Adhi Karunia, Cerpen, Radar Madiun

Terang

Terang - Cerpen Adhi Karunia

Terang ilustrasi Dani Erwanto/Jawa Pos Radar Madiun

4.7
(7)

Cerpen Adhi Karunia (Radar Madiun, 09 Januari 2022)

MINGGU. Bertepatan dengan janji yang pernah kulontarkan kepadamu untuk mengajak ke dunia luar. Jam sepuluh kita sepakat untuk berangkat.

Namun, waktu tetap dapat dinegosiasi atas nama kesibukan di pagi hari. Kujemput dirimu di tengah suara azan yang berkumandang.

“Berangkat setelah duhur, ya!” pintamu kepadaku. Aku mengiyakan, meski sedikit resah dengan cuaca yang tak menentu.

Selepas duhur kita bergegas di bawah panas matahari, diiringi birunya langit bercampur mendung. Menyusuri jalan aspal yang tak merata lubangnya, meski tiap tahun anggaran pembangunan jalan tak pernah luput dari RAB pemerintahan. Sementara, tepat di perempatan, terlihat peminta-minta berdiri di sela-sela mobil yang sedang antre menunggu berubahnya warna lampu. Kita nikmati pandangan dunia ini. Bukan karena takdir Tuhan mereka menjadi peminta. Tapi, mengapa Tuhan hanya memberikan takdir baik bagi mereka yang punya kuasa?

Rasanya tak ingin resah. Namun, kecamuk ini selalu hadir dalam benak. Kita lanjutkan saja perjalanan panjang ini, tak bermaksud menutup mata dengan segala realita. Tapi, apalah daya, kita hanya penikmat dunia luar. Lihatlah ke dunia luar sana, indah dan memesona. Kanan-kiri terbentang panjangnya sawah. Sepanjang harapan para petani sedang berebut masa depan tentang nasib hidupnya yang bergantung pada harga pupuk. Dalam hati ingin kukatakan padamu tentang nahasnya kehidupan. Mereka yang menanam tapi mereka pula yang diinjak.

Tikungan pertama kita lewati. Kedua, ketiga, dan seterusnya, sampai entah berapa jumlahnya. Begitu pula beberapa tanjakan yang menjulang tinggi dan menurun tajam. Seolah memberi simbol sebuah perjalanan hidup yang tak selamanya lurus dan datar. Tak sadar ternyata kita hampir separo perjalanan. Seketika motorku terhenti usai melihat segerombolan orang mengiring keranda. Dengan tergesa-gesa mereka membawa jenazah menuju liang lahat.

Baca juga  Wijaya Kusuma

“Kenapa sih orang membawa jenazah tergesa-gesa?” tanyamu menggelitik.

“Ya, karena berat,” jawabku singkat sambil menahan senyum.

Selama ini, yang aku tahu, jika manusia menjadi mayat maka sudah tidak ada gunanya sama sekali. Mereka hanya sebujur bangkai yang harus secepatnya dikubur. Karena itu, harus disegerakan. Tapi, tak kujawab begitu karena terlalu panjang bila dibahas.

“Lantas kenapa kita harus hidup, toh ujung-ujungnya akan jadi bangkai yang tak berguna.”

Aku terdiam. Seolah tak mampu menanggapi rasa penasaranmu. Barang tentu perjalanan ini bukan sebuah forum kajian keagamaan—yang sering kau dengarkan di mimbar-mimbar masjid. Nyatanya kita sudah merasakan fenomena kehidupan yang kerap kali jarang terjamah dalam bait-bait teks ceramah. Yang ada, kita dituntut sabar dan ikhlas menerima kenyataan hidup.

Tak berselang lama kita dihadapkan turunan yang begitu curam. Hampir menyentuh kemiringan dengan sudut 90 derajat. Aku yakin kau terus berdoa memohon kepada Tuhan agar diselamatkan perjalanan ini. Sehebat-hebatnya manusia, tak akan terlepas dari rasa untuk tetap berlabuh pada sosok yang lebih darinya.

Sampailah kita ke dunia luar. Hamparan samudra terbentang luas. Birunya ombak saling berkejaran untuk menepi. Sayangnya kita dilarang untuk menikmati sesuai keinginan. Apa boleh buat, begitu ketatnya peraturan membuat kita tak bebas menikmati kemegahan alam. Semua demi keselamatan. Sedangkan di balik itu mereka tak mau menjamin kebahagiaan kita. Aaaahhh! Rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya, di mana sebenarnya letak kebebasan? Bahkan kebebasan untuk menikmati hidup sendiri harus diatur-atur.

Mungkin di sini, kita bisa menikmati kebebasan yang semakin hari semakin terpenjara oleh banyak kepentingan manusia. Cukuplah kiranya menghirup napas panjang di tengah gemuruh kehidupan yang bertambah semrawut dengan berbagai kompleksitasnya. Asal kita masih dapat bernapas, dunia tentu akan baik-baik saja.

Baca juga  Foto Kenangan

Awan mendung bergulung. Cuaca berubah gelap. Pertanda hujan akan turun lebat. Resah dan gelisah campur aduk. Setelahnya hujan turun begitu deras. Sementara kita masih berada di daerah yang asing selama hidup ini. Kau minta pertimbanganku, apakah akan tetap menerobos hujan? Aku bimbang untuk menjawabnya.

“Kita tunggu. Setelah magrib pasti reda.” Aku hanya meyakinkan diriku sendiri.

Sambil menunggu hujan reda, aku mencoba berbincang dengan pria penghuni daerah itu. Kusodorkan sebungkus rokok agar dapat berkomunikasi dengannya. Kucoba menggali informasi. Sedangkan kau tetap melantunkan doa-doa berharap hujan segera reda.

“Di sini ada rokok merek seperti ini, Pak?”

Dengan segera rokok yang kuberikan disulutnya. Padahal terlihat olehku dia juga sedang memegang rokok, tapi tak begitu jelas. Apakah itu rokok atau kertas yang dilinting mirip rokok. Dibuanglah rokok yang dia pegang sebelumnya, seolah telah menemukan rokok yang lebih nikmat. Begitulah penikmat rokok, penikmat asap yang katanya dapat terbunuh. Nyatanya hasil produksi rokok masih menjadi penyumbang terbesar pajak pendapatan negara.

“Kalau mau ke arah kota lewat jalan mana, Pak?”

“Nanti lewati jembatan itu, jembatan besar.”

Aku begitu paham jembatan yang dimaksud. Aku yang baru singgah di daerah ini, memang hanya jembatan objek yang paling kuingat. Anehnya, hujan turun sederas ini, namun pria tersebut tak memakai baju atau kaus. Bagaimanapun, beda orang beda gaya. Beda gaya beda rasa.

Tiba-tiba terlintas di ingatanku tentang sosok bapak. Terlebih bapakku sendiri, yang selama ini sudah bekerja keras. Baginya, cuaca panas maupun hujan tak terlalu memusingkan. Asalkan asap dapur tetap ngebul, itu sudah cukup. Jiwa lelaki, jiwa yang tak mau terlihat payah di hadapan anaknya. Padahal tubuh semakin tua, semakin rapuh. Disembunyikannya serapat-rapatnya kondisi tubuhnya itu di balik senyuman manis. Semakin mengembang senyumnya tatkala melihat anaknya tumbuh dewasa.

Baca juga  Ada Ular di Atas Tubuh Ibu

Oh, bapak, maafkan anakmu ini. Belum bisa sekuat dan sekokoh dirimu. Aku, manusia yang terlahir pada zaman yang semakin berkembang. Memilih untuk hidup enak tanpa harus menghadapi banyak kesulitan.

Selepas azan magrib. Hujan mulai reda meski masih gerimis tipis-tipis. Kucoba untuk tetap melakukan perjalanan ini. Kita susuri jalan yang gelap, terang hanya samar-samar membumbui perjalanan.

Setiap tikungan kau selalu menepuk bahuku agar berhati-hati. Jalan yang penuh tikungan tajam ini, hanya disinari redup rembulan, tertutup mendung membawa hujan, ditambah tebalnya kabut.

Jauhnya perjalanan ini, kupastikan kita tidak akan sampai tepat waktu. Tak akan pernah bisa. ***

.

.

ADHI KARUNIA. Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

.

Terang. Terang. Terang. Terang.

.

Loading

Average rating 4.7 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!