Cerpen Fanny J Poyk (Jawa Pos, 25 Desember 2021)
OPA Jimmy Dethan menggerakkan bahunya lebih kuat lagi. Bahu itu mendorong kedua lengannya, lalu menggerakkan tangannya ke arah parang yang mengilat tertimpa sinar matahari siang yang terik. Ia mengasah parang itu dengan kekuatan penuh. Gurat-gurat di pelipisnya tampak semakin nyata.
Bibirnya yang kemerahan akibat sirih yang dimamahnya mengeluarkan liur, lalu ia meludah dengan seenaknya sambil berkata, “Anjing cuki mai, dong pikir dong sa yang bisa marah. Beta juga bisa, awas lu Baingao [1] bodok, beta parang lu pung batang leher putus!” katanya berapi-api.
“Heee lu [2] marah deng siapa? Minggu depan su mau Natal, jang marah-marah terus. Lu harusnya bertobat!” ucap istrinya, Mama Tua Marliana, yang sedang menganyam daun lontar untuk dibuat pohon Natal yang akan dipasang di halaman rumah bebak [3] mereka.
“Be marah karna itu anak deng dia pung Mama son berdosa, lalu karnapa dibunuh dengan keji? Siapa yang su tega bunuh itu balita yang belum berusia dua tahun? Dia pung masa depan masih panjang eee…” kata Opa Jimmy Dethan dengan raut muka kesal. Parang yang biasanya ia gunakan untuk memotong buah dan daun lontar kian kuat diasahnya.
Lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun itu mengerutkan dahinya. Ada tanya yang tak terjawabkan di benaknya. “Karnapa manusia semakin jahat Mama, dong sonde [4] takut masuk naraka, ko [5]?” tanyanya pada sang istri. Gurat kesedihan terlihat sangat jelas di wajahnya. Ia bagai membangkitkan luka lama yang disimpannya dalam-dalam.
“Kalau manusia baik samua, ini dunia su son [6] ada. Manusia su [7] masuk surga, neraka sepi,” jawab Mama tua ringan tanpa beban. “Sudah, biarkan hukum yang berbicara. Kitong [8] tunggu sa (9) hasilnya nanti. Besok lu pi [10] ke Pasar Koenino, beli tepung, mentega, gula halus deng [11] kenari. Beta mau beking [12] kokis [13] Belanda untuk Natal nanti. Sekali-sekali kitong makan kue enak, jang [14] gula air dari pohon lontar terus. Bosan,” lanjut istrinya.
Opa Jimmy Dethan mengerutkan keningnya. “Kokis Belanda? Awiii [15] … kue apa itu, beta [16] baru dengar,” ucapnya.
Sang istri yang akrab disapa Mama Tua memperlihatkan bentuk kue yang ada di laman YouTube. Sejak ia dibelikan handphone oleh sang putra yang menjadi aparatur sipil negara di Jakarta dan si anak selalu mengirimkannya kuota internet, Mama Tua punya mainan baru. Perempuan asal Desa Baa, Pulau Rote, ini berkat kecerdasan otaknya dalam waktu singkat sudah lihai memainkan gawai.
Tidak hanya itu, ia juga bisa mengirim berita melalui WhatsApp ke putranya. Dan ketika sang anak juga mengirimkan suaminya handphone, Mama Tua menjadi mentornya. Dalam waktu singkat, Opa Jimmy Dethan sudah mahir memainkan telepon genggam. Beragam peristiwa ia tonton melalui kanal YouTube, termasuk kisah pembunuhan ibu dan anaknya yang masih balita itu. Konon pembunuhan itu akibat cinta segitiga. Sayangnya, sejak ada benda itu, Opa Jimmy sering merasa kepalanya pusing, terlebih lagi setelah ia membaca beragam berita kriminal di kanal media sosial itu.
“Sudah, lebe [17] baek lu baca dan dengar khotbah akhir zaman tentang kedatangan Tuhan yang disampaikan para pendeta sa. Manusia dunia memang su semakin jahat. Lu juga harus bertobat, jang minum sopi talalu [18] banyak, nanti lu pung darah tinggi naek. Ini su mau Natal. Kitong baca kabar yang baek-baek sa,” ujar istrinya kala melihat sang suami memijit-mijit keningnya usai membaca berita-berita yang mengerikan di kanal milenial itu.
***
Suatu hari ketika Opa Jimmy pulang dari Pasar Koenino di Kota Kupang, setelah menempuh perjalanan dari pelabuhan Pantai Baru dengan menumpang kapal feri selama tiga jam, ia melaporkan perihal situasi kota yang menurutnya sudah mirip ibu kota Jakarta. Tahun lalu dia diajak sang putra ke kota megapolitan itu. Sang istri sambil memamah sirih dan matanya terus tertuju pada gawainya mendengarkan kisah suaminya dengan perhatian terbelah dua. Opa Jimmy marah ketika melihat istrinya sebentar-sebentar menatap layar gawai dan tidak melihat ke arahnya.
“Awiii ini perempuan tua, lu su seperti pejabat daerah sa, sabantar-sabantar [19] itu mata lihat lu pung [20] henpon. Lama-lama beta rampas itu barang, lalu beta banting, dengar dulu beta pung carita [21]!” pintanya dengan nada tinggi. Urat-urat di pelipisnya terlihat. Itu pertanda tekanan darahnya kembali naik.
“Sabar, lu jang marah lagi, atau lu su makang daging se’i babi Kupang di warung Bambu Kuning?” tanya Mama Tua sambil matanya tak lepas dari kisah gosip para artis yang baru kawin dan baru bercerai juga.
Sesekali Mama Tua menonton drama Korea yang memberikan kenikmatan baru padanya. Gegara film Korea itu, Opa Jimmy kerap kesal karena istrinya lebih sering memberinya sayur kelor atau merungga tanpa lauk.
“Hee maitua [22], lu pikir beta sapi kah? Tiap hari lu kasih beta makang [23] sayur bening merungga. Sudah, jangan nonton itu drama Korea terus, nanti beta WA Dominggus supaya jangan lagi kirim pulsa untuk beli kuota internet,” ujar Opa Jimmy sembari menyebutkan nama putra mereka.
“Sabar, beta lagi lihat itu bintang-bintang film Korea pung dandanan untuk Natal nanti. Beta mau lihat dong pung baju yang paling modern, nanti beta bawa pi tukang jahit di Baa,” jawab istrinya.
“Sekalian sa lu pi operasi plastik lu pung muka. Atau itu susu yang melorot lu kas [24] naek, perut lu pi kas kempes!” canda suaminya.
Mama Tua membesarkan matanya. “Oke, nanti beta minta doi [25] ke Dominggus, beta mau pi ke Korea untuk operasi plastik,” katanya.
“Lu su mulai gila, gara-gara itu henpon, lu pung otak su mulai dicuci,” kata suaminya.
“Lu juga begitu. Tiap hari lihat berita pembunuhan, perkosaan, juga korupsi. Lu pikir lu analisis politikkah? Sudah jang bahas lagi semua berita kriminal, besok lu naik pohon lontar, beta mau beking gula merah dari tuak lontar, habis itu lu pi bawa ke pasar di Baa, uangnya buat beking kokis Belanda yang beta lihat di YouTube. Kitong makang enak dengan rasa kue luar negeri,” kata Mama Tua. “Jangan bangkitkan luka lama lai,” tambahnya.
Obrolan hari itu berlanjut hingga malam. Opa Jimmy juga bercerita tentang Kota Kupang yang menurutnya tidak seperti ketika ia masih muda, kala duduk di bangku sekolah menengah pertama. Natal di kota itu mulai mengikuti pola di kota-kota besar lainnya yang ada di Indonesia. Orang-orang berduit banyak yang merayakannya di hotel-hotel yang berdiri megah di sekeliling pantai berdekatan dengan Pantai Tode Kisar.
Di masa sebelum pandemi, ada beberapa hotel yang menyuguhkan musik dengan genre modern seperti jazz maupun pop, kadang musik Hawaian diperdengarkan. Para penyanyi ada yang datang dari luar negeri, ada pula dari ibu kota. Di pusat kota, kafe untuk anak muda dan para manula yang berusia sekitar lima puluh tahun ke atas pun ada. Tamu-tamu yang datang ke kafe manula ada pasangan suami istri, ada janda, dan juga duda. Mereka berdansa dengan iringan lagu-lagu di era ‘70-an hingga ‘80-an.
Bila Natal tiba, Kota Kupang hingga pelosok desa penuh dengan kerlap-kerlip lampu-lampu yang menghiasi pohon cemara. Ada juga pohon artifisial yang menyerupai cemara, ada pula yang memotong pohon cemara dari halaman rumah untuk bisa dihiasi lampu warna-warni yang berkedap-kedip ceria. Suasana Natal sangat terasa.
“Sudah, biarkan Kota Kupang dengan kemeriahan Natal-nya sendiri. Kitong di Rote cukup memandang pohon Natal dari rangkaian daun lontar sa. Nanti kitong hias deng lampu-lampu Natal yang dikirim Dominggus tahun lalu. Lampu-lampu itu masih bagus. Sambil kitong melihat khotbah Natal di seluruh dunia melalui henpon,” kata Mama Tua Marliana.
“Kitong sonde pigi [27] ke gerejakah?” tanya Opa Jimmy.
“Sudah ada pengumuman manula dilarang masuk gereja, takut tertular Covid. Jadi supaya aman, kitong ikut khotbah melalui henpon sa,” jawab Mama Tua.
***
Dan di malam Natal itu, ketika sayup-sayup ombak Pantai Nembrala terdengar, Opa Jimmy lagi-lagi berteriak kencang sambil berjalan tergesa masuk ke rumah bebaknya untuk mengambil parang. Ia berkata akan pergi ke Kupang untuk mencari pembunuh seorang gadis yang telah diperkosa oleh seorang lelaki di sebuah hutan cemara di dekat Lapangan Udara Penfui. Darahnya seolah mendidih. Luka yang mulai menutup menganga kembali. Air mata tampak di bola matanya. Kabut sedih juga membayang di pelupuk mata Mama Tua Marliana.
Kemudian, sayup-sayup ketika mereka terguguk mendengar lagu Malam Kudus dinyanyikan dari gereja yang tak jauh dari rumah bebak mereka, keduanya mengatupkan tangan dan berdoa pada Tuhan yang mereka sembah agar putri mereka Jublina yang telah meninggal dan tubuhnya dibuang di Laut Sawu oleh suaminya kini bersemayam di surga bersama Tuhan Sang Pencipta Semesta. Jublina dibunuh oleh suaminya setelah dia mengetahui sang suami berselingkuh dan menikahi perempuan pelakor itu secara diam-diam. Pasangan suami istri manula asal Pulau Rote itu mencoba meredam pedih dari kisah masa lalu yang tersimpan erat di benak ingatan mereka.
Malam kudus, sunyi senyap;
dunia terlelap.
Hanya dua berjaga terus,
ayah bunda mesra dan kudus
Anak tidur tenang, Anak tidur tenang.
Malam kudus, sunyi senyap.
Kabar baik menggegap;
bala sorga menyanyikannya,
kaum gembala menyaksikannya:
“Lahir Raja Syalom, lahir Raja Syalom!”
Malam kudus, sunyi senyap.
Kurnia dan berkat
tercermin bagi kami terus
di wajah-Mu, ya Anak Kudus,
cinta kasih kekal, cinta kasih kekal. ***
.
.
Catatan:
[1] baingao = sebutan untuk seseorang yang tidak disukai, umpatan dalam dialek Kupang
[2] lu = kau
[3] bebak = rumah tradisional orang NTT/Rote
[4] dong sonde = mereka tidak
[5] ko = kah
[6] son = tidak
[7] su = sudah
[8] kitong =kita
[9] sa = saja
[10] pi = pergi
[11] deng = dengan
[12] beking = bikin/buat
[13] kokis = kue
[14] jang = jangan
[15] awiii = astaga
[16] beta = saya
[17] lebe = lebih
[18] talalu = terlalu
[19] sabantar-sabantar = sebentar-sebentar
[20] pung = punya
[21] carita = cerita
[22] maitua = istri
[23] makang = makan
[24] kas = beri
[25] doi = duit
[26] lai = lagi
[27] pigi = pergi
.
.
FANNY J POYK. Lahir di Bima pada 18 November. Lulusan Institut Ilmu Sosial Politik Jakarta ini aktif menulis cerpen, puisi, dan novelet sejak 1974.
.
Natal dan Percakapan Dua Manula Rote Ndao. Natal dan Percakapan Dua Manula Rote Ndao. Natal dan Percakapan Dua Manula Rote Ndao.
612 total views, 1 views today
1 Pingback