Cerpen, Hilmi Faiq, Pikiran Rakyat

Tentang Adik Lelakiku

Tentang Adik Lelakiku - Cerpen Hilmi Faiq

Tentang Adik Lelakiku ilustrasi Zulfa Nasrulloh/Pikiran Rakyat

3.7
(6)

Cerpen Hilmi Faiq (Pikiran Rakyat, 08 Januari 2022)

LAMAT-LAMAT aku mendengar suara Bidan Siti dan Bi Nur bergantian meminta Ibu menarik napas dan mendorong agar janin dalam perut segera keluar. Terdengar gerung Ibu yang demikian panjang dan kencang disusul napas tersengal-sengal. Aku ingat saat sepupuku lahir, setelah tante menggerung begitu biasanya disusul suara tangis bayi. Tapi ini sepi. Hanya terdengar Bidan Siti dan Bi Nur mengucap istigfar.

“Tidaaaak…!” Ibu melolong.

Aku yang hanya diizinkan menunggu di depan kamar, semakin penasaran, ada apa dengan adikku? Apa yang terjadi dengan Ibu?

Pintu kamar terbuka dengan kasar disusul kemunculan Bidan Siti yang melangkah tergesa sembari mengendong bayi. O, bukan. Ini bukan seperti bayi yang aku lihat sebelum-sebelumnya. Adikku yang digendong Bidan Siti berbungkus kain putih itu berkulit cokelat. Meskipun masih berselimut lendir, aku tahu wajahnya tak sama dengan sepupuku saat lahir. Matanya bulat sempurna seperti kancing baju dengan manik mengkilat. Hidungnya seperti hilang hanya menyisakan dua lubang dikeliling warna hitam kehijauan. Lalu mulut itu, iya mulut itu mengapa bentuknya seperti batok kelapa yang jadi gayung di musalla. Mengapa pula tangannya yang mengintip dari balik selimut putih itu penuh bulu cokelat. Benarkah dia adikku?

“Mila, jangan ikut-ikutan ke sini,” hardik Bidan Siti ketika menyadari aku membututinya sampai ke pintu kamar mandi. Bidan langganan keluarga itu lalu buru-buru menutup pintu. Mungkin hendak memandikan adikku.

Aku keluar rumah, tetapi bukan untuk main. Aku mencari kaca jendela kamar untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Dari kaca nako buram, aku melihat Bidan Siti kembali masuk kamar dan meletakkan adikku di samping Ibu. Ibu buru-buru memalingkan badan seolah menolak bahwa makhluk hidup yang bergerak-gerak di sampingnya itu baru saja keluar dari rahimnya. Bahwa dia anak kandungnya.

***

Beberapa bulan sebelumnya.

“Bagaimana kamu bisa hamil sementara aku berbulan-bulan di lautan. Coba jelaskan, dengan siapa kamu berbuat?” kata Ayah dengan nada berat dan suara rendah malam itu.

Dia seolah menjaga agar aku tidak terjaga atau terganggu oleh obrolannya dengan Ibu. Aku pura-pura tidur sembari menajamkan pendengaran. Sekilas aku melihat dari celah pintu yang tak tertutup rapat, Ibu dan Ayah duduk berseberangan di ruang tamu.

Baca juga  Belah Ketupat

“Demi Tuhan. Tidak pernah ada laki-laki lain dalam pelukanku.”

“Lalu itu anak siapa?”

“Anakmu. Anakku. Anak kita, Pak!” kata Ibu.

Aku membayangkan dia mengatakan itu sambil mengelus perutnya yang membuncit. Belakangan ibu juga kerap muntah di pagi hari. Aku yakin Ibu hamil dan aku senang karena bakal punya adik.

“Tidak. Tidak mungkin.” Kata-kata Ayah rendah.

Lalu aku mendengar Ayah menjelaskan ketidakmungkinan itu. Ayah meninggalkan rumah sejak sepuluh bulan lalu dan baru pulang tadi tengah hari. Selama sepuluh bulan itu, sama sekali Ayah tidak pernah pulang. Makanya Ayah kaget mendapati Ibu yang hamil tujuh bulan.

Aku kaget dengan penjelasan Ayah. Seingatku, sekitar tujuh bulan lalu Ayah pulang sepekan lalu pergi lagi. Itu juga yang diutarakan Ibu sehingga dia berdalih mungkin Ayah lupa.

“Pak, kamu lupa. Tujuh bulan lalu kamu pulang. Katanya izin sepekan karena sakit. Wajahmu agak pucat waktu itu. Ketika kamu di rumah itulah, kehamilan ini bermula.”

“Aku tidak pernah pulang. Aku bisa membuktikan. Kamu bisa tanya Parlin atau Faruk. Mereka yang selalu bersama aku di laut selama sepuluh bulan.”

“Kalau ini bukan anakmu, lalu anak siapa?!” suara ibu meninggi seperti perempuan putus asa. Seperti suara seorang istri yang gagal meyakinkan suaminya bahwa dia perempuan setia.

Aku tak tahan mendengar pertengkaran malam itu. Selama tujuh belas tahun menjadi anak Ibu dan Ayah, baru kali ini aku menyaksikan mereka bertengkar sesengit ini. Aku sungguh tak tahan. Aku memberanikan diri bangun, menyalakan lampu kamar, lalu membuka pintu. Seketika hening. Kudapati wajah pias Ibu dan wajah kaget Ayah menatapku.

“Mau pipis ke kamar mandi,” kataku membalas tatapan-tatapan ganjil mereka.

Pagi harinya, tak lagi kutemui Ayah di rumah. Biasanya selama sepekan atau dua pekan Ayah selalu di rumah setelah melaut berbulan-bulan. Pasti karena pertengkaran semalam.

***

Waktu berlalu dan adikku yang penuh bulu itu mulai merangkak lalu berjalan, dan kini bisa berlari. Kalian tentu bisa menebak, keluarga kami menjadi buah bibir warga Kampung Melong, tempat kami tinggal. Mereka terus membicarakan tentang seorang perempuan yang tinggal di ujung gang di bawah pohon beringin rindang beranak wewe gombel. Seluruh kebaikan kami tiba-tiba musnah oleh tuduhan mereka yang mengatakan Ibu telah berdosa besar: kawin dengan hantu ketika rindu kepada suaminya tak tertahankan.

Baca juga  Surat untukmu, Tjoe

Aku bisa membayangkan beban ganda yang diderita Ibu. Di satu sisi dia pelan-pelan mencoba mengakui bahwa bayi berbulu itu memang anaknya. Di si lain, dia harus menelan hujatan dan cemooh warga.

Sebagai bentuk pertahanan diri, kami jadi jarang keluar rumah. Tampaknya itu justru dijadikan pembenaran warga atas tuduhan mereka. Tak apa, kami terlanjur tak peduli. Aku lebih peduli kepada adikku. Aku senang-senang saja menemaninya bermain. Belakangan dia kerap naik pohon beringin dan berlama-lama di sana. Sesekali aku mendengar tawanya di sana seolah sedang berseda guru dengan seseorang. Tidak siang tidak malam, dia makin banyak menghabiskan waktu di atas pohon sana. Kadang, aku terpaksa naik untuk menjemputnya saat waktu makan tiba.

Usia pohon beringin ini sudah puluhan tahun. Lingkaran batangnya lebih besar daripada tandon air. Itulah mengapa aku makin susah memanjatnya. Untuk memudahkan naik turun itu, sekaligus untuk menjaga keselamatan adikku, aku menambahkan tangga dari bambu. Sebenarnya kalau dilihat dari sisi kelincahan adikku, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia lincah betul memancat laiknya orangutan atau kera. Dia juga jarang naik atau turun lewat tangga. Jadi tangga itu lebih berguna untukku.

Makin hari, adik bungsuku yang tak kunjung diberi nama oleh Ibu itu, makin kerasan. Kemarin malam dia bahkan tidur di atas pohon beringin, sendirian. Oh, mungkin tidak sendirian. Dia sama sekali tak mau dibujuk untuk turun. Lewat ocehannya yang lebih mirip sura desis dan seringai yang menunjukkan deretan giginya itu, aku paham dia marah kalau dipaksa turun. Kadang aku rindu tidur bersama adik bungsuku itu. Memeluk badannya yang penuh bulu serta membaui tubuhnya yang beraroma kentang rebus.

Baca juga  Tenung

Kentang rebus!

Aku seperti mengenal aroma ini sebelum adik bungsuku lahir. Aku yakin betul beberapa kali menangkap aroma ini. Di rumah ini. Tapi aku tidak pernah tahu sumbernya.

Sore hari menjelang memandikan si bungsu, aku berbincang dengan Ibu.

“Bu, coba cium badan adik.”

“Memangnya dia kenapa?”

“Coba cium saja. Ibu mencium aroma kentang rebus, tidak?”

“Iya. Seperti biasa. Badan adikmu ini begini baunya.”

“Barangkali Ibu ingat pernah mencium aroma yang sama sebelum adik lahir?”

Ibu menghentikan gerakannya. Membiarkan gayung yang diangkatnya itu mengapung di udara berpedoman pada tangannya. Dahinya mengernyit seperti mengingat-ingat sesuatu.

“Yang Ibu ingat, waktu ayahmu pulang dan bilang sakit itu, aroma badannya begini ini. Sampai pernah ibu memintanya mandi. Tapi aromanya tidak hilang. Persis seperti ini.”

“Itu pas kapan persisnya?”

“Mungkin sepekan sebelum Ibu telat datang bulan dan kemudian hamil adikmu ini.”

“O.”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Berarti memang dia anak Ayah. Aromanya saja sama hehehe,” kataku mencairkan suasana karena aku lihat raut Ibu mulai masgyul.

Aku hapal banget aroma Ayah itu aroma laut. Setiap berbincang dengannya, menguar hawa laut dari mulut dan tubuhnya, seolah seluruh pori-pori pada kulit Ayah menyimpan cerita laut dan dengan setia disampaikan kepadaku dan mungkin juga kepada Ibu.

Lalu pikiranku melayang jauh pada peristiwa beberapa pekan sebelum Ibu menyadari di rahimnya ada janin bersarang. Waktu itu baru tiga bulan Ayah pamit melaut, dan tumben dia pulang dengan alasan sakit. Wajah dan postur itu memang Ayah, tapi sama sekali tak ada roma laut. Pria itu memang Ayah, tapi bukan Ayah. ***

.

.

Green Village Bintaro, Februari-Oktober 2021

Hilmi Faiq, jurnalis dan penulis. Telah menerbitkan dua buku kumpulan cerpen, yakni Pesan dari Tanah (2020) dan Pemburu Anak (2021).

.

Tentang Adik Lelakiku. Tentang Adik Lelakiku. Tentang Adik Lelakiku. Tentang Adik Lelakiku.

.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!