Sajak-sajak Dadang Ari Murtono (Jawa Pos, 01 Januari 2022)
MEMBUAT TATO
.
Ketika tiba di studio tato
si tukang tato bertanya apa
makna tato yang ingin kubuat.
.
Dan kukatakan kepadanya
aku hanya ingin membuat tato
karena iseng dan bosan
seperti bertahun-tahun lalu
sewaktu aku membuat tato di Surabaya,
sewaktu aku membuat tato di Mojokerto.
.
Di Jogja, kata si tukang tato, semua hal bermakna:
.
Coret-coret tak jelas di atas kanvas, gerak tak beraturan
di panggung teater, kalimat kacau di layar laptop,
bahkan orang berak, bahkan orang merangkak;
karena itu, sampah bisa muncul sebagai seni rupa di ruang pameran,
jalanan menjelma panggung pertunjukan, igauan terbit sebagai puisi,
dan bumbu dapur dipajang dalam biennale.
.
Di Jogja, semua orang adalah seniman
dan semua hal adalah karya seni.
.
Semua hal bermakna.
.
Dan karena itu
ia katakan tak bisa membuat tato untukku
tak peduli berapa banyak aku akan membayarnya.
.
Seniman hidup dengan makna, katanya
tidak dengan uang.
.
.
.
LUKISAN WAJAH
.
Untuk ulang tahunnya, aku memesan lukisan wajah
istriku kepada tetanggaku, seorang pelukis yang sedang
dikejar tagihan kontrak rumah.
.
Istriku tampak gembira menerima lukisan itu
sebab setelah bertahun-tahun, aku bisa memberinya hadiah
ulang tahun yang bukan sepotong cokelat.
.
Ia memasang lukisan itu di ruang tamu rumah kontrakan kami
dan kami menghabiskan sore memandanginya.
.
Dua minggu kemudian, lukisan itu telah menjadi ornamen
yang wajar, yang tak lagi menarik perhatian kami,
dan tak pernah lagi kami pandangi.
.
Berbulan-bulan kemudian, istriku menemukan banyak sekali kesibukan
dan kerja lembur berulang mengejarnya.
.
Ia bicara hanya untuk mengeluh pinggang yang linu, tangan
yang pegal, masuk angin, migrain, sakit gigi, dan semacamnya.
.
Ia tak lagi mengajakku pergi ke kafe seminggu sekali.
.
Dan ia tak tahu betapa aku kesepian.
.
Lantas pada suatu hari
setelah aku menenggak sepuluh sachet obat batuk cair
untuk membunuh bosan dan sepi,
aku melihat lukisan itu tersenyum kepadaku,
mendengarnya bicara kepadaku, bercerita hal-hal kecil kepadaku
seperti dulu sekali istriku melakukannya.
.
Dan sejak itu pula
semua benda dalam rumah bicara kepadaku
piring dan gelas
minyak dan bawang
juga debu dan tai cicak.
.
Dan setiap kali aku kebingungan hendak menulis apa
mereka menceritakan kisah-kisah mereka
dan aku hanya perlu mendengarkan,
hanya perlu lebih saksama mendengar.
.
.
.
PUKUL DELAPAN MALAM
.
Pukul delapan malam
dan bulan mati.
.
Aku menatap langit gelap
dan berpikir
tentang bapakku di Mojokerto
yang sedang menimang cucunya,
ibuku yang masih berdoa setelah salat Isya
untuk kebaikan semua orang kecuali dirinya
ketika aku menatap langit gelap
pukul delapan malam dan bulan mati.
.
Dan berpikir pula tentang kawan-kawanku
yang sedang menulis novel, yang sedang melukis,
yang sedang berlatih tari,
yang sedang mengerjakan akuntansi,
atau menulis esai sambil minum kopi
ketika aku sedang menatap langit gelap
pada pukul delapan malam dan bulan mati
di Jogja.
.
Dan berpikir juga
tentang istriku yang belum pulang
mungkin masih menangani seorang pasien
atau sedang bersama entah siapa
di suatu tempat, seseorang yang membuatnya
menolak aku sentuh akhir-akhir ini
ketika aku menatap langit gelap
pada pukul delapan malam dan bulan mati.
.
Dan berpikir pula tentang seseorang yang mati,
diriku yang mati, diriku yang dulu diingini istriku
pada pukul delapan malam dan bulan mati
ketika aku menatap langit gelap
di Jogja.
.
.
.
DADANG ARI MURTONO. Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020).
.
.
Leave a Reply