Cerpen Tiana Amelia (Waspada, 09 Januari 2022)
BRUK.
“Huahh Menyebalkaaannnnn!” Teriak Erlin.
Jesi dan rekan-rekan kantor lainnya menatap dan geleng-geleng kepala.
“Kenapa lagi sih kau?” Tanya wanita berambut kekuningan yang mejanya persis di sebelah Erlin.
“Ya biasalah, bos kita tuh yang sadisnya ngalahin Fir’aun. Semua yang aku kerjakan di matanya salah, bukannya mengarahkan malah menambahi pekerjaanku. Menyebalkan bukan?”
Bruk.
Jesi meletakkan setumpuk kertas putih yang cukup tinggi di hadapan Erlin.
“Apa ini?” Erlin menggaru-garuk kepala.
“Ini adalah tambahan pekerjaan yang bos berikan padaku kemarin. Jadi jangan merasa yang paling menderita ya di kantor ini. Iya kan guys?” Jesi bangkit menatap rekan-rekan kerjanya.
“YOI!” Kompak rekan-rekan kerja lainnya.
Erlin bengong dengan mulut menganga, “Omak! Jadi yang mendapat romusa di kantor ini bukan cuma aku tapi kita semua? Wah keterlaluan tuh orang!” Erlin bangkit dari kursi dengan wajah emosi.
“Mau apa kau?” Tanya Jesi.
Erlin merapikan kemejanya lalu duduk lagi. “Ah gak ada sih.”
“Huhh!” Ledek Jesi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sudah waktunya jam pulang kantor orang-orang kantor.
Jesi menegur Erlin yang masih sibuk bekerja. “Hei kau tidak pulang?”
“Ya pulang dong! Gila kali aku tidur di kantor ini hanya karena pekerjaan yang belum selesai. Setengah jam lagi lah, kau duluan saja.”
Jesi menepuk-nepuk bahu Erlin lalu pergi keluar ruangan untuk pulang.
Setengah jam berlalu dan lengan Erlin semakin pegal dibuat beban kerja dari sang bos mereka yang super sadis.
“Akhirnya selesai juga!” Gadis penikmat kopi itu meluruskan tangan dan jari-jarinya.
“Baiklah sudah saatnya kembali ke duniaku yang indah di rumah. Kasur, bantal tunggu aku ya.”
Erlin merapikan berkas-berkas dan mengambil tas selempangnya. Ia meniggalkan heels-nya di bawah meja lalu pulang dengan sendal jepit. Ya sendal jepit memang selalu menjadi andalan ternyaman di segala situasi.
Tap…tap…tap…
Langkah kaki Erlin menyusuri lorong-lorong kantor yang semakin sepi menyerupai rumah hantu. Lampu-lampu kantor biasanya akan menyala otomatis setelah Magrib. Oleh sebab itu banyak karyawan yang enggan lembur. Mereka merasa kantor begitu perhitungan soal pencahayaan.
“Tidak, Pak, jangan!” Rintihan seorang wanita samar-samar Erlin dengar dari suatu tempat.
Langkah Erlin terhenti, jantungnya berdegup dengan kencang. Kakinya ingin sekali segera kabur, namun rasa penasaran terus menghantui. Begitu ingin tahu dari mana asal suara tersebut.
Bola mata gadis berambut lurus itu memandang ke seluruh penjuru ruangan. Oh sepertinya dari situ. Pelan tapi pasti Erlin mendekat dengan sangat berhati-hati agar tidak ketahuan.
“Sudahlah jangan malu-malu. Aku tahu kamu juga menginginkannya bukan?”
“Ti-tidak, Pak, tolong jangan. Saya di sini karena Bapak yang meminta saya untuk lembur dengan janji menambah uang lembur. Tolong jangan sentuh saya.”
Bruk.
Suara buku dan kertas-kertas berjatuhan di lantai.
“Tidak, Pak, kumohon!”
Krek.
Suara pintu terbuka. Seorang wanita dengan baju berantakan keluar. Untung saja Erlin dengan sigap membalikkan badannya sehingga tidak ketahuan.
“Hei!”
Seorang pemuda keluar dari ruangan yang cukup akrab di benak Erlin. Ia melihat ke seikitar kantor.
Erlin merapatkan badannya ke dinding agar tidak terlihat. Lelaki itu masuk kembali ke ruangannya.
Setelah dirasa cukup aman, Erlin melepas sendalnya lalu berlari sekuat tenaga meninggalkan lokasi mengerikan tersebut.
Keesokan harinya di kantor.
Erlin menceritakan pada Jesi tentang apa yang ia dengar dan lihat semalam.
“Apa! Serius kau, Lin?”
Erlin bergegas menutup tangan Jesi dengan tangannya, “Ssst jangan keras-keras, Jes. Kau mau seluruh dunia dengar?”
Jesi menutup mulutnya. “Ups maaf! Tapi kamu yakin kalau wanita itu adalah Ririn?”
“Aku sangat yakin! Suaranya sangat jelas, Jes. Aku yakin sekali. Buktinya lihatlah, hari ini Ririn tidak masuk kantor. Dia pasti sangat trauma dan merasa dilecehkan oleh si itu duh menyebut namanya saja sudah membuatku muak,” kesal Erlin.
“Lin kamu dipanggil bos tuh suruh bawa berkas-berkas kemarin,” ujar salah satu rekan kantor.
Erlin dan Jesi melotot.
“Kamu harus berhati-hati, Sob!” Jesi menepuk bahu Erlin.
“Doakan aku ya!” Keringat dingin mengalir dari kepalanya.
Erlin mengatur nafas agar tenang lalu membuka pintu sang bos.
“Permisi bos!”
“Hm. Duduk.” Perintah si bos.
“Mana tugas yang aku suruh kerjakan kemarin, perlihatkan.”
Erlin membuka satu persatu berkas yang ia kerjakan. Awalnya mata si bos yang kejam, sadis dan hanya fokus pada berkas yang bawahannya bawa tapi lama kelamaan tatapan itu menjadi berbeda. Matanya justru fokus menatap keelokan Erlin.
“Eek, bos, maaf.”
“Ah eh iya,” si bos bangkit dari duduknya. Erlin mulai gemetar dan refleks ikut berdiri.
“Hei siapa yang menyuruhmu berdiri, duduk santai sejenak.” Tangan si bos menyentuh pundak Erlin. Perlahan wajahnya mendekat ke rambut Erlin.
Erlin semakin ketakutan, ia khawatir apa yang menyentuh Ririn terjadi padanya. Sudah jelas sekali bukan? Mana mungkin ia tiba-tiba baik, lembut padahal selama ini sangat kejam.
Erlin mengepal kedua tangannya lalu bertekad tidak ingin mengalami nasib yang sama dengan rekannya.
Gadis berhidung pesek itu menginjak kaki sang bos.
“Aduh!” Si bos kesakitan.
“Eh eh maaf bos.” Erlin kabur dari dalam ruangan.
Keesokan harinya di rumah Jesi.
“Fix itu orang gak bisa didiamkan. Pertama Ririn, sekarang kamu? Kita harus bertindak Lin,” tegas Jesi.
“Kamu benar. Aku merasa jijik dengan sikapnya kemarin padaku. Aku akan telpon Ririn dan mengajaknya untuk pergi ke rumah bos besar. Aku ingin ia segera di pecat.”
Keesokan harinya tiga gadis serangkai yaitu Erlin, Jesi dan Ririn dengan segenap semangat memberanikan diri untuk melaporkan manager yang merasa bos di kantor itu kepada pimpinan tertinggi. Disertai bukti yaitu rekaman cctv dan chat ancaman kepada Ririn. Maka manager rasa bos itu pun dipecat bahkan dilaporkan ke pihak berwajib.
Meski Ririn masih menyimpan trauma dan kejiwaannya cukup terguncang, tapi berkat dukungan semangat untuk tidak gentar dari Jesi dan Erlin, gadis itu berani juga turut menyuarakan pelecehan yang ia alami di lingkungan tempat ia bekerja.
Wanita harus berani, jangan gentar. Teriakan suaramu, Ladies. Demikian kalimat yang terus Erlin gaungkan meski batinnya sendiri pun cukup terguncang akibat perlakuan yang ia terima kemarin. ***
.
Teriakan Suaramu, Ladies. Teriakan Suaramu, Ladies.
.
Leave a Reply