Cerpen Nuryana Asmaudi SA (Kompas, 09 Januari 2022)
I
DIA yang mencari jiwa anaknya yang gugur di medan laga tidak akan kembali hingga sampai ke alam baka. Dia yang meninggalkan istana menuju pertapaan jiwa tidak lagi terikat kenikmatan dunia hingga manunggal dengan-Nya. Tak perlu ratap-duka, karena duka akan menghalangi perjalanan menuju keabadian yang didambakannya.
Raja tua itu telah melewati segala tahapan kehidupan yang paripurna hingga tiba saat ia dikembalikan ke kodratnya sebagai makhluk tak berdaya. Penderitaan batin menderanya di masa tua. Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Semua anaknya tewas dalam perang saudara. Maka tak ada pilihan lain, ia tinggalkan keduniawian, berjalan ke rimba pertapaan untuk mencapai kesempurnaan.
“Andai masih disisakan hidup seorang saja dari seratus anakku, mungkin penderitaanku tak sedalam ini, aku masih punya harapan hidup lebih lama. Tapi takdir tak terhindarkan. Karma yang menimpaku harus dijalani sampai tiba saat kembali ke poros waktu. Aku tak lagi menginginkan apa-apa karena telah berpuluh tahun menikmati kemegahan dunia. Semua sudah berakhir. Aku harus menanggung kesalahan di masa lalu,” gumam raja tua itu.
“Kalau saja mataku bisa memandang terang dunia, mungkin aku bisa melihat kebenaran yang nyata sehingga bisa berbuat adil dan bijaksana. Tapi apa daya raja buta sepertiku yang gampang diombang-ambingkan keadaan, ditipu waktu dan dikelabuhi orang-orang di sekelilingku,” sesalnya lagi.
Dalam tapabrata di belantara hati dan pikiran raja sepuh itu terus bergolak. Bharatayuda sudah lama berakhir, tapi perang batin masih berkecamuk dalam dirinya. Meskipun telah bersemedi, jiwanya belum hening-sumeleh.
“Sebabnya bukan karena matamu buta, Destarata, tapi jiwamu lemah dan mudah dikelabui. Kau terlalu sayang kepada anak-anakmu, Kurawa yang serakah dan semena-mena hingga membutakan hatimu dan berlaku tidak adil kepada keponakanmu, Pandawa. Kau biarkan adik iparmu Sengkuni mendalangi Kurawa untuk menzalimi Pandawa. Musibah yang menimpa Hastina akibat perbuatanmu sendiri. Tak ada guna kau meratap. Sudah terlambat. Kemenangan akhirnya memang berpihak pada kebenaran dan keadilan, tetapi kehancuran yang diakibatkan perang saudara tak tertanggungkan seperti yang kau rasakan sekarang.”
“Aku memang tak berdaya menghadapi Sengkuni yang selalu punya cara mengelabuiku. Tetapi tewasnya seratus anakku disebabkan oleh kecurangan Kresna yang mengatasnamakan dewa dalam mendalangi Pandawa untuk menghabisi Kurawa. Kata istriku Gendari, Kresna lebih licik dibanding Sengkuni. Sengkuni menggunakan kecerdikan dan kecerdasan akalnya untuk memperdaya lawan tanpa mengatasnamakan dewa seperti Kresna yang membuat Kurawa habis terbantai di Kurusetra. Itulah sebabnya Gendari murka dan mengutuk Kresna.”
“Gendari murka kepada Kresna yang dianggap biang perang dan kematian Kurawa, tapi dia tidak pernah menasihati Sengkuni yang menjadi biang bencana dan derita Pandawa. Gendari tahu adiknya merusak moral dan menjadikan Kurawa sebagai penjahat kehidupan, tapi ia biarkan, bahkan diam-diam istrimu itu menyokong Sengkuni dan Kurawa untuk mengenyahkan Pandawa.”
“Gendari tidak terlibat dalam perang Bharatayuda. Dia menyayangi Pandawa seperti anaknya sendiri.”
“Gendari hanya pura-pura menyayangi Pandawa dan Kunti seperti menyayangi dirinya sendiri, tapi diam-diam menyimpan bara. Dia sering katakan kepada Karna, bahwa dirinya yang memiliki 100 anak disayangi semua, tak ada yang dicampakkan. Tapi Kunti yang hanya memiliki enam orang anak, satu di antaranya ada yang dibuang ketika masih bayi untuk menutupi aibnya. Kunti takut berterus terang bahwa dirinya pernah punya anak hasil hubungan gelap sebelum melahirkan Pandawa, sampai aib itu terbongkar barulah dia mengaku dan menyesalinya. Cerita Gendari itu membakar hati Karna hingga berpihak kepada Kurawa.”
“Itu fitnah. Gendari perempuan terbaik, dia dipilih Tuhan untuk mendampingiku sebagai raja. Gendari rela menutup matanya yang indah agar bisa sama-sama merasakan buta sepertiku. Dia tidak pernah mempengaruhi Karna agar membenci ibu kandungnya dan memusuhi adik tirinya. Kresna yang menyebabkan Karna tertantang hingga mendukung Kurawa untuk mempertahankan Hastina dan berperang melawan Pandawa.”
“Jangan mencari kambing hitam. Kresna memang dititahkan untuk mendampingi Pandawa dalam mencari keadilan. Tanpa Kresna, Pandawa tak akan pernah mendapatkan keadilan, dan anak-anakmu Kurawa akan terus bergelimang dalam kejahatan yang mengakibatkan penderitaan kehidupan. Kau harus berterima kasih kepada Kresna yang telah menyempurnakan akhir hayat anak-anakmu di medan laga, mereka mati sebagai pahlawan negerinya.”
“Semua anakku hancur dalam kekalahan, mereka jadi pecundang perang. Tak seorang pun tersisa. Itulah yang aku sesali. Kenapa tidak disisakan seorang saja tetap hidup agar aku masih punya harapan masa depan. Jika kau mengalami derita sepertiku bagaimana perasaanmu, apakah bisa tetap tegar tanpa duka dan penyesalan?”
“Itulah kelemahanmu, Destarata. Kau tidak tegas terhadap anakmu yang serakah. Bahkan terhadap iparmu Sengkuni pun kau tak berdaya menghadapi hasutan dan tipu dayanya. Bagaimana mungkin dirimu yang keturunan raja besar Sentanu luluh oleh penghasut seperti Sengkuni? Mungkin dalam hati kau memang tak menghendaki Pandawa mendapat haknya. Padahal mereka hanya meminta kembali miliknya sendiri, Indraprasta yang dirampas Kurawa melalui tipu daya judi dadu Sengkuni. Kau menginginkan semuanya dimiliki Kurawa.”
“Sudah kukatakan kepada mereka agar mengembalikan milik Pandawa, dan kunasihati agar akur dengan saudara sepupunya itu. Aku juga sudah mencegah rencana pergelaran dadu itu, tapi perjudian itu tetap dilaksanakan, Duryudana dan Sengkuni katakan dadu itu hanya hiburan untuk menyenangkan Pandawa.”
“Kau hanya menasihati, tapi tak pernah mengajarkan jiwa pengabdian-kejujuran-keadilan-kebijaksanaan kepada anakmu. Karenanya mereka cenderung liar dan gemar mengumbar keserakahan. Ketika berkuasa, kau biarkan anak-anakmu memonopoli kekayaan negeri untuk kepentingan pribadi, mereka tindas dan rampas hak rakyat untuk mengumbar maksiat. Berkali-kali kau diingatkan para tetua negeri, tapi tak peduli. Kau tutup telinga dan matikan nurani demi anak-anakmu yang teramat kau sayangi. Sudah buta matamu, kau butakan pula hatimu agar ada alasan bisa membiarkan anakmu berlaku semau-mau, membuat negeri menuju kehancuran.”
Angin menerpa pepohonan, menjatuhkan dahan rapuh serapuh jiwa raja Destarata yang beryoga di belantara. Tubuh renta yang sebagian hanya dibalut pakaian dari kulit pohon itu bergetar. Raja buta yang berusaha hening bertapa itu masih merasakan dinginnya malam.
II
Mungkin sudah menjadi nasibmu Destarata, derita tak ada akhirnya. Kau buta mata sejak lahir hingga terlewati sebagai pewaris takhta Hastinapura. Setelah adikmu Pandu mangkat, kau ditunjuk menjadi wali kerajaan. Kau punya adik ipar Sengkuni yang jahat dan licik, membuat hatimu buta hingga menyerahkan kekuasaan kepada anakmu sendiri dan meniadakan anak-anak Pandu, mengakibatkan perang saudara. Bharatayuda sudah berakhir, tapi derita masih terus menderamu. Kau merasa dicampakkan setelah Pandawa menang dan berkuasa. Raja Yudistira kurang memperhatikanmu, Bima sering mengungkit masa lalu dan kejahatan Kurawa hingga menyakitkan hati dan membuatmu frustrasi lalu diam-diam menyiksa diri dengan puasa mati raga.
“Raja Yudistira yang bijaksana tidak tahu kalau aku bertahun-tahun puasa mati raga. Apa bedanya aku yang buta dengan dia yang tidak buta tapi tak melihat pamannya menderita di istana tempat ia bertakhta? Bukti bahwa kekuasaan membuat lupa siapa saja. Kalau dulu saat Duryudana berkuasa menjadi angkara murka, apa bedanya dengan Yudistira sekarang yang tak lagi mawas dan bijaksana?”
“Karena kau tidak tulus Destarata. Kau berpuasa bukan untuk mencapai kesempurnaan jiwa. Kau menyiksa diri karena frustrasi tersebab semua anakmu mati. Kau merasa tidak dihargai lagi hingga memilih mati raga dan meninggalkan istana. Sekarang, ketika bertapa di belantara, apa benar kau hendak menuju-Nya? Kau melakukannya bukan didasari panggilan jiwa dan kesadaran diri untuk mencapai Ilahi. Kau habiskan siang-malam di hutan untuk meratapi nasib, menyalahkan sana-sini, bahkan marah kepada Tuhan yang tak menolong dan membiarkan semua anakmu dihabisi. Mana bisa meninggalkan keduniawian kalau hati dan pikiran masih dibayangi masa silam dan kesedihan atas kehilangan?”
III
Di belantara, Destarata yang ditemani permaisuri Gendari dan Kunti sering kedinginan karena tak selalu membuat api unggun. Ia nyalakan jiwa dengan beryoga. Hati-pikirannya dijadikan pelita sukma. Hingga tiba-tiba api entah dari mana datangnya menari-nari di belantara, memangsa raga dan segala yang ada di luar diri mereka. Diri yang meninggalkan duniawi. Diri yang mendambakan kehidupan sejati, sangkan paraning dumadi.
Destarata pasrah-sumeleh, rela dijemput api. Jiwanya menari bersama api. Diyakini, jika jiwa telah bersiap kembali ke asal kehidupan, awal mula penciptaan, inti tanah-air-api-udara, tak lagi merasakan panas atau dingin. Jasad yang hancur, lebur kembali pada alam. Jiwa berpulang, manunggal dengan-Nya menjadi cahaya di atas segala cahaya. ***
.
.
Nuryana Asmaudi SA, lahir di Jepara, 10 Maret 1965. Bermukim di Bali sejak 1996. Cerpennya dimuat di sejumlah media cetak dan daring. Mengelola Rumah Sastra Tensutbeh (1996-2008). Sekarang bergiat di Studio Seni Snerayuza sambil bekerja sebagai wartawan sebuah koran harian di Denpasar.
Polenk Rediasa, sehari-hari dosen seni rupa di Universitas Ganesha Singaraja. Lahir di Tambakan tahun 1979 dan menempuh pendidikan seni rupa di ISI Denpasar. Mengikuti workshop and body painting exhibition di Belanda dan Perancis tahun 2014. Beberapa kali karyanya lolos kurasi dalam pameran di Beijing dan Shanghai, China.
.
Api Menari di Belantara. Api Menari di Belantara. Api Menari di Belantara.
.
halub
Jos banget
Penyair Amatir
Jernih sekali benturan2nya