Cerpen Monaris Pasaribu (Waspada, 19 Desember 2021)
SETELAH ‘hal’ itu terjadi, rasa penyesalan menghampiri diriku dan Nana. Sepuluh menit yang lalu, ia datang ke rumah dengan badan yang gemetar sambil menangis dan sekarang kami berdua duduk terdiam di atas tempat tidur bersama dengan benda kecil yang mematikan.
“Sekarang kita harus apa?” Tanya Nana.
Sudah lima kali Nana bertanya dengan pertanyaan yang sama dan aku tetap bungkam karena tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sebenarnya ada satu cara yang terlintas dalam pikiranku tapi aku takut hal ini dapat mengancam nyawa. Namun, hati dan mulut yang tidak bekerja sama memperburuk suasana.
“Gugurkan!”
“Kau gila, Dim?” Nana marah.
“Kamu paham maksudku dan hanya itu yang bisa kita lakukan!” Bentakku.
“Ya! Memang tidak semua yang melakukan langsung mati tetapi nyawaku tetap jadi taruhan.”
Aku terdiam dan tahu jelas akibat dari perbuatan itu dan bodohnya lagi mulut ini tidak mau bekerja sama. Tentu aku tidak mau kehilangan Nana, dia tidak menghubungiku sehari saja aku langsung panik. Setelah berdiskusi, kami setuju untuk merahasiakan hal ini kepada orangtua masing-masing dan siap menjadi orangtua. Aku mengantar Nana pulang ke rumah dan mencari pekerjaan.
Hari ini aku mulai part time di sebuah kafe. Di usia yang seharusnya masih belajar dan bisa berkumpul bersama teman tidak bisa lagi aku lakukan. Sekarang prioritasku adalah Nana dan neraka dalam rahimnya. Bolehkah aku menyebutnya seperti itu?
Seiring berjalannya waktu, usia kehamilan Nana sudah lima bulan memperlihatkan perutnya semakin besar dan berat badan yang bertambah. Hal ini membuat kami harus berbohong lagi.
“Aku merasa berdosa, Dim,” ucap Nana sambil menangis.
“Tenanglah, Na, kita tidak ada pilihan lain.”
“Alasan menginap di rumah teman selama empat bulan merupakan hal yang bodoh. Mau sampai kapan kita sembunyi terus?”
“Sampai dia lahir dan kita akan jujur,” tekadku.
Kami baru saja pulang dari rumah sakit untuk mengecek perkembangan janin Nana. Aku menyiapkan makan siang dan buah yang kaya vitamin untuk dimakan Nana. Dokter bilang Nana harus banyak makan buah dan rajin minum susu untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.
Setelah memastikan Nana menyelesaikan semua makanannya aku pamit pergi kerja. Matahari sembunyi digantikan dengan bulan terang, aku sampai di rumah jam sebelas dan melihat Nana tidur di atas sofa. Semenjak mengontrak rumah dan tinggal bersama, Nana punya kebiasaan baru yaitu menungguku pulang.
Pagi hari tiba ditandai dengan suara ayam yang berkokok dan matahari yang muncul tanpa tahu malu. Aku terbangun karena mencium bau khas mi instan, Nana sangat menyukainya dan itu membuatku panik.
“Nana, kamu tidak boleh makan mi instan,” tegasku.
“Tidak, Dim. Aku masak ini buat sarapanmu,” jawabnya.
“Ya ampun, Na, kamu membuatku takut.”
“Kalau sedikit saja sepertinya tak apa hahaha…,” gurau Nana.
Seperti itulah Nana, kalau aku sedang kesal atau marah dia akan menggodaku dengan gurauannya.
Bulan depan usia kehamilan Nana sudah sembilan bulan karena itu aku meminta tambahan jam kerja dan mencari pekerjaan lainnya agar penghasilanku cukup membiayai persalinan Nana. Aku hanya memberitahu jam kerjaku bertambah kepada Nana karena satu orang karyawan mengundurkan diri, tetapi tidak dengan pekerjaanku yang lainnya.
Namun, entah dari mana Nana tahu kebohonganku dan menyuruhku tetap kerja di kafe dengan alasan kesehatan. Aku hanya mengiyakan tanpa melakukan. Saat sedang membersihkan meja tiba-tiba saja ponselku berbunyi menampilkan nama Nana.
“Halo, Na, ada apa?”
Aku takut dan panik setengah mati mendengar suara tangis Nana dari telepon. Segera aku pulang menuju rumah dengan motor putih yang biasa kubawa.
Aku menambah kecepatan tidak peduli dengan sekitar dan hujan yang membasahi tubuh diiringi suara petir yang muncul berulang kali. Sampai di rumah kulihat Nana terduduk di sudut meja dengan napas yang terengah-engah.
“Na, kamu kenapa?” Tanyaku cemas.
“Dim… rumah sakit.”
Sial! Aku cemas sehingga tidak bisa berpikir tenang, langsung kupesan mobil online dan menunggu. Emosiku hampir saja memuncak jika tidak mendengar suara klakson mobil datang.
Aku berusaha menopang Nana dengan memayungi dirinya menuju mobil. Perjalanan menghabiskan waktu satu jam karena ada pohon tumbang saat hujan tadi padahal jika tidak macet dua puluh menit saja bisa sampai tujuan.
Saat ini Nana sedang diperiksa dokter dan sesuai aturan aku harus menunggu di luar. Rasa cemasku meningkat saat dokter bilang hari ini persalinan harus dilakukan dan menyuruhku mendampingi Nana untuk memberi semangat. Hatiku iba melihat wajah pucat dan suara teriakan Nana.
“Maafkan aku karena telah menitipkan neraka padamu, Na.”
“Kau gila, Dim? Aku sedang memperjuangkan anak kita, bukan neraka. Dia surga dan kitalah neraka yang hampir saja menggugurkannya.”
Aku bisa merasakan semua pandangan menuju padaku, namun tak kuhiraukan dan lanjut memberi semangat untuk Nana. Setelah beberapa waktu Nana berjuang, aku bisa mendengar suara bayi laki-laki menangis, siap tidak siap aku sudah menjadi seorang ayah.
***
Tak terasa usia bayi kami sudah dua bulan dan sekaranglah waktunya kami harus mempersiapkan diri. Aku menelepon ayah dan ibu untuk datang ke rumah Nana, tanpa rasa curiga mereka setuju saja.
Kami bertiga dalam perjalanan menuju rumah Nana. Saat di depan pintu rumah, aku menguatkan diri dan menggenggam tangan Nana. Aku membuka pintu dan pandangan kedua pasangan itu melihat kami.
Aku langsung menjelaskan semuanya dengan jujur dan hati-hati. Kedua orangtua kami sangat marah terutama ayah Nana dan aku paham itu. Setelah menjelaskan semuanya, kedua pasangan ini masih mau menerima kami dengan kehadiran seorang bayi. ***
.
.
Langit Kompak, November 2021
Neraka dalam Rahim. Neraka dalam Rahim. Neraka dalam Rahim.
.
Leave a Reply