Cerpen Eko Triono (Kompas, 02 Januari 2022)
“MEREKA satu rumah, tapi ada penghuni lain dalam rumah itu yang tidak mereka kenali, yang lebih sering berbicara dengan anaknya,” kata teman Marzuki, pada Sabtu sore, “dan itu bukan jin, bukan iblis.”
Menjelang malam, wajah Marzuki merah padam.
“Berikan!” Marzuki memaksa, “Kamu pikir siapa yang memberi kamu makan selama ini? Yang membelikan kuota?”
Anaknya membantah dalam posisi rebahan, “Akan kuberikan kalau ayah juga memberikan kata kunci HP ayah! Itu namanya adil.”
“Adil? Tahu apa kamu soal adil, hah?!”
“Tahu! Di Youtube banyak yang bahas keadilan bagi anak-anak. Orangtua tidak boleh seenaknya. Masuk kamar anaknya, harus mengetuk dulu!”
***
Sabtu sore tadi, di deretan kios pasar, Marzuki mendapat cerita yang bikin dadanya gusar.
Temannya berkata bahwa anaknya Jumadi, si juragan travel, tertangkap polisi karena tuduhan teror, punya senjata api, dan bergaul dengan orang asing.
Jumadi satu tempat tinggal dengan anaknya. Mereka satu rumah, tapi ada penghuni lain dalam rumah itu yang tidak mereka kenali, yang lebih sering berbicara dengan anaknya. Penghuni itu bukan jin, bukan pula iblis. Namun, orang asing dalam telepon pintar.
“Orang tuanya tidak tahu?” Pemilik kios batik penasaran.
“Dilindungi kata kunci. Kita enggak bisa sembarangan buka dan pencet HP orang lain, kan? Memangnya remot TV!”
Temannya berkata bahwa sekarang banyak anak tiba-tiba hilang ikut orang asing atau nonton macam-macam. Marzuki berkeras anaknya tidak demikian karena telepon pintarnya dipakai buat belajar daring.
***
Sesampainya di rumah, rasa khawatir dalam diri Marzuki tidak bisa ditutupi. Dia bertengkar dengan anaknya.
Dia meminta kata kunci, malah diminta balik. Dia jadi curiga sama sikap anaknya. Keributan berhenti ketika istrinya menengahi. Istrinya meminta bicarakan baik-baik. Jangan saat lelah. Bicarakan nanti setelah makan malam. Jangan pula menuduh anak sendiri tanpa bukti.
Marzuki, dengan gaya bicara yang masih kuasa penuh atas arah rumah tangganya, menyatakan setuju membahasnya setelah makan malam.
Dalam hati Marzuki sebenarnya tersimpan rasa takut apabila dia juga dimintai kata kunci telepon pintarnya. Dia menyesal tadi tergesa-gesa. Untung anaknya nolak. Mau jadi apa jika ternyata anaknya setuju, lalu dia sendiri harus terbuka sebagai tanda keadilan.
Pertengkaran seperti apa yang bakalan terjadi jika istrinya tahu apa yang dia sembunyikan. Mengerikan kalau sampai ketahuan dengan siapa akhir-akhir ini dia sering saling berkirim pesan teks, suara, gambar, dan video mesra.
Dia sekarang punya waktu untuk diam-diam memberesi isi telepon pintarnya.
Dia berkata masih dengan suara seolah emosi, “Aku mandi duluan!”
Dalam saku celana pendeknya, dia membawa gawai ke kamar mandi. Dia menutup pintu dan seperti diburu batas waktu orderan jahitan, tangannya cekatan. Dia mengirim pesan kepada selingkuhannya agar tidak menghubungi malam Minggu ini. Dia memblokir nomor kontaknya.
Dia membersihkan pesan-pesan genit dengan perempuan lain, tetapi lupa memblokir satu nomor. Dia menghapusi folder yang berisi aibnya sendiri dan aib-aib selingkuhannya yang sering diberi order gratisan. Dia mengganti kunci pola gambar dan kunci pola kata.
***
Di hari-hari sebelumnya, saat suaminya mandi lama, istrinya akan protes, tetapi sekarang dia malah berharap lebih lama.
Dia sadar. Ini kesempatan merapikan telepon genggamnya. Apa jadinya jika nanti suami dan anaknya memberikan kata kunci masing-masing dan dia sendiri menolak?
Kalau dia berikan seperti adanya, rahasianya bisa terbongkar. Meski di dalam dirinya, katakanlah, sudah tak ada lagi cinta pada suaminya, tetapi dia tetap mencintai rumah tangga ini, terutama anaknya.
Di dapur, sembari masak dengan lambat-lambat, dia menghapusi komunikasinya dengan sejumlah instruktur senam pria. Dia meminta teman tapi mesranya jangan menghubungi dulu malam Minggu ini. Dia mengganti kata kuncinya.
Dia bekerja di pusat kebugaran. Tiap hari pula melihat lelaki-lelaki berotot yang menggairahkan, yang berbanding terbalik dengan otot dan bentuk perut suaminya yang kebanyakan duduk dan menjahit pakaian.
Dalam hati Marzuki sebenarnya tersimpan rasa takut apabila dia juga dimintai kata kunci telepon pintarnya. Dia menyesal tadi tergesa-gesa. Untung anaknya nolak. Mau jadi apa jika ternyata anaknya setuju, lalu dia sendiri harus terbuka sebagai tanda keadilan.
Dia tahu dia salah saat suaminya meminta tidur bersama, dia sering memejamkan mata. Dia membayangkan lelaki lain yang kekar berkeringat di atas tubuhnya.
Tidak kurang-kurang dia meminta suaminya menjadi seperti apa yang dia inginkan, tapi suaminya malah menuntut balik agar dia pun seperti yang suaminya inginkan. Daripada ribut, pikirnya, lebih baik semuanya berjalan seperti biasa.
Dia menghibur diri dengan ngobrol bareng sesama instruktur, apalagi yang lelaki, yang satu bidang, yang mau mendengarkan ocehannya, dan yang membuat perasaannya terbawa seperti gadis remaja yang lama mendambakan cinta dan nafsu membara.
Sekarang, demi menunjukkan bahwa semuanya memang baik-baik saja, meski hati berdusta, dia tetap bersuara dengan keras dan meyakinkan, “Ayo, sayang-sayangku, siap-siap makan malam!”
***
Suami dan anaknya mendengar panggilan makan malam, yang pura-pura sudah siap itu, namun keduanya pura-pura tidak dengar.
Di kamar tidur, anaknya pura-pura masih ngambek karena dimarahi. Padahal, di sisi bantal putih, dia sedang menghapusi pesan-pesan dari ceweknya di sekolah.
Dia sedang berniat menghapusi galeri yang berisi foto-foto pacarnya, dalam berbagai pose dan kenakalannya, sebelum dia memiliki gagasan cemerlang.
Dia yakin tidak akan ketahuan orangtuanya yang ketinggalan zaman. Dia memindahkan foto ke layanan penyimpanan awan. Dia meminta foto itu susah payah, bahkan sering harus membelikan es krim, dan kadang mengancam ceweknya dengan kata putus. Dia mengabari agar pacarnya tidak menghubungi malam Minggu ini.
Dia mengganti galeri fotonya dengan kutipan-kutipan motivasi, doa-doa religius, yang dia baru saja unduh dari internet dengan tergesa.
Sekarang, pesan-pesan yang tersisa tinggal dari grup sekolah, pelajaran, kelas, dan kelompok remaja dari cabang karang taruna kompleks perumahan. Walaupun grup itu tidak seramai di grup game online.
Dia menghapusi jejak pencariannya di Youtube dan internet. Dia rajin menonton di sana. Terutama acara lucu dan artis kaya. Dia sering kesal dilahirkan dari keluarga melarat dan memalukan sebagai anak tukang jahit dan staf kebugaran. Dia tidak bisa pamer apa-apa di media sosial.
Ditambah sekarang, dia merasa ayahnya benar-benar sialan. Dia harus memberikan privasinya sebagai anak? Ini salah, pikirnya. Harusnya ayahnya melihat dari siaran Youtube tentang hak-hak anak.
Tidak banyak waktu, kini tiba saatnya dia mengganti kunci pola gambar dan kunci pola kata dengan yang lain.
***
Selesai makan malam, yang meski banyak senyum dan pujian palsu atas rasa masakan yang biasa saja, segalanya dimulai.
Marzuki mengambil sikap seolah contoh sempurna dari kepala keluarga yang bertanggung jawab atas arah kebaikan anak dan istrinya, dunia dan akhirat. Dia terlihat tenang, salih, dan meyakinkan saat mengeluarkan gadget-nya.
“Silakan, periksa punya ayah. Tidak ada yang ayah sembunyikan. Ayah tidak malu seandainya kalian menemukan ada catatan utang ayah untuk membiayai usaha jahitan atau cicilan rumah ini.”
Kata-kata suaminya sesaat membuat hati istrinya tersentuh. Istrinya pun mengeluarkan gadget-nya.
Anaknya, yang kini mulai merasakan betapa kedua orangtuanya sangat baik. Tidak selayaknya dia bandingkan dengan artis Youtube kaya. Dia ikut mengeluarkan telepon pintarnya.
***
“Apa kata kuncinya?” Tanya Marzuki pada anaknya.
Anaknya menggambar kunci pola gambar, yang membentuk hati. Marzuki agak kaget lihat pola itu, karena dia curiga ini kelakuan remaja jatuh cinta. Namun, dia terharu saat anaknya menyebutkan kata kunci.
“Rajin soleh berbakti,” kata anaknya memberi tahu, “kecil semua hurufnya. Tanpa spasi.”
Ketika membuka isinya, Marzuki semakin merasa malu telah sempat curiga pada anaknya sore tadi.
Dia melihat dengan nyata gambar-gambar di HP anaknya adalah gambar-gambar kutipan motivasi hidup, semangat untuk sukses di masa depan, tips pelajar-pelajar terbaik, dan nasihat-nasihat untuk berbakti pada orangtua. Grup pesannya juga grup-grup yang bermanfaat dan berpendidikan.
***
Istrinya saat mulai membuka telepon genggam Marzuki. Dia ingat, pada awal-awal keluarga ini hanya memiliki HP satu, semua boleh membuka, bahkan nomor satu dipakai oleh semua anggota keluarga, tidak ada rahasia. Namun, saat masing-masing memiliki, tiap HP terkunci bagi yang lainnya.
Sekarang, saat dia membuka kembali HP kenangan yang sudah tua, yang tetap dipakai, retak kacanya, tidak sensitif layarnya, dan membuat dia merasa bersalah telah merendahkan suaminya yang hidup sesederhana ini.
Suami yang ketinggalan zaman, yang penampilan dan mutu gadget-nya tidak seperti orang-orang di gym. Semua dilakukan hanya demi berhemat membayar cicilan rumah.
Bahkan, pola gambarnya hanya persegi biasa seperti anak kecil.
“Apa kata kuncinya?” tanya istrinya.
“Sayang anak sayang istri 123,” kata Marzuki menyebutkan, “kecil semua. Digabung.”
Istrinya terenyuh saat mengetik. Matanya mulai membasah, gemetar. Ketika dilihat isinya hanya seputar bisnis jahitan. Grupnya bapak-bapak. Kalau ada video yang disimpan, hanya hiburan video lucu, potongan ceramah tentang akhirat, dan kata-kata mutiara tentang ridha pada takdir.
***
“Apa kata kuncinya?” tanya Marzuki saat berbalik memeriksa gadget abu-abu metalik mewah milik istrinya.
“Setia syukur cinta 87,” kata istrinya, “kecil semua, enggak pakai spasi.”
“87?”
“Tanggal dan bulan lahirmu,” jawab istrinya malu-malu.
Marzuki tersipu.
Anaknya bercie-cie.
Kebahagiaan di keluarga itu masih bertahan, sebelum tiba-tiba ada panggilan masuk dari nomor yang tidak diinginkan. ***
.
.
(2021)
Eko Triono, lahir di Cilacap, 1989. Kumpulan cerpennya, Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon? (2016) menjadi pemenang penghargaan sastra Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta (2017). Kumpulan cerpen eksperimennya, Kamu Sedang Membaca Tulisan Ini (2017). Kumpulan cerpen lucunya, Republik Rakyat Lucu (2018), termasuk nominasi Kusala Sastra Khatulistiwa 2019.
Angga Aditya Atmadilaga, lahir di Bandung, 26 September 1987. Sejak SMU sudah tertarik pada seni grafis sehingga meneruskan pendidikan di Jurusan Seni Grafis FSRD ITB. Tidak hanya mendalami teknik konvensional, ia juga mencoba beragam kemungkinan perluasan teknik dan media dalam seni grafis. Sejak 2010, Angga menjadi asisten dosen dan asisten akademik di Studio Seni Grafis ITB.
.
Apa Kata Kuncinya? Apa Kata Kuncinya?
.
David John Rawson
Cerita ini membuat aku sadar tentang kehidupan rahasia yang dijalankan lewat HP serta perubahan sosial akibat menjemurnya kepemilikan HP. Cerpen ini juga membuat aku tersenyum. Ada anak dan orang tua suatu kelurga yang berusaha menyembunyikan kehidupan rahasia dari anggota lain. Dalam suatu acara sidak setiap anggota berusaha untuk menghapuskan lacak kehidupan rahasia itu dari HP masing masing sebelum diperiksa satu sama lain. Kata kunci dan isinya lalu diubah sesuai dengan citra yang ingin diciptakan dalam benak anggota keluarga lain agar kelihatan solih, rajin, setia dsb. Alasan untuk acara sidak ialah kekawatiran ortu bahwa anak terduga masuk gerakan teroris seperti anak temannya. Memang suatu kehidupan rahasia yang membahayakan kehidupan. Di keluarga itu terlihat suatu perubahan sosial. Dulu ada sebuah HP di rumahnya yang dibagi bagi dan tak ada rahasia yang disimpan. Sekarang seperti di masyarakat luas, kepemilikan HP menjamur dan sekarang setiap anggota keluarga memiliki HP meskipun keluarga tetap berada di kelas bawah. Sesuai dengan alinea pertama sepertinya ada penghuni lain di rumahnya namun justru ada sejumlah penghuni yang dirahasiakan oleh masing masing anggota keluarga itu. Dengan adanya penghuni ini, hubungan satu sama rentan menjadi tegang bahkan terputus apabila kehidupan rahasia itu terbongkar lewat HPnya.