Adik Lelakiku

Sesosok tubuh ramping bergerak. Matanya terkuak dalam ruang gelap dan pengap. Pekiknya tertahan, tak tahu tengah berada di mana. Seingatnya, pagi-pagi sekali, ia keluar dari rumah kos. Pakaian rapi, tas tergelayut di bahu kanan, map merah terjepit di tangan kiri. Langkahnya yang bersepatu hak pendek, tergesa­gesa hendak menuju tempat fotokopi. Tapi di belokan sepi, sebuah tangan menyergapnya. Ia pun tak ingat apa­ apa.

“Aku di mana?” mulut mungil itu bergumam.

Pakaiannya kusut. Tas dan sepatu entah  di mana. Tubuhnya beranjak. Langkahnya mendekati dinding, meraba-raba. Mencari sakelar lampu tapi tak teraba. Hingga tangannya  menyentuh handle pintu dan terkuak. Ruangan besar yang gelap. Kakinya yang bertelanjang mengitari mencari-cari pintu. Berhasil. Dilaluinya ruangan demi ruangan, menuruni tangga demi tangga. Dan berhasil keluar dari gedung kosong itu. Setengah berlari menuju pintu gerbang yang terbuka. Jalanan sepi.

Kakinya yang sedikit terluka karena sempat menginjak kerikil, tak dirasanya hingga tiba di sebuah belokan. Langkahnya terhenti. Tak ada seorang pun yang bisa ditemuinya kecuali seorang tukang becak di seberang jalan. Sifa menangis dan memohon pertolongan. Beruntung hapal di luar kepala nomor ayahnya. Tukang becak menelefon lewat HP miliknya.

Subali bukan main gembira. Ia memohon dengan sangat agar tukang becak murah hati itu menjaga putrinya hingga ia datang. Selama perjalanan menuju Kota Udang, hatinya teramat sedih. Ia yakin yang terjadi dampak dari sikap buruknya. Lima jam kemudian, mobilnya menepi depan rumah sederhana. Diburunya Sifa. Dan yang pertama ditanyakannya, hanya satu; keperawanan buah hatinya. ***

.

.

Bandung Barat, 20 Agustus 2020

Komala Sutha, lahir di Bandung, 12 Juli 1974, menulis dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia. Tulisannya termuat di pelbagai media cetak dan daring di Indonesia dan Malaysia. Buku tunggalnya: “Separuh Sukmaku Tertinggal di Halmahera” (novel, 2018) dan “Cinta yang Terbelah” (kumpulan cerpen, 2018).

.

Sebuah Upaya Balas Dendam. Sebuah Upaya Balas Dendam. Sebuah Upaya Balas Dendam. Sebuah Upaya Balas Dendam.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. ngeri ya abis di begitukan ditinggal gt aja..semoga baik2 aja anaknua,hehe,kebawa cerita.

Leave a Reply

error: Content is protected !!