Cerpen, Kompas, Silvester Petara Hurit

Kabar di Malam Natal

Kabar di Malam Natal - Cerpen Silvester Petara Hurit

Kabar di Malam Natal ilustrasi Amelia Budiman/Kompas

4.6
(12)

Cerpen Silvester Petara Hurit (Kompas, 26 Desember 2021)

PAGI di sepanjang Desember selalu seperti perempuan dengan rambut basah selepas mandi. Aroma tanah basah, tanaman yang menggeliat tumbuh, sayup angin, cericit burung dan ayam jantan yang berkokok panjang turun dari pohon bertingkah merayu betina pujaannya membuat pagi begitu ranum. Ama Ola selalu bangun tepat pukul 03.30. Tak dilewatkannya geliat kehidupan sebelum hari menjadi benar-benar terang.

Biasanya begitu kakinya menjejak di tanah, Ama Ola mengambil napas panjang lalu bergegas ke dapur. Diambilnya dua bilah bambu. Bilah yang lebih besar diletakan dengan posisi menelungkup. Kemudian diambil lagi bilah yang kecil dengan posisi silang ia mulai menggesek tepat di tengah guratan kecil bilah pertama dengan tempo cepat. Tak lama asap mengepul dari lubang gesekan yang telah disempal dengan serbuk kayu. Segera disatukannya dengan sabut kelapa kering. Ditiupnya pelan jadi api. Asap mengepul menembusi dinding dapur membentuk gambar-gambar yang kadang dirasa mewakili gambaran pikiran dan perasaannya.

Keringat membuat api selalu menghadirkan ingatan selepas bercinta dengan Ina Boleng saat pagi buta. Sudah sepuluh tahun Ina Boleng merantau ke Kalimantan. Bekerja di perkebunan kelapa sawit. Merantau sudah menjadi jalan keluar jika mau hidup lebih baik. Maka setahun setelah menikah, atas kesepakatan keduanya, Ina Boleng dan beberapa perempuan seusianya berangkat ke Kalimantan menumpangi Kapal Motor Sirimau bertolak dari pelabuhan Larantuka menuju Batulicin.

Tak ada yang paling meremukkan Ama Ola selain kesepian di sepanjang musim hujan. Ia sebenarnya bisa dekat dengan Ina Semoi tetangganya yang juga ditinggal suami delapan tahun merantau ke Malaysia. Sama-sama masih di usia 30-an. Sama-sama kesepian dan bisa saling mengerti. Namun Ama Ola tak berani. Jangan pernah masuk kebun orang supaya di medan perang panah dan tombak tak menyentuh dirimu! Begitulah amanat warisan nenek-moyang yang harus dipegang-teguh oleh setiap pria dari klen pemilik suri kada. Keselamatan kampung dari segala serangan musuh baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatan sangat pula tergantung padanya.

***

“Ama Ola, kau atur saja.”

“Atur apa?”

“Itu tetangga sebelah.”

“Sembarang saja. Istri orang.”

“Sama-sama butuh. Kau ronda saja.”

“Lanjut timbang kopra sana. Jangan kau aneh-aneh.”

“Musim hujan begini atur bajak sudah.”

“Sawah maka pakai bajak segala?”

“Jadi laki-laki jangan munafiklah.”

“Kau pikir saya ini nyamuk bisa gigit sembarang?”

“Bilang saja sudah kaupreteli.”

“Jangan ukur saya pakai ukuran bajumu sendiri!”

“Kau pikir istrimu di sana juga setia?”

Candaan Om Ronald penimbun kopra kemarin sore itu benar-benar bikin Ama Ola kesal. Ia biasanya mudah melupakan hal-hal yang tak enak tapi tidak untuk ini. Kalimat terakhir Ama Ola meracuni pikiran dan menggebuk perasaannya. Membuatnya gundah-gulana. Ingin segera ditelponnya Ina Boleng. Namun ia tak punya handpone. Masih Jumat. Sinyal di tempat kerja istrinya pun payah. Biasanya dibuat janjian terlebih dahulu supaya ketika libur hari Minggu Ina Boleng mencari tempat yang sinyalnya bagus untuk dapat menelpon.

Baca juga  Liang

Api sudah menyala di tungku. Tapi Ama Ola enggan melakukan apapun. Pikirannya kemana-mana. Semakin tak dapat ia kendalikan. Maka pergilah ia ke Ina Semoi tak peduli sedang gerimis.

“Pagi-pagi masih gerimis ke sini, ada apa Ama?”

“Minta maaf Ina, saya hanya mau sampaikan tolong Ina SMS Ina Boleng bahwa hari Minggu selepas gereja saya mau bicara dengan dia.”

“Baik Ama, sebentar saya langsung SMS. Sudah rindu, ya?”

Ama Ola gugup. Tak berani menatap Ina Semoi yang secara kebetulan tercegat ketika keluar dari kamar mandi. Masih dengan handuk di badan. Rambutnya basah. Satu-dua butiran air masih ada di leher dan bahunya. Ama Ola menyampaikan terima kasih langsung pulang ke rumahnya tanpa menatap lagi Ina Semoi.

Gerimis makin besar. Ina Semoi begitu sempurna. Perpaduan kecantikan dan keibuan membuat Ama Ola tergetar. Ia segera sadar bahwa semua itu hanyalah bayangan. Ina Boleng adalah kenyataan hidupnya. Lebih dari itu, ia ingat pesan ayah dan leluhurnya. Perempuan itu ibu. Siapa yang lahir dari seorang ibu, hidup dari kemurahan bumi sang ibu tak boleh berdosa terhadap tanah, istri dan anak gadis orang.

***

Rera Wulan Tana Ekan, Engkau tahu hidup saya. Apa yang mengganggu pikiran dan perasaan saya satu-dua hari belakangan. Saya hanya mau berkumpul kembali dengan istri saya di hari raya natal ini. Hanya itu permohonan Ama Ola di misa minggu kedua masa adventus.

Ia tak bisa konsentrasi sepanjang misa. Pastor Redemptus berkotbah lebih dari satu jam. Tak ada yang ia ingat selain pesan wajib Pastor Redemptus di setiap kotbah misa hari Minggu: Kanaan adalah tanah terjanji bagi umat pilihan Yahwe. Dunia ini penuh derita. Maka bersabarlah dengan tetap bertekun dalam doa dan pengharapan. Jangan mengejar harta fana dunia, pun jangan melekat pada tanah terkutuk ini. Kejarlah tanah terjanji yang abadi, kerajaan surga setelah kehidupan kita di dunia ini.

Setiap kali mendengar pesan wajib kotbah Pastor Redemptus, Ama Ola selalu ingat amanat leluhur yang disampaikan ayahnya. Bahwa tanah itu ibu yang bikin kita hidup. Menyatu dan percaya padanya buat kita tak kekurangan. Jual tanah sama dengan jual rejeki. Leluhur tak suka. Kalau sampai leluhur berpaling, di mana lagi doa-doa suci yang merawat hidup kita selama ini?

Baca juga  Maling

Ama Ola tak berani bantah kotbah Pastor. Namun ia tahu kebenaran pesan ayah dan leluhurnya walau mereka selalu dianggap kafir dan tak mengenal Tuhan. Di atas tanah berbatu mereka dapat membarter padi dengan ketipa, belaon, bala, lodan, patung-patung perunggu, keris dan perhiasan-perhiasan mahal zaman lampau.

Hari ini orang-orang sekampungnya mulai kehilangan kepercayaan terhadap tanah sebagai ibunya. Tanah terjanji jauh di sana dan bukan lagi di sini, di kampung halamannya. Tanah keselamatan bukan lagi saat ini dan di sini melainkan di sana setelah hidup sekarang ini berlalu. Tuhan tidak lagi ibu bumi tanah dan bapa matahari bulan tetapi Bapa yang jauh di atas melampaui matahari bulan. Karena tidak percaya lagi pada tanahnya, akhirnya orang-orang sekampungnya keluar merantau. Mencari rejeki di tanah orang termasuk membuatnya terpisah dari Ina Boleng demi harapan akan hujan berkah di tanah orang.

Siksa khawatir membuat Ama Ola terlempar keluar dari jalan pikiran sederhananya. Ia jadi takut. Kutuk bisa datang kalau ia berani melawan pastor sebagai wakil Kristus di dunia. Ia berusaha membuang jauh-jauh pikiran anehnya dengan membakar lintingan rokok dari daun lontar dan mengisapnya dalam-dalam sambil berharap Ina Semoi memanggilnya untuk menerima telepon dari istri tercintanya di tanah rantau.

Hingga 24 lintingan selesai dihisapnya tak datang apa yang ditunggu-tunggu itu. Pergilah ia ke rumah Ina Semoi. Belum ada SMS atau telepon dari istrinya. Ia pulang melanjutkan lintingan rokoknya hingga yang ke-54. Pergilah ia sekali lagi dengan bibir kering kehitaman bertanya lagi pada Ina Semoi. Sampai habis lintingan yang ke-80 pun tak datang panggilan itu. Diambilnya arak bakar menyala diteguknya sendiri sampai ludes 2 botol. Tergolek mabuk tak sadar di atas tikar lontar hingga pagi hari.

Pagi tak dibuatkannya api sebagaimana biasanya. Ama Ola berpikir jangan-jangan karena pikiran anehnya kemarin Tuhan jadi marah. Maka ditangkapnya ayam jantan semata wayangnya diantarnya ke rumah pastoran sebelum matahari terbit sebagai silih atas dosa telah melawan ajaran Tuhan melalui pikirannya.

***

Bunyi lonceng pertama Ama Ola sudah ada di gereja. Ini malam Natal. Natal kali ini terasa lebih lain. Ia ingat sehabis gereja, istrinya membuat kopi dan menyajikannya bersama kue cucur kesukaannya. Kantong matanya berair. Ia berusaha tenang, menutup mata dan berdoa lebih khusyuk.

Lonceng berbunyi tiga kali. Ama Ola membuka matanya sejenak ketika mendengar  tok tak langkah  kaki orang  berjalan menuju deretan bangku paling depan. Om Ronald penyumbang terbesar di gereja yang kalimat terakhirnya telah membuat kusut pikirannya.

Baca juga  Aku Membuatmu Bersetia kepada Kesepian dan Kesedihan

Ama Ola benar-benar rindu istrinya. Cinta pertama dan terakhirnya. Ibunya telah meninggal sejak ia berumur 3 tahun. Ayahnya panglima perang suku yang sejak kecil mendidiknya untuk mengabaikan perasaan, tak boleh cengeng demi lewotana. Ina Boleng adalah tempat ia bisa menjadi seperti anak kecil di pangkuan ibunya.

Sepanjang misa malam natal berlangsung dalam hatinya Ama Ola curhat pada bayi Yesus. Ia tak minta yang mahal atau sesuatu yang luar biasa. Barangkali hari lain Ina Boleng sibuk, tapi hari raya istimewa seperti natal ini, pastilah semua orang menyapa orang terkasihnya. Ia hanya minta ditelepon sama Ina Boleng. Hadiah terindah baginya di natal kali ini.

Selesai gereja Ama Ola pulang ke rumah. Ia membuat kopi. Duduk sendiri. Semua pikirannya tertuju pada Ina Boleng. Tiba-tiba listrik padam. Ia tetap duduk. Mematung di kegelapan. Meneguk kopi dengan rindu yang perih. Ada yang mendekat dan memanggil namanya. Girangnya bukan main.

“Om Ama, ada telpon….”

“Dari Ina Boleng?” sambut Ama Ola girang.

“Dari Ama Kopong.”

Seketika raut muka Ama Ola berubah. Ama Kopong adik bungsu Om Ronald anak ketua lembaga adat si tukang jual tanah yang tak disukainya.

“Ini, sudah bisa langsung bicara.”

“Halo.”

“Selamat Natal Ama Ola.”

“Selamat Natal juga.”

“Ama Ola, singkat saja saya sampaikan bahwa Ina Boleng sudah tiga minggu ini masak nasi untuk saya. Minta maaf, semoga kamu bisa terima.” Langsung dimatikan teleponnya tanpa memberi kesempatan satu kata pun bagi Ama Ola.

Seperti bara tersepuh air. Di luar gerimis menjelma panah api. ***

.

.

Lewotala Flores Timur, Awal Desember 2021

.

Daftar istilah:

Suri kada: senjata perang

Rera Wulan Tana Ekan: Tuhan dalam agama lokal Lamaholot

Ketipa: sutra Gujarat

Belaon: anting emas/perak dari zaman lampau

Bala: gading gajah untuk mahar/belis perkawinan adat Lamaholot

Lodan: kalung emas sebagai pusaka

Arak bakar menyala: arak dengan kadar alkohol sangat tinggi

Lewotana: kampung halaman

.

.

Silvester Petara Hurit, alumnus Jurusan Teater STSI Bandung (ISBI sekarang). Menulis cerpen, esai, dan lakon. Mendirikan Nara Teater. Bergiat mengembangkan iklim teater dan sastra di Flores Timur, NTT.

Amelia Budiman, pelukis otodidak sekaligus seniman tato. Berkarya melalui berbagai medium: kanvas, kayu, tembok, dan pada kulit manusia. Portofolionya dapat dinikmati di akun Instagram @paintedsister dan @ameliakeepdrawing.

.

Kabar di Malam Natal. Kabar di Malam Natal. Kabar di Malam Natal. Kabar di Malam Natal.

.

Loading

Average rating 4.6 / 5. Vote count: 12

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

  1. Cak

    Cerpen ini bagus, tapi ada yg janggal di kalimat: Kalimat terakhir Ama Ola meracuni pikiran dan menggebuk perasaannya. Harusnya Om Ronald kan?

  2. David John Rawson

    Bisa dikatakan suatu cerita tentang pengkhianatan dan kesetiaan pasangan suami isteri. Yang merantau mengkhianti pasangan yang ditinggalkan di kampung halamannya. Bagi tokoh yang tetap setia yang menyolok ialah nilai kesetiaan yang berasal dari sistem kepercayaan adat maupun kepercayaan agama Katolik. Bagi tokoh utama ini yang setia, Ama Ola nilai ini sangat penting dan dia tetap memegangnya meskipun tergoda untuk berselingkuh dengan tetangganya, Ina Semoi. Tokoh Ina ini juga ditinggalkan oleh pasangan yang lama bekerja di Malaysia. Meskipun begitu si Ina tampaknya tetap setia pada suaminya. Ironisnya isteri tokoh utama, Ina Boleng berselingkuh dengan anak Ketua Adat di tempat perantauan, Seharusnya nilai adat anak Ketua Adat masih berakar. Tapi sepertinya dia lupa adat di negeri orang. Meskipun, di urutan kejadian di cerpen bisa dikatakan kemiskinan menjadi penyebab suami-isteri terpisah dan kesetiaannya teruji. Seandarinya desanya makmur tak perlu merantau dan hubungan suami isteri teruji.

Leave a Reply

error: Content is protected !!