Cerita Anak Muhammad Fauzi (Majalah Bobo No.38 Tahun XLIX 23 Desember 2021)
RUMAH mewah yang baru selesai dibangun di samping rumahku itu akhirnya berpenghuni. Namun, aku belum pernah melihat pemilik rumah itu. Yang sering aku lihat dari balkon rumahku hanya Mbak Narni, asisten rumah tangganya. Kemarin pagi, aku berkenalan dengannya saat membeli bubur ayam yang lewat di komplek rumah.
Ketika sedang berada di balkon rumahku, aku bisa melihat rumah mewah dua lantai itu. Berseberangan dengan kamarku, ada jendela dengan tirai bungabunga yang selalu tertutup. Dari balkon rumahku, aku juga bisa melihat Mbak Narni menyiram bunga di halaman rumah mewah itu.
“Bunganya mekar semua ya, Mbak Narni!” sapaku dari balkon kamarku.
Mbak Narni mendongak ke arahku sambil membetulkan letak kacamatanya.
“Belda mau bunga? Ada bunga mawar, bunga kertas, atau mau kaktus?” jawab Mbak Narni sambil melambai ke arahku.
“Masih ada tugas sekolah, Mbak. Kapan-kapan saja, ya!” kataku sambil tersenyum.
Mbak Narni mengacungkan jempolnya ke arahku.
Malam ini, aku mengerjakan tugas sekolah di balkon ditemani ayah. Namun, karena ada tamu, ayah turun ke ruang tamu. Sementara aku sendirian di balkon. Aku melihat-lihat ke rumah mewah itu. Aku berharap ada Mbak Narni yang bisa menghiburku dengan suara merdunya.
Deg! Aku melihat tirai rumah mewah itu terbuka. Seorang anak perempuan seusiaku dengan wajah pucat tersenyum ke arahku. Kemudian tirainya tertutup lagi.
“Aaaaa…. Tolong…!” teriakku ketakutan.
Aku buruburu menutup pintu kamarku.
Aku kemudian menemui ibu di kamarnya. Aku ceritakan semuanya pada ibu. Akan tetapi, ibu sepertinya tidak percaya dan menyuruhku tidur saja.
“Mungkin kamu kelelahan, Belda. Kalau kamu masih takut, kamu boleh tidur di kamar Ibu,” kata ibu padaku.
“Aku tidak salah lihat, Bu. Dia berwajah pucat. Tersenyum padaku,” aku berusaha meyakinkan ibu.
“Mungkin itu hanya perasaanmu saja, Belda,” jawab Ibu sambil memelukku.
***
Hari masih pagi, aku sudah mencium bau harum dari dapur. Rupanya, ibu sedang membuat jalangkote, makanan kesukaanku. Sudah lama sekali ibu tidak membuat camilan khas Makassar, kota asal ibu.
“Tumben Ibu membuat jalangkote pagi-pagi sekali,” kataku sambil mencomot jalangkote di piring.
“Nanti kamu antar jalangkote ini untuk Mbak Narni, ya! Supaya lebih akrab,” jawab ibu.
Sebenarnya aku masih takut jika mengingat kejadian semalam. Aku ingin menolak, tetapi aku tidak enak hati pada ibu.
“Baik, Bu!” jawabku.
Menjelang siang, aku mengantarkan jalangkote ke rumah mewah itu. Jantungku berdetak tidak beraturan. Aku berharap bertemu Mbak Narni di depan rumah, agar aku tidak perlu masuk ke rumah mewah itu. Aku menggoyangkan lonceng di pagar rumah itu beberapa kali. Tidak lama, Mbak Narni datang.
“Eh, Belda. Mau minta bunga, ya?” tanya Mbak Narni.
Aku menggeleng cepat. “Ini aku disuruh ibu memberikan ini untuk Mbak Narni,” jawabku.
“Wah, terima kasih. Masuk dulu, yuk!” ajak Mbak Narni sambil menarik tanganku.
Aku tidak bisa menolak ketika Mbak Narni menarik tanganku. Rumah itu benar-benar mewah, seperti yang pernah aku lihat di televisi. Jantungku berdegup tidak beraturan ketika aku melihat anak perempuan seumuranku yang berwajah pucat itu mengintipku dari balik lemari. Aku ingin berteriak, namun Mbak Narni buru-buru menenangkanku.
“Sini, Non!” Mbak Narni melambaikan tangan ke arah anak itu.
Aku masih terkejut. Anak itu berjalan mendekat sambil tersenyum.
“Ini majikan kecilku, Belda. Namanya Non Marissa. Dia tidak mau keluar rumah karena merasa berbeda dengan yang lain. Padahal, Mbak Narni sudah berusaha mengajaknya keluar rumah agar Non Marissa tidak kesepian. Tetapi, Non Marisa tetap tidak mau. Makanya, Non Marissa senang sekali saat melihat kamu di balkon kemarin malam. Tetapi, Non Marissa sedih lagi karena melihat kamu ketakutan,” cerita Mbak Narni.
“Maafkan aku! Habisnya, Mbak Narni tidak pernah cerita kalau ada kamu di rumah ini. Hai, namaku Belda,” aku mengulurkan tanganku pada Marissa.
“Namaku Marissa. Terima kasih sudah mau menjadi temanku,” jawabnya sambil tersenyum.
“Non Marissa memiliki masalah kulit, namanya albino,” jelas Mbak Narni.
“Albino? Aku baru mendengarnya, Mbak,” tanyaku.
“Albino itu orang yang mengalami kekurangan zat pigmen atau pembentuk warna pada kulit, mata, dan rambut sehingga berwarna putih pucat, terang, atau putih kekuningan. Ah, nanti Belda cari sendiri saja di internet, ya!” kata Mbak Narni.
“Kalau begitu, aku pulang dulu ya, Mbak Narni, Marissa,” pamitku.
“Besok main ke rumahku, ya! Biar aku tidak kesepian,” kata Marissa.
“Siap. Kamu juga boleh main ke rumahku, kok! Nanti kita belajar memasak jalangkote sama ibuku,” jawabku.
“Wah, pasti seru sekali. Aku tidak pernah memasak sama ibuku. Dua bulan lagi ibuku baru pulang. Makanya, aku merasa kesepian. Mulai sekarang, kita bersahabat, kan?” kata Marissa.
Aku mengangguk sambil memeluk Marissa. Kulihat Mbak Narni meneteskan air mata terharu. ***
.
Misteri Wajah Pucat Rumah Mewah. Misteri Wajah Pucat Rumah Mewah.
Prasetya
Kalau mau usul sastra koran yg belum masuk di ruang ini gaimana caranya ya kak
ruangsastra
Sampai hari ini, Admin belum bisa menerima kiriman dari penulis untuk mengarsipkan karyanya di ruangsastra.com karena keterbatasan waktu yang Admin miliki. Demikian, semoga bisa maklum adanya. Terima kasih.