Cerpen Monaris Pasaribu (Bhirawa, 24 Desember 2021)
SELEMBAR daun berwarna kecokelatan tiba-tiba saja muncul dari atas dan jatuh tepat di ujung kaki. Jika diperhatikan bentuk daun tersebut seperti daun pepaya dipadu dengan daun ganja dan memiliki gerigi yang beranak pinak. Layaknya daun biasa. Namun, saat kupegang perlahan muncul anggota tubuh dari daun tersebut. Muncul mata, mulut, kedua tangan dan kaki. Daun itu menangis, memohon, memintaku agar menjadi pohon.
“Tolong, jadilah pohon. Aku daun terkutuk.”
Aku tertawa kencang mendengar lelucon yang sangat menggelitik. Daun terkutuk katanya. Dia hanya selembar daun yang tidak berguna dan selalu diabaikan. Terlebih lagi, kondisinya seperti daun yang berguguran di musim semi. Namun, tawaku berhenti saat buliran air bening menetes membasahi tangan. Daun cokelat itu menangis. Konyol. Semua orang pasti setuju kalau daun menangis sangatlah tidak logika. Maka kembali kuamati daun yang sampai saat ini masih kupegang. Hanya mempunyai satu mata seperti dajal dan mulut yang lebar seperti terkoyak, bahkan di dalam mulut daun ada serabut akar pohon. Gila.
Lantas aku meremas daun itu seperti gumpalan kertas lalu membuangnya. Sejenak, terlintas di benak cerita ayah yang pernah dihampiri selembar daun yang menyamar guna merenggut nyawa. Memang aneh, tapi benar-benar terjadi dan membuatku menjadi anak yatim. Entah bagaimana, daun yang sudah kubuang kembali datang dan berlari bahkan mampu melompat ke atas kepala dan menutup kedua mataku. Tak ada lagi raut wajah sedih, kini muncul suara tawa iblis yang menggema.
“Jadilah pohon.”
Itu adalah kalimat terakhir yang kudengar, sebelum diri ini berubah menjadi pohon. Bodoh, ternyata kalimat yang sedari tadi diucapkan daun tersebut bukanlah permohonan melainkan mantra. Kini, suasana sekitar pun berubah. Aku adalah pohon yang berdiri di samping sekolah.
***
Terik sinar mentari membuat haus, aku butuh air. Namun, aku tidak bisa lagi minum normal layaknya manusia. Seseorang harus menyiram dan membiarkan air meresap sampai ke akar. Kebetulan ada seorang perempuan dengan rambut yang dikucir dua dengan menggunakan kacamata bulat besar sedang memegang sebotol air. Berulang kali aku memanggil tetapi dihiraukan. Selembar daun kecokelatan yang menempel di bagian ranting menertawaiku. Ya, dia adalah selembar daun yang mengutukku menjadi pohon.
“Dia adalah perempuan yang pernah kau bully di sekolah. Tidak mungkin dia mau membantumu.”
Mendengar kalimat tersebut menyadarkanku kalau dia adalah perempuan yang pernah aku bully. Lalu, bagaimana nasibku sekarang? Aku sangat haus, berharap untuk hujan pada saat ini sangat tidak mungkin. Seorang laki-laki yang baru keluar dari gerbang sekolah berteduh di bawahku. Aneh, untuk apa berteduh di bawah pohon? Padahal di dalam kelas lebih nyaman. Lalu, dua laki-laki pun menghampiri dan ikut berteduh. Mereka saling mengobrol, tertawa tetapi tak lama dari itu percakapan mereka menjadi lebih serius. Tiga laki-laki tersebut menyebut namaku.
“Si Doni, tumben gak sekolah?”
“Ya udah biarin aja sih daripada buat onar terus di sekolah,” jawab anak laki-laki yang menggunakan baju olahraga.
Obrolan mereka sangatlah serius bahkan menyebutkan segala tindakanku selama di sekolah. Namun, tak ada hal baik yang mereka ucapkan. Banyak murid yang takut bahkan membenciku. Itulah alasan mengapa beberapa dari mereka tidak ingin punya urusan atau masalah dengan diri ini. Sejenak berpikir, apa aku sejahat itu?
“Pohon, kau dulunya adalah manusia yang sangat jahat,” kata daun tersebut.
Aku hanya diam, merenungkan segala perlakuan. Namun, hal yang selama ini kulakukan masih wajar seperti anak laki-laki lainnya. Hanya memalak uang, mengganggu para siswi, dan meminta makanan. Hanya itu saja, tetapi kalau salah satu dari mereka mati baru boleh menyebutku sebagai penjahat. Hal itu pun aku lakukan karena semenjak ayah meninggal yang membuatku stres dan melakukan hal jahat duniawi. Jangan lupa, ayah meninggal karena selembar daun. Pemikiran mereka saja yang lebay dan pemikiran selembar daun yang tidak berguna. Oh iya, aku hampir lupa daun ‘kan tidak punya otak.
“Astaga, kau sudah menjadi pohon pun tetap angkuh. Ingat, kita sama-sama tidak berguna.”
Rasanya aku tidak ingin berdebat dengan selembar daun bodoh. Pohon tidak berguna katanya? Aku masih sangat dimanfaatkan pekerja lainnya untuk membuat segala macam perabotan. Bagaimana bisa aku tidak berguna? Justru daunlah yang sama sekali tidak berguna. Hanya menjadi benalu yang memanfaatkan kehadiran orang lain. Daun itu tertawa meremehkanku.
“Tenyata kau belum paham alasan dirimu dikutuk menjadi pohon.”
***
Seekor kupu-kupu datang dan hinggap di salah satu daunku yang sangat segar. Ia mengaku kalau dia adalah perempuan yang dikutuk menjadi kupu-kupu. Aku semakin bingung, mengapa di sekitarku berhubungan dengan kutukan? Kemudian, kupu-kupu berwarna biru langit itu bercerita kalau dahulu dirinya dikutuk menjadi seekor ulat. Dikutuk karena sering memanfaatkan kehadiran teman-temannya dan melakukan tindakan yang di luar batas. Namun, karena kesabaran dan berhasil melakukan hal baik ia berubah menjadi kupu-kupu.
Adanya kutukan adalah sebagai peringatan bagi mereka agar bisa lebih baik lagi. Melakukan perubahan untuk diri mereka, menghargai perasaan orang lain dan mampu bersosialisasi. Setelah memberikan nasehat yang diberikan kupu-kupu tersebut, ia pun pergi bersamaan dengan jatuhnya daun-daun di ranting. Sekarang, dirinya sadar mengapa ia dikutuk menjadi pohon.
Alasan klasik tetapi mampu untuk menyadari tindakan yang dilakukan. Daun menceritakan kalau segala sesuatu yang dilakukannya adalah tugas terakhir sebelum masanya berakhir dan perubahan yang seperti iblis adalah diluar keahlian. Selembar daun cokelat yang selama ini menemani pun turut gugur dibawa angin kencang meninggalkan kesan menyentuh bagi Doni yang kini menjadi pohon. ***
.
.
Langit KOMPAK, Desember 2021
Monaris Pasaribu. Lahir di Medan 13 Februari 2001. Merupakan mahasiswi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Prima Indonesia. Saat ini bertempat tinggal di Medan, Sumatera Utara. Bergabung di dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK). Karya tulis fiksi sudah beberapa kali dimuat oleh surat kabar Kota Medan dan kota lainnya. Jejak bisa ditemukan di akun instagram @monafbryntt.
.
Selembar Daun dan Pohon. Selembar Daun dan Pohon. Selembar Daun dan Pohon.
Leave a Reply