Cerpen Iin Farliani (Republika, 09 Januari 2022)
TIGA hari yang lalu, Akka menerima telepon dari kawan lamanya, laki-laki yang pernah satu kampus dengannya. “Akan ada paket untukmu. Sebuah tanda mata peninggalan Profesor Ibra.”
Akka belum sempat menanggapi. Dia masih terpaku di tempatnya berdiri. Gagang telepon terhimpit di antara pundak dan telinganya, sementara jarinya sedang menggores sesuatu di atas kertas putih. Dia masih merasa heran mengapa kawannya ini yang bertahun-tahun lampau tak ditahu kabarnya, kini tiba-tiba meneleponnya dan membicarakan tanda mata. Profesor Ibra? Nama itu juga telah lama terkubur dalam ingatan masa lalunya dan kini perlahan-lahan terkuak kembali.
Terdengar suara embusan napas yang keras dari telepon, diikuti decakan lidah bernada heran. “Jadi kau belum tahu? Aku kira kau sudah dengar bahwa Profesor Ibra meninggal tiga minggu yang lalu. Di antara peninggalan di rumahnya, ada tanda mata yang dititipkan untukmu. Kira-kira, dua bulan lalu ia menghubungiku, semacam pertemuan murid lama dengan profesornya. Profesor Ibra seperti sudah mengetahui umurnya tak lama lagi. Ia bercerita tentang tanda mata yang mungkin bisa kuantarkan jika kelak ia meninggal. Aku tidak tahu isinya apa. Baiknya kau akan mengetahui isinya nanti ketika kita bertemu.” Telepon ditutup.
Di kantornya yang tak memiliki pendingin ruangan, Akka dapat merasakan aliran peluhnya yang meleleh menuruni pelipis. Profesor Ibra, ya, Profesor Ibra, gumamnya. Telah berapa lama waktu berlalu? Akka masih ingat pengalaman bersama profesor itu. Tetapi, hal itu terasa padanya telah berlalu sangat lama karena dia sudah tidak berkomunikasi lagi dengan profesor itu. Dia juga tidak pernah mengikuti pertemuan alumni sehingga dia hampir benar-benar tidak mengetahui perkembangan kawan-kawan kampusnya dahulu.
Dia dan Profesor Ibra memang terkenal dekat. Selayaknya guru dan murid yang setia, Akka selalu mendampingi Profesor Ibra dalam kegiatan penelitiannya di lapangan. Dia menyusun dalam tulisan tangan yang rapi data-data survei lapangan yang didapatkan sang profesor, menyalinnya di buku tulis yang telah kumal sampulnya yang telah mengeras karena sering tersiram air laut dan dikeringkan di bawah sinar matahari.
Lalu, tanda mata apakah itu yang ditinggalkan untuknya? Akka melihat ke tumpukan berkas yang mesti dibereskannya. Tumpukan berkas itu meninggi menutupi sebagian jendela, menghalangi sebagian pandangan terarah ke luar. Akka mendekat ke jendela, menggeser tumpukan berkas itu. Melalui jendela, dia melihat dua perempuan muda sedang berjalan menghindari lumpur dari gundukan tanah yang telah melumer dan tergenang sehabis tersiram air hujan yang berlangsung siang tadi. Salah satu perempuan berjalan sambil menjinjing sepasang sepatu hak dan satunya lagi tiba-tiba terperosok ke dalam lumpur.
Melihat kejadian yang selintas itu, Akka teringat pengalamannya bersama Profesor Ibra menyusuri lahan mangrove dan membuat transek dengan berjalan melingkar, mengelilingi sebatang pohon Rhizophora yang besar menggunakan tali rafia. Keduanya telah melipat celana setinggi lutut. Tetapi, pakaian mereka tetap terkena lumpur. Dalam momen singkat waktu itu, Akka dapat merasakan kedua kakinya seperti diisap oleh lumpur hingga membenamkannya sebatas dada.
Di seberang, Profesor Ibra menampakkan raut terkejut. Ia berjalan terseok-seok berusaha menggapai lengan Akka. Alat ukur air yang dikalungkan di lehernya terayun ke kanan dan ke kiri selama ia berjalan di tengah lumpur itu. Akka menggapai uluran tangan sang profesor.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Profesor Ibra.
Akka lekas menggeleng. “Tidak apa-apa, Prof. Tidak apa-apa. Terima kasih.”
Beberapa tahun setelah kelulusannya, Akka hanya sesekali berhubungan dengan kawan-kawannya, para alumni dari berbagai angkatan, dan dosen-dosen yang sering mengacungkan jempol bila mendengar nama Akka disebut. “Oh, Akka mahasiswa yang rajin itu.”, “Oh, si Akka. Mahasiswa andalan Profesor Ibra.”
Sesudah itu, dia memutuskan tidak terlibat lagi dalam bidang penelitian kelautan dan mempertaruhkan hidup untuk menjadi seorang novelis. Tetapi, tenyata pilihan itu memperoleh jalan yang tak mudah. Dia pun berusaha mendapatkan pekerjaan tetap dan kini bekerja sebagai editor berita-berita kriminal. Dia mengurus berita-berita yang membuat sakit kepala, mengedit tulisan wartawan yang kurang berpengalaman dalam menulis. Waktu bekerjanya terus bertambah dan kesempatan untuk menulis novel menjadi makin sedikit. Dia merasa putus asa.
Dia teringat kata-kata Profesor Ibra. “Kerjakan apa pun yang kau suka. Mana tahu, berapa lagi sisa hidup kita di dunia. Alangkah malangnya, jika separuh umur kita dihabiskan untuk mengerjakan hal-hal yang tidak kita cintai. Dan siapa yang tahu? Esok mungkin kita jatuh sakit, menghabiskan hari-hari di pembaringan. Tinggal menanti ajal. Sesudah itu habis. Selesai.”
Akka telah hafal tabiat sang profesor yang gemar membicarakan kematian. Di waktu istirahat, selesai menyantap bekal makan siang sambil memandang ke hamparan laut biru terik yang menyilaukan di bawah keteduhan pohon ketapang, Profesor Ibra berujar tentang persiapan-persiapannya kelak untuk menyambut kematian.
“Aduh, Prof! Kita baru selesai makan siang. Jangan membicarakan tentang kematian,” ujar Akka sambil merogoh rokok dari saku celananya. Profesor Ibra tertawa mendengar keluhan Akka. Ia menampakkan wajah riang untuk sebuah pembicaraan yang terlalu sendu, kematian itu.
Akhirnya, di sore yang masih menampakkan langit mendung, Akka melihat kawannya yang menelepon tiga hari lalu itu tengah berjalan dari parkiran menuju kantornya. Akka bergegas keluar menemuinya. Dia melihat kawannya itu membawa kotak bingkisan berwarna cokelat. Apakah itu tanda mata dari sang profesor?
Mereka berjabat tangan, saling menepuk bahu dan bertanya soal kabar masing-masing lalu duduk di kursi beranda kantor. Kawannya itu membicarakan hari-hari terakhir Profesor Ibra yang makin sering membicarakan kematian sejak ia ditinggal mati oleh istrinya. Istrinya tak jauh berbeda umurnya dengan Profesor Ibra. Tetapi masih tampak sehat, tak ada tanda-tanda sakit. Karena itulah Profesor Ibra sangat terpukul ketika di suatu pagi ia menemukan istrinya tak bangun-bangun. Andai saja Profesor Ibra bisa menyisipkan semacam keabadian bagi istrinya seperti pekerjaan yang dilakoninya; membuat herbarium, membuat awetan dari tanam-tanaman pesisir yang diletakkan dalam kotak kaca, berusia panjang lebih dari yang seharusnya.
Dicekam duka yang berlarut-larut, Profesor Ibra tidak lagi melanjutkan penelitiannya. Ia menjadi tampak murung dari hari ke hari. Tak ada tepukan hangat sambil tersenyum menampakkan gigi putih bersih tiap kali berpapasan dengan orang-orang di kampus. Ia bahkan menjadi cepat marah dan tersinggung.
Pada satu mata kuliah, Profesor Ibra pernah masuk ke ruang praktikum yang dibina salah satu dosen bawahannya. Di ruangan itu, para mahasiswa duduk menghadap meja. Mereka melakukan pengujian ikan-ikan yang dapat hidup di air tawar, payau, dan laut. Seekor ikan bandeng dimasukkan ke dalam toples berisi air tawar. Sesaat tak tampak ada perubahan pada ikan bandeng itu. Tetapi beberapa lama kemudian, ikan itu mulai menggelepar-gelepar, menabrak dinding toples, tubuhnya perlahan-lahan terbalik, matanya menghunjamkan tatapan kesengsaraan. Ikan itu lalu mati.
“Apa-apaan ini?” sahut sang profesor gusar. “Bukankah kalian memang sudah tahu kalau ikan bandeng itu hidupnya di air payau dan tentu saja akan mati kalau dimasukkan ke dalam air tawar.”
Profesor Ibra lalu menyatakan apa yang dilakukan dalam ruang praktikum itu hanyalah kesia-siaan belaka. “Mengapa kalian menjadikan ikan-ikan yang kalian sudah tahu akan mati bila dimasukkan ke dalam air yang tak sesuai habitatnya itu sebagai tontonan? Kalian melihat ikan-ikan mati dengan cara yang menyakitkan. Apakah kalian ingin memperlihatkan kematian itu sebagai olok-olok?”
Mahasiswa-mahasiswa di dalam ruangan itu tentu saja terkejut. Tak terkecuali dosen yang membina praktikum itu juga keheranan menyaksikan reaksi Profesor Ibra yang tak biasa. Dalam balutan jas putihnya, kacamata berbingkai logam di wajahnya, nuansa keletihan dan kegusaran tampak menyeluruh pada diri Profesor Ibra, seorang laki-laki tua beruban yang setelah menyatakan kekesalannya segera melangkahkan kaki dari ruangan itu.
Akka membayangkan bagaimana perubahan yang terjadi pada Profesor Ibra melalui cerita-cerita yang dia dengar dari kawannya itu. Setelah menyusun satu gambaran kemungkinan, lalu pertanyaan timbul, tanda mata apakah yang dititipkan kepadanya? Mengapa Profesor Ibra memilihnya?
Ketika Akka menerima kotak tanda mata itu dan akan mulai membukanya, kawannya buru-buru mencegah. “Menurut pesan yang ditinggalkan, kau harus membukanya ketika kau sedang sendiri. Maaf, aku hanya meneruskan pesan.”
Kawan Akka itu pun pamit. Akka bergegas masuk ke ruangannya lagi. Ketika akan membuka kotak itu, dia merasakan jemari tangannya seperti mendapat sentuhan batu es. Apakah karena hujan yang mulai turun dan menghantarkan dingin melalui ventilasi?
Akka menimang-nimang kotak itu. Dia termenung sejenak, rasanya ringan bagai tak terisi. Dia pun membuka tali-tali rotan yang mengikat kotak itu di berbagai sisi. Ketika simpulnya telah melonggar, Akka terkejut melihat tak ada apa pun di dalam kotak itu. Kosong melompong. Betul-betul kosong.
Akka terduduk lemas lalu mengembuskan napas berat. Barangkali kotak ini seumpama hidup yang hampa yang sering diungkapkan Profesor Ibra. Perlahan-lahan dia pun bangkit, mengambil jasnya, bersiap-siap pulang dengan satu rencana di kepala: merampungkan secepatnya naskah novelnya yang telah lama tertunda. ***
.
.
Iin Farliani, penulis buku kumpulan cerita pendek berjudul Taman Itu Menghadap ke Laut (2019). Lahir di Mataram, Lombok, 4 Mei 1997. Alumnus Jurusan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mataram. Sejak 2013 hingga sekarang masih terlibat aktif dalam kegiatan Komunitas Akarpohon Mataram, sebuah komunitas sastra dan penerbitan buku. Pada 2020 ia terpilih sebagai salah satu Emerging Writer pada Makassar International Writers Festival (MIWF) 2020.
.
Tanda Mata dari Sang Profesor. Tanda Mata dari Sang Profesor.
.
I Komang Berata
Saya tidak menemukan tanda mata dari Sang Profesor
ruangsastra
Admin membagi cerpen menjadi 2 (dua) halaman. Untuk lanjut ke halaman berikutnya, di bagian bawah posting ada keterangan PAGES: 1 2 Sila klik yang angka 2. Semoga maklum adanya. Terima kasih.