Cerma Farah Raihanah (Kedaulatan Rakyat, 17 Desember 2021)
PERNAHKAH kalian mendengar kata ‘guru killer’ di sekolah kalian?
Sepertinya hampir di setiap sekolah, pasti ada saja guru yang mendapatkan sematan seperti itu. Bahkan tak dapat disangkal, dalam satu sekolah memiliki lebih dari satu guru dengan julukan seperti itu.
Begitu pula dengan sekolahku.
Kala itu, aku pertama kalinya tinggal di asrama. Tak seperti siswa lain yang harus menanti esok untuk bertemu teman-teman dalam masa orientasi siswa. Kami siswa-siswi asrama justru sudah di sekolah sehari sebelum sekolah dimulai.
Beberapa kakak kelas dari kamar sebelah mengunjungi kami. Menanyakan kabar, hobi, dan kelas kami. Aku bersama dua orang teman menempati kelas yang sama.
“Kalian sudah tahu wali kelasnya belum?” tanya salah seorang kakak kelas.
Karena kami sudah diberitahu pembagian kelas dan siapa pengampunya. Kami segera mengangguk. Kami menjawab, “Kelas kami diampu Bu Ikhsan.”’
Kakak kelas yang berada di kamar kami sontak mengeluarkan ekspresi yang bermacam-macam. Tentu kami bingung.
Rupanya, Bu Ikhsan yang seorang guru Biologi tersebut terkenal killer. “Bu Ikhsan masih ngajar ndak e?” Begitu pertanyaan yang kerap ditanyakan para alumni ketika berkunjung ke sekolah kami.
Awalnya aku biasa saja. Toh, setiap guru kalau marah, pastilah ada sebabnya. Namun, aku mulai takut pula. Saat itu aku berada di kantin dan bel istirahat usai berbunyi. Aku sedang memesan ayam geprek dan antriannya masih panjang.
“Mbak, ini masih lama ya. Kayaknya Bu Ikhsan dah mau datang,” celetukku bertanya kepada Mbak kantin.
Mbak Kantin dan beberapa kakak kelas yang juga memesan langsung membiarkanku mendapatkan pesanan duluan. Padahal aku tahu, kakak-kakak kelas tersebut sudah lebih dulu datang.
Aku menggaruk kepala. Bingung. Sebenarnya seberapa galak sih Bu Ikhsan itu?
Lalu pembelajaran dan pertemuan dengan Bu Ikhsan semakin banyak. Terlebih aku menempati kelas yang diampu beliau. Aku mulai mengerti kenapa julukan ‘guru killer’ dapat tersemat pada beliau.
Bu Ikhsan itu guru yang sangat disiplin. Entah pada tugas, sikap, atau tata tertib sekolah. Bu lkhsan bisa membuat satu kelas terdiam karena satu kelas itu membuat kesalahan. Sehingga banyak anak bandel akhirnya jera karena enggan terkena masalah dengan Bu Ikhsan.
Walaupun saya sangat menghormati beliau. Saran saya dan banyak teman lain sih. Ketika kamu sadar sedang tidak tertib. Berdoalah supaya tidak bertemu Bu Ikhsan. Itu lebih baik. Hehe.
Namun, berusaha untuk selalu tertib itu jauh lebih baik.
Tapi setelah lama mengenal beliau. Wah, beliau adalah salah satu guru yang sangat baik dalam mengajar. Pengalamannya mengajar puluhan tahun, membuat beliau menerangkan penjelasan dengan sangat baik.
Begitulah, saya rasa beliau tidak segalak itu. Bahkan, ketika saya dan beberapa anak asrama ketiduran di jam pelajaran beliau. Saya mendengar beliau berbisik pada teman sekelas saya untuk membiarkan kami tidur sejenak. Ia tahu kegiatan kami di asrama jauh lebih padat. (Tapi jangan menyengaja tidur. Itu akan lain cerita).
Pernah pula saya dan teman saya sakit. Karena kami tinggal di asrama. Beliau menjenguk kami. Menanyakan apakah kami perlu bantuan. Beliau juga mendengarkan keluh kesah kami akan susah senangnya di asrama.
Hari-hari berjalan seperti itu. Lama-lama pandangan saya terhadap beliau berubah. Bagi saya, Bu Ikhsan itu seperti Ibu. Baik, perhatian. Namun, galak pula kalau kami buat kesalahan. Seorang ibu yang cukup cerewet agar anaknya bisa kembali ke jalan yang benar.
Mungkin statement ini agak alay. Namun, saya rasa ketika bertemu beliau. Saya seperti bertemu keluarga saya sendiri. Mungkin karena beliau amat perhatian pada anak-anak didiknya.
Sepertinya, yang berpikir seperti itu tidak hanya saya. Ketika itu, Bu Ikhsan harus pindah tugas. Sekolah kami yang telah berpuluh tahun diajar beliau mulai kehilangan sosoknya.
Anak-anak OSIS juga merasakan akibat kehilangan Bu Ikhsan. Karena anak-anak jadi berani melanggar aturan. Walaupun tidak parah. Tapi, ya jadi susah.
“Dulu waktu Bu Ikhsan masih mengajar. Mana ada yang berani melakukan ini dan itu.” Ah, kalimat ini banyak sekali saya dengar.
Beberapa kali Bu Ikhsan juga mampir ke sekolah kami. Dan pastinya banyak yang mengerubungi beliau. Menanyakan kabar dan bercerita tentang kegiatan beliau di sana.
Saya mulai menyimpulkan beberapa hal seorang diri. Saya rasa sematan ‘guru killer’ kadang hanya jadi senda gurau anak-anak saja di kala sesaknya jam pelajaran. Buktinya siswa-siswi sekolahku juga sangat menghormati Bu Ikhsan.
Ya, setiap guru marah pasti ada alasannya.
Bagaimana denganmu, Kawan? Apakah kamu memiliki guru dengan sematan ‘killer’ di sekolahmu?
Jika iya. Cobalah mengobrol dengan guruguru baik hati itu. Mencoba introspeksi pula pada dirimu sendiri. Niscaya kamu akan menyematkan label-label yang sangat berbanding terbalik dengan label ‘killer’ pada guru-guru tersebut. ***
.
.
Farah Raihanah. Siswi MAN 1 Yogyakarta. Aktivis organisasi Romansa El Hakim
.
.
Leave a Reply