Cerpen, Fajar Makassar, Puspa Seruni

Hanya Ingin Pulang

Hanya Ingin Pulang - Cerpen Puspa Seruni

Hanya Ingin Pulang ilustrasi Fajar Makassar

4.1
(8)

Cerpen Puspa Seruni (Fajar Makassar, 02 Januari 2022)

PARA pedagang kaki lima yang ada di taman mulai berlarian mendengar pekikan dari sesama pedagang. Mereka mondorong gerobak menjauhi mobil petugas yang mulai menepi. Dullah yang baru saja selesai melayani pembeli tampak terburu-buru membereskan dagangannya. Namun, sebelum Dullah bisa kabur petugas sudah terlebih dahulu menghampirinya.

Dullah terjemap saat gerobaknya dipukul dengan keras oleh petugas. Ia sontak berteriak memohon ampun. Dullah menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Badannya membungkuk-bungkuk dengan kepala yang menunduk. Petugas terus memukul-mukul gerobaknya dengan balok kayu.

Ini bukan kali pertama Dullah tertangkap basah masih sedang melayani pembeli lebih dari batas waktu yang ditentukan. Petugas tidak mau lagi mendengar alasan Dullah.

Ben kapok. Biar nggak banyak alasan melanggar aturan.”

Salah satu petugas yang menghambur-hamburkan dagangan Dullah berkata dengan keras. Petugas yang lain mendorong tubuh kurus Dullah sehingga terhuyung ke belakang. Pandangan matanya menunduk, tidak berani mengangkat wajah pada para petugas yang sedang mengerubunginya. Dullah hanya bisa pasrah, ia memang salah tidak mengikuti saran Mang Jajang tutup lebih awal sebelum patroli petugas lewat.

“Kehidupan makin sulit, Dul.”

Kata Mang Jajang, pedagang angkringan yang menggelar dagangan bersebelahan dengan gerobak Dullah. Biasanya dagangan mereka saling melengkapi. Mang Jajang sengaja tidak menyediakan gorengan sebagai pelengkap nasi kucing-nya, hanya beberapa lauk seperti sate telur puyuh, sate ati ampela, sate usus dan lauk lain yang tidak ada di gerobak Dullah. Mang Jajang sudah pulang dari tadi. Ia tidak mau dagangannya diobrak-abrik petugas lagi seperti malam sebelumnya. Maka sebelum jam delapan, ia sudah mengemas dagangannya dan bergegas pulang.

Baca juga  Semalam di Kereta Tua

Dullah bukan tidak mau menuruti aturan pemerintah, ia hanya ingin menghabiskan sisa dagangannya supaya tidak rugi. Jumlah dagangan itu pun sudah jauh dari jumlah yang biasa disiapkan. Dullah juga tidak mau pelanggannya kecewa. Seperti malam itu, saat Dullah sudah hendak menutup dagangannya, seorang laki-laki datang untuk membeli gorengan.

Dullah sudah mematikan kompor sebelum jam delapan, tetapi karena wajannya masih panas ia tidak segera memasukkannya ke dalam gerobak. Dullah merapikan dagangannya. Pisang goreng, bakwan, tempe, tahu isi, molen masih terlihat menggunung di gerobaknya. Ia mendengkus kesal, akhir-akhir ini penjualan gorengannya semakin menurun. Tapi apa mau di kata, pedagang lain pun mengalami hal yang sama. Lelaki berkulit gelap itu duduk sambil menikmati jalan yang lengang.

Sebuah sepeda motor mendekat dan berhenti di dekat gerobaknya. Seorang lelaki berusia sekitar 35 tahun bergegas turun dan menghampirinya.

“Dua puluh ribu, Mas. Campur.”

Lelaki yang mengenakan jaket hitam itu menyerahkan selembar uang. Dullah segera menyiapkan pesanan yang diminta, ia bahkan melebihkan beberapa potong sebagai tanda syukurnya. Dullah menyerahkan bungkusan gorengan pada lelaki itu tepat saat beberapa mobil patroli melintas dan berhenti tidak jauh dari gerobaknya. Jantung Dullah berdegup kencang.

Malam itu, wajah lelaki yang biasanya selalu sumringah itu terlihat kuyu, senyum yang selalu tersungging lenyap saat petugas mengangkut gerobaknya. Mata sipitnya sudah basah. Hidungnya yang lebar pun tampak kembang kempis. Ia berjalan pulang menuju kamar kostnya yang terletak di gang sempit beberapa ratus meter dari tempatnya berjualan. Tenaganya seakan menguap begitu saja. Sepanjang jalan ia hanya bisa menunduk.

Sejak adiknya mengabari beberapa waktu lalu bahwa Emaknya sedang sakit dan meminta Dullah untuk pulang, pikiran Dullah tidak tenang. Meski ia sudah mengirimkan uang ke kampung untuk biaya berobat, tetapi Emak juga mengharapkan kepulangan anak lelakinya. Dullah tidak bisa mengatakan yang sejujurnya, selama ini ia rutin mengirim uang untuk memenuhi kebutuhan Emak dan adiknya di kampung. Mereka tentu menganggap Dullah punya pekerjaan yang baik di kota.

Baca juga  Semua Demi Tetta

Sepanjang perjalanan pulang, Dullah mencari akal untuk mendapatkan uang. Terlintas dalam pikiran untuk meminjam uang pada Mang Jajang, tetapi rasanya ia tak akan tega. Mang Jajang sama susahnya dengan dirinya. Beberapa kali Mang Jajang pulang membawa sisa dagangan yang masih menumpuk.

Saat berbelok memasuki gang sempit dan gelap, seseorang tiba-tiba saja menubruk Dullah dengan keras. Ia terjengkang, begitupun lelaki yang menabraknya. Lelaki berkaos putih itu tanpa diduga melempar sebuah tas pada Dullah. Lelaki itu langsung berlari meninggalkan Dullah yang masih kesakitan.

“Di sana, itu malingnya.”

Suara ramai dari mulut gang menyadarkan Dullah. Tas yang ada di hadapannya rupanya hasil menjambret. Dullah tergesa bangun dan ikut berlari menghindari amukan orang-orang yang mulai mengejarnya.

Dullah sudah hapal dengan jalan-jalan kecil di sekitar tempat tinggalnya. Ia bisa dengan mudah menghindari orang-orang yang mengejarnya. Dullah bersembunyi di sebuah gudang milik Koh Aseng yang sudah lama tidak dipergunakan. Sambil menunggu situasi aman, Dullah memeriksa isi tas. Hanya ada sisir dan beberapa alat rias wanita, mungkin penjambret tadi sudah sempat mengambil barang-barang berharga di dalam tasnya. Dullah melempar tas itu dengan kesal. Sia-sia ia lari dari kejaran massa, tas itu sudah kosong. Ia sedikit merasa kecewa.

Dullah keluar dari tempat persembunyiannya, menyusuri jalan gelap karena lampu-lampu jalan sudah dimatikan. Pikirannya kembali tertuju pada Emak dan juga kedua adiknya. Rasanya kesempatan untuk pulang menengok Emak akan sulit dipenuhi, apalagi ia tidak bisa berjualan besok. Tentu untuk makan saja ia masih harus berpikir.

Bug!

Sebuah pukulan bertubi menghantamnya. Lelaki itu meregang nyawa di jalan, beberapa orang yang berdiri mengelilinginya tampak puas. Kaki-kaki mereka terciprat bercak darah. Balok kayu yang dipegang oleh dua orang lelaki yang lain pun terkena noda merah.

Baca juga  Mendung Kelabu di Atas Sungai Serayu

“Mak ….”

Dullah tampak menggumamkan sebuah kata. Namun, riuh suara massa di sekitar membuat suaranya tenggelam di antara sorak kemenangan mereka.

“Malingnya sudah mati.”

Suara mereka sambil tertawa-tawa. Lantas meninggalkan lelaki kurus itu begitu saja. Entah siapa yang nanti akan menemukan jasadnya. Lelaki berambut ikal itu mati di belakang gudang tua yang tidak terpakai. ***

.

.

PUSPA SERUNI, pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Cerpen-cerpennya sudah dimuat di beberapa media. Penulis juga menulis novel berjudul Perempuan Penyulam Sabar dan Sang Penari.

.

Hanya Ingin Pulang.  Hanya Ingin Pulang. Hanya Ingin Pulang.

Loading

Average rating 4.1 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!