Cerpen Novi Chadjin (Lampung Post, 26 Desember 2021)
AKU percaya, tidak ada yang kebetulan di dunia. Semua sudah ditetapkan dalam takdir-Nya. Begitu pula dengan pertemuan kita. Setelah sekian lama tidak saling mendengar kabar berita, kemudian kita dipertemukan kembali pada suatu masa.
Sedikitpun aku tak berniat mencarimu, mungkin begitu juga denganmu. Tapi malam itu ….
“Assalamu ‘alaikum,” begitu kamu memulai obrolan lewat messenger.
Aku diam sesaat, tidak mengetikkan apapun pada messenger. Meskipun bibirku secara refleks mengucap: “Wa ‘alaikumsalam….”
Sejenak kuperhatikan namamu, nama yang dulu sangat sering kusebut. Foto yang kau pasang di profilmu juga sangat tidak asing bagiku. Bagaimana tidak, bayangan wajah itu bahkan masih tersimpan dalam sebuah kotak yang kuletakkan di salah satu sudut hatiku.
Ooh … baru saja aku menyadari, kita tergabung dalam grup literasi. Karena itulah kamu bisa mengirimiku pesan pribadi ini.
Tiba-tiba, ada gemuruh di dalam dada. Begitu berisik hingga membuatku tak tenang saja. Pikiranku berkecamuk, harus dibalas atau tidak. Namun, entah kenapa dorongan untuk membalas begitu kuat.
“Wa ‘alaikum salam warohmatulloh wabarokatuh….” akhirnya kujawab dengan lengkap salamnya. Setidaknya aku telah menggugurkan kewajiban yang memang semestinya dilakukan seorang muslim.
Seketika ada keterangan ‘dilihat’ pada pesan yang kukirim barusan. Cepat sekali dia membaca, batinku kesenangan. Tapi kenapa harus merasa senang? Ah, aku ada-ada saja. Segera kutepis pikiran yang mulai ke mana-mana.
Kulihat tiga titik dalam kolom chat di messenger itu bergerak-gerak naik turun. Tanpa dikomando bibirku pun tersenyum.
“Apa kabar? Masih ingat aku?” Dua pertanyaan yang sukses membuat senyumku makin merekah.
Setelahnya, obrolan kita pun makin mengalir saja. Alirannya juga terasa makin deras hingga mampu membawa pikiran kembali ke masa saat kita masih bersama.
Dua bulan sudah kita kembali menjalin komunikasi, meski hanya melalui chat cukup membuatku merasakan kembali hadirmu begitu dekat. Ternyata kamu tidak berubah, masih sama seramah dulu. Pernah sekali kita bertukar kabar lewat telepon, saat itu aku sengaja memilih waktu saat tak ada orang di rumah. Aku masih takut mengabarkan datangmu pada Mas Alif, suamiku. Selama ini tak ada cerita yang kusampaikan pada Mas Alif tentang kamu. Yang dia tahu, kamu hanya sebatas teman di masa lalu.
Pagi ini suamiku tugas ke luar provinsi selama seminggu. Lepas sholat subuh dia sudah berangkat. Tak seperti biasa, aku enggan mendampinginya. Meski dengan alasan aku lagi malas pergi-pergi, Mas Alif tak mencecarku dengan banyak pertanyaan. Dia cukup mengerti.
“Lagi apa?” Satu pesan WhatsApp darimu pagi ini.
Aku membalas dengan satu kalimat. “Sarapan.”
“Kangen,” katamu lagi.
Aku tersenyum membacanya. Andai tak malu, aku akan membalas dengan kata yang sama.
“Ketemuan bisa?” Aku terkejut dengan pertanyaanmu. Beberapa menit mempertimbangkan untuk menjawab, lalu ….
“Aku cuma ingin lihat kamu sebentar,” katamu lagi.
Setelah berpikir sejenak, kurasa tak ada salahnya kalau kita bertemu. Toh hanya sebatas menyambung silaturahmi, tak lebih. Pernikahanku dengan Mas Alif tak akan terganggu, aku bisa menjaga hati.
“Bisa,” balasku lalu kau menentukan tempat di mana kita akan bertemu siang ini.
Tak ada rasa apa pun saat aku berangkat ke tempat yang kau tentukan. Murni hanya ingin bertemu sebagai teman. Hanya butuh waktu kurang dari 30 menit dari rumah, aku sudah sampai ke restoran favorit kita dulu.
Aku parkirkan mobil tepat di sisi kanan pintu masuk restoran, aku melangkah ke arah meja yang sudah kau pesan. Terlihat lengang, aku tak kesulitan menatapmu dari belakang.
“Assalaamu ‘alaikum,” sapaku yang sedikit membuatmu terlihat canggung.
“Sehat, Mas?” Aku pun tak kalah canggung.
“Eh, em, alhamdulillah baik. Kamu apa kabar?”
“Seperti yang Mas lihat,” sahutku berusaha tenang, padahal hati bergemuruh hebat.
Entah apa sebabnya, apa karena penampilanmu yang semakin tampan dan gagah? Ingin memungkirinya, tapi itu nyata di depan mataku.
“Mau pesan apa?” Kamu menyodorkan menu makanan ke arahku, aku mengambil duduk agak menyamping di depanmu berbatasan dengan meja yang cukup besar.
“Minum saja,” jawabku.
“Jus naga campur tomat?”
Kamu belum lupa kesukaanku ternyata.
“Boleh,” kataku pelan.
Setelah itu kita terdiam cukup lama. Sesekali kamu memandang ke arahku, tapi aku tak berani membalas. Kuarahkan pandang ke tempat lain, sembari mengatur detak jantung yang tak berhenti berdentum sejak tadi.
“Aku bahagia dengan pernikahanku, tapi aku belum bisa melupakanmu, Tiara,” katamu.
Jantungku makin berdebar. Jika boleh jujur sampai detik ini aku juga belum bisa lupa denganmu. Waktu yang sebentar saat kebersamaan kita dulu, cukup banyak membuat kenangan manis di hidupku.
“Maaf sudah lancang ngajak kamu ketemu. Cuma mau memastikan kamu baik-baik saja dengan Alif,” ucapmu lagi.
“Gak papa.” Aku tak tahu harus menjawab apa.
Tiba-tiba satu pesan masuk ke ponselku. Mas Alif. Dengan cepat aku mengetikkan sebaris kalimat, “Adek lagi ke luar sebentar, Mas. Beli stok lauk-pauk. Kulkas kosong.”
Satu kebohongan telah kuciptakan yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Maafkan aku, Mas. Batinku tak bisa membenarkan perbuatan ini.
Setelah menghabiskan minuman, kamu berdiri.
“Aku antar pulang ya?”
“Terus mobil Tiara gimana? Gak usah.” Jawabku halus menolak tawarannya.
“Oh, ya sudah. Makasih, ya, waktunya. Aku janji gak akan ganggu kamu lagi. Cukup kamu tahu saja, aku masih sama seperti dulu. Tidak akan berubah,” katamu dengan tenang.
Aku hanya diam, tak berani berucap apa pun. Bingung dengan rasaku sendiri. Rasa bersalah telah membohongi Mas Alif, tapi rasa terhadapmu tak bisa kupungkiri. Aku masih sayang. Dan kurasa, kamu juga demikian.
Kamu mengantarku sampai ke parkir depan, setelah itu aku sendirian melajukan mobilku dengan perasaan tak karuan.
“Kau tahu, Mas? Rasa itu memang belum lenyap. Namun antara kita kini telah bersekat. Sekat yang begitu tebal dan kuat. Ya, sekat yang tak terlihat.” ***
.
Mantan. Mantan. Mantan. Mantan. Mantan.
.
Leave a Reply