Cerpen Raudal Tanjung Banua (Koran Tempo, 26 Desember 2021)
HUJAN turun di Sentral Bus Puduraya, Kualalumpur, saat bus yang kutumpangi mulai bergerak ke wilayah Selangor Dahrul Ehsan. Sesekali suara petir menggelegar di luar kaca jendela, kilat cahaya merambat ke gedung-gedung kota. Sopir bus, seorang peranakan India, cepat-cepat mematikan radio di dashboard-nya. Persis di tengah berita tentang Pilihan Raya. Sempat juga tadi tersiar berita tentang penangkapan imigran gelap di Johor Bahru.
Suasana menjadi tenang, alamat baik bagiku menikmati perjalanan. Tapi tak lama kemudian suara radio berganti musik flashdisk. Lebih berisik. Terpaksa dalam gaduh itu aku mengingat kembali tempat berhenti. Iwan, pemuda kampungku, telah mengirimiku SMS tentang nama halte pemberhentian: halte Pasar Malam, Payajaras, Sungai Buloh.
Dari situ, aku diminta menunggu di warung Tek Siol, seberang halte. Iwan akan menjemputku. Sebab kampung Payajaras terletak tiga kilometer dari lebuh raya. Kepada kondektur yang memeriksa tiket, kusebutkan tujuanku. “Ingatkan kalau dah tiba, Pak Cik.”
“Yelah, ramai pun turun di sana,” jawabnya.
Aku dongakkan kepala ke belakang. Memang banyak pekerja Indonesia di bus, kutangkap cakap-cakap mereka. Kini aku bisa melunjurkan kaki dengan lega. Istirahat dari kelelahan acara di Dewan Bahasa dan Pustaka Kualalumpur. Maklum panitia juga mengajak keliling ke Menara Petronas, museum, dan anjangsana ke pemangku kebudayaan.
Hujan telah reda ketika bus berhenti di halte tujuan. Penumpang yang turun umumnya menyeberang ke simpang Payajaras. Aku sengaja belum mengontak Iwan. Aku ingin menikmati sejenak suasana lapau “urang awak” di kedai Tek Siol. Ketika aku datang, tak ada yang mengenaliku, meski aku mengenal sejumlah orang. Termasuk Tek Siol dengan rambut tertutup tengkuluk. Ia sedang membuat goreng pisang.
Keluarga Tek Siol generasi pertama perantau jiran. Anak-anaknya punya kad dan permit (kartu kerja dan izin tinggal). Tek Siol dan suaminya bahkan punya kartu penduduk yang lazim disebut ezi. Kehidupannya seperti di kampung sendiri. Warungnya pun persis warung kampung. Selain kopi dan goreng pisang, ada lontong dan kolak ubi.
Ketika aku menyapa, beberapa orang menatapku sejenak, tapi segera tak peduli. Mereka asyik main domino. Pasti mereka biasa melihat wajah baru. Tiap waktu ada saja orang kampungku menyeberang. Terbanyak bekerja di daerah sini. Ketika ada yang mengenaliku, mereka balik menatapku serentak. “Oii, Kudal!” teriak seseorang itu. Ia sebut nama masa kecilku. Aku mengenalnya: Pian anak Ambaran, “bekas” orang kaya di kampungku.
“Wah, sampai juga Pak Wartawan ke mari,” ia menyongsongku. Segera yang lain menyambut: Ikam, Oyon, dan Kulin—kawan-kawanku dulu bermain. Kami semua berangkulan. Yang tak mengenalku berbisik sesamanya, “Anak si Anu. Wartawan….”
Etek Siol segera membuatkan aku kopi. Suaminya, Pak Zubir, duduk di sampingku. “Tinggal di mana Kudal sekarang?” tanyanya pangling.
“Di Yogya, Pak,” jawabku. Aku tatap wajahnya yang menua. Waktu di kampung ia pengusaha kue kipang. Bahannya dari jagung dan saat dipanaskan akan terdengar suara menggelegar dari mesin manualnya seperti letusan meriam. Kami biasa bilang, “Zubir menembak kijang!” Atau, “Zubir sedang perang.” Aku tak tahu mengapa dulu ia sekeluarga ke Malaysia, padahal usahanya cukup maju. Entahlah, pilihan orang macam-macam.
“Jadi, langsung terbang dari Yogya ini?” tanya Pak Zubir lagi.
“Dari Jakarta, Pak. Kebetulan ada kegiatan dulu di sana,” jawabku.
“Keperluan apa Kudal ke mari?”
Etek Siol yang menjawab, “Ehei, ada acara dia pasti! Dia kan diongkosi pemerintah.”
Aku tersenyum. Kemudian kujelaskan, “Ada acara di Kualalumpur, Pak. Sudah selesai. Saatnya ketemu kawan-kawan di sini.”
“Dia jadi orang penting sekarang!” teriak Pian yang kini menyisih ke sudut.
“Di mana Kudal bekerja?” Pak Zubir bertanya kembali.
Kulin menjawab, “Ehei, dia wartawan itu, Pak! Nanti bapak ditulisnya di koran.”
“Lawaknya Pak Zubir ini, malah beliau yang tanya-tanya wartawan,” seloroh Ikam.
Aku sebenarnya ingin menjelaskan bahwa aku bukan wartawan. Aku hanya penulis freelance. Atau pengarang, atau penyair. Tapi apa dimengerti? Penjelasan semacam itu sering gagal. Sejak masih di kampung begitu. Aku terlanjur dianggap sebagai wartawan. Bagi mereka, penulis hanya ada dua: pegawai negeri atau wartawan. Akhirnya kubiarkan.
“Bagus punya pekerjaan begitu, Kudal. Berat nian kerja seperti saya.”
“Apa kerja Pak Zubir?” aku bertanya memberi perhatian.
“Sopir truk. Biasa bawa barang dari Kualalumpur ke Pahang. Sebenarnya mataku ini sudah kabur, jalan kurang kelihatan,” ia mengerjap-ngerjapkan matanya. “Tapi apa boleh buat tetap belum bisa istirahat. Hidup di sini makin sulit. Tak seperti awal kami datang. Masih untung kami sudah punya ezi. Preman-preman ini malah pada kosong, kalau ada patroli semua mengirap masuk hutan,” ia menunjuk kawan-kawanku (di sini, kartu identitas atau “id-card” dilafazkan ezi, dan di kampung, anak muda biasa diistilahkan “preman”).
“Sering patrolinya, Pak?” kini aku ingin tahu.
“Wah, hampir sebulan sekali!” sela Tek Siol. “Kadang tergantung pasaran. Kalau lagi ramai isu TKI ilegal, ya, ramai patroli. Kalau mau aman, beri seratus ringgit.”
“Tapi kalau lagi panas, berapa pun mereka tak terima, Tek. Mereka tunggui pekerja kita di rumah-rumah petak sewaan. Kalau tertangkap, laju ke Segambut,” Pian menyebut nama penjara tempat banyak TKI ditahan.
“Bikin dag-dig-dug!” Ikam menebah-nebah dadanya. Terdengar gelak-tawa.
“Sebenarnya dulu tahu sama tahu. Komandannya paham. Tapi sejak komander polis berganti, semua berubah. Dan maunya minta uang damai,” Pian menjelaskan keadaan.
Terdengar lagi gelak sedikit. Pahit. Kutatap wajah kawan-kawanku yang payah dirajah nasib. Sampai kemudian Iwan datang menjemputku dengan sepeda motor bututnya. Lumayan ada waktu bagiku semalam di Payajaras. Besok aku harus kembali ke Kualalumpur untuk melanjutkan perjalanan ke Patani.
***
Malamnya, rumah kontrakan Iwan didatangi banyak orang. Sebagian mereka kujumpai tadi siang di warung Tek Siol. Sebagian lain belum kujumpai tapi kukenal, bahkan akrab. Sebagian lagi aku tak ingat. Mungkin waktu aku ke Jawa, mereka masih remaja, dan di sini perubahannya kentara sekali; otot-otot gempal berisi sebab kerja di kilang atau kebun sawit. Mungkin mereka juga ada yang tak mengenalku—orang yang tak kalah payah dihajar nasib ini!
Jumlah mereka mungkin sepuluh atau dua belas. Rupanya mereka meminta aku mendengarkan keluhan mereka. Masing-masing punya kasus dengan induk semang atau bos tempat bekerja. Ada gaji tak dibayar. Ada upah tak sesuai. Bahkan ada seorang anak muda menceritakan nasib ibunya yang ditahan polis karena sang ibu melaporkan majikannya melecehkan dirinya. Sang majikan balik melaporkannya dan ia malah ditangkap.
Lantas dari itu semua, mereka minta aku untuk menuliskan dan disiarkan di koran!
Sulit bagiku menjelaskan posisiku. Tiba-tiba aku teringat sebuah cerpen Wildan Yatim, Desah Lembah. Menceritakan tentang seorang sarjana pulang kampung. Ia diminta datang ke sebuah rumah jauh di lembah oleh seorang ibu miskin. Ternyata si ibu minta supaya ia sudi mengobati matanya yang nyaris buta karena sakit. Si pemuda terperangah karena ia bukan dokter. Ia adalah sarjana Biologi yang terlanjur dianggap orang sekampung sebagai sarjana kedokteran. Kedua pihak tentu kecewa, persis aku kini.
Perasaanku terasing, teralienasi. Aku penulis memang, tapi bukan jurnalis. Bahkan seandainya aku seorang wartawan, apakah tulisanku akan menyelesaikan kasus mereka? Aku masygul. Banyak kasus besar seperti aturan sepihak untuk TKI dan hancurnya pendidikan anak-anak mereka. Para calo gentayangan ke desa-desa merekrut tenaga kerja ilegal. Semua terbiarkan. Apalagi kasus “perorangan” macam ini dan terjadi di negeri orang pula. Bukan aku tak punya harapan. Katakanlah ini ketidakmampuanku dari mana hendak memulai. Aku tercenung lama. Lalu tanpa kusadari, kepalaku menggeleng perlahan.
“O, ndak bisa Kudal, ya?” gelenganku terbaca oleh Pian. Nadanya kecewa.
Aku tersintak, dan tiba-tiba aku tak ingin mengecewakan mereka. Maka antara refleks dan gagah, segera kujawab, “Akan kutulis! Ya, nanti kutulis semua!”
Tapi sejenak kemudian aku tersadar bahwa ucapanku memberi janji. Aku tak ingin nanti mereka lebih kecewa lagi. Maka segera pula kulandaikan dengan pemakluman, “Apa pun, hasilnya bukan kita yang menentukan. Lagi pula, saya menulis di Indonesia, bukan di koran sini. Tapi semoga ada yang memberi tahu orang KBRI.”
Untunglah semua maklum. Aku bertambah lega ketika mereka kemudian hendak pamit. Namun baru saja mereka bangkit, sebuah mobil patroli mendadak berhenti di halaman rumah. Seseorang berteriak tertahan, “Polis, polis!” Serentak semua kocar-kacir. Ada yang melompati tingkap atau lari lewat pintu belakang. Empat orang lolos dalam gelap, lenyap menerobos rawa-rawa. Mungkin memang begitu bila ada patroli. Seseorang menggolekkan dirinya di kasur, merintih-rintih berpura sakit. Seorang lagi bersikap kuyu menungguinya di tepi ranjang.
Tapi sebagian besar kini terkepung, termasuk diriku.
“Semua naik kereta peronda!” perintah komandan menyebut mobil patroli.
“Mohon, Komander, kami sedang melawat kawan sakit,” Ikam menawar.
“Periksa ke bilik!” perintah Komander. “Kalian musti diangkut ke ibu-pejabat.” Aku tahu maksudnya: markas. Waktu aku diajak ke markas pejabat kebudayaan di Kualalumpur, panitia acara juga bilang begitu. Dua orang polis masuk. Lalu keluar lagi mencekal tangan “si penunggu” dan “si sakit”.
Tanpa ampun, semua digiring ke atas kendaraan, termasuk Iwan dan istrinya dengan seorang anaknya yang masih kecil. Mereka siap dibawa ke markas buat pemeriksaan. Namun dibawa atau bukan sama saja. Visa mereka bukan visa kerja. Biasanya setiap mau habis masa berlaku, mereka menyeberang ke Dumai atau Batam, lalu kembali lagi demi memperbarui limit masuk. Tapi lama-lama capek juga, dan mereka biarkan semua mati. Itu sempat diceritakan tadi padaku.
Keadaan panas dan panik. Anak Iwan mulai menangis. Kulihat wajah-wajah kecemasan. Tiba giliranku diminta naik. Aku buka tasku. Aku perlihatkan pasporku. Lalu kukeluarkan undangan dari Dewan Bahasa dan Pustaka Kualalumpur. Kusodorkan pula piagam penghargaan yang baru saja aku terima ke muka Komander. Belum puas, kuangsurkan buku puisiku. Terakhir, kubuka surat kabar Utusan Malaysia yang memuat fotoku saat diterima pejabat kebudayaan.
Komander mengangguk-angguk takzim. “Ape maksud awak ke mari?”
“Saya izin pada petinggi di KL hendak melihat kehidupan migran di sini. Saya akan tulis. Juga mengenai mereka yang dikejar-kejar patroli dan kasusnya sering berakhir jika ada wang damai,” aku pun menjawab tak kenal ampun.
Ia gelagapan. Kurasa ia merasa di-skak mat. Benar saja, tiba-tiba semua di atas kereta peronda diperintahkan turun. Polis pengawal terheran-heran melihat sikap komandan mereka. Tapi sebagaimana polisi di mana-mana, mereka pasti mampu mencium sesuatu yang tak enak. Komander menyalamiku. Kemudian begitu saja, rombongan patroli itu pergi dengan lampu sirene berputar-putar.
Suasana senyap. Semua terpana takjub.
“Sakti kau, Kudal!” tiba-tiba terdengar Ikam berseru.
Aku tersenyum buncah, meski aku sendiri takjub pada apa yang baru kulakukan.
“Nah, buktinya kau bisa, Kudal! Kau pasti juga bisa urus kasus kami,” desak Peren.
Iwan menjawab, agak menyergah, “Sudah, beri ia waktu istirahat!”
“Lagi pula,” Si’un tanggap, “besok ia sudah harus kembali.”
“Hanya semalam kau di sini?” Peren memastikan.
“Benar, Ren. Tiket sudah dipesan sesuai jadwal,” jelasku datar.
Semua yang hadir manggut-manggut. Tapi tak ayal mereka riang-ria lagi.
“Kalau begitu, jangan bubar dulu, hoi!” sahut Oki yang diam sejak tadi.
“Tambah kopi!” saran Ikam.
“Cari roti canai dan teh tarik!” kata Peren.
“Ambil batu domino!” sambut Rayo.
Si tuan rumah tak dapat berkata lagi. Malam itu kami bertenggang hingga pagi. Dan meski hanya semalam di Payajaras, Malaysia, aku merasa telah melakoni dua hal sekaligus: jadi pahlawan dan pecundang. Perasaan itu kubawa pulang, dan selalu terkenang. ***
.
.
/Yogya, 2020-2021
Raudal Tanjung Banua, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Buku terbarunya, Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan. Mengelola Akar Indonesia dan Komunitas Rumahlebah.
.
Semalam di Payajaras. Semalam di Payajaras. Semalam di Payajaras. Semalam di Payajaras.
.
Hiro
Bia lah awak komen untuak kni diek
Biaso nyo abg baco sajo