Cerpen Mahan Jamil Hudani (Singgalang, 16 Januari 2022)
APA yang terlintas di pikiranmu saat mendengar perkataan “Orang Pilihan”? Kau mungkin akan membayangkan banyak macam, namun tetap itu sesuatu yang hebat dan dahsyat. Tapi mungkin setelah mendengar ceritaku, kau akan merasa ini biasa saja, tapi bagiku ini sesuatu yang luar biasa, bahkan sangat istimewa.
Ya, inilah cerita yang tak biasa dari kami, orang-orang biasa.
Namaku Bowo. Usiaku tiga puluh empat tahun. Aku masih membujang meski orangtuaku sangat ingin melihatku menikah seperti teman-temanku yang lain. Tentu aku bukan tak mau menikah, tapi rasanya masih susah, pekerjaanku hanyalah seorang pelayan resto tak besar yang saat ini makin sepi saja karena dihantam pandemi.
Aku sungguh tak ingin makin merepotkan orangtuaku jika aku menikah, sementara mereka sendiri juga hidup dalam kekurangan. Lebih dari itu, dan ini yang pasti, aku memang benar-benar tak memiliki pasangan.
Banyak kisah tragis yang terjadi pada kisah cintaku, tapi yang paling banyak pastilah aku ditolak perempuan. Setidaknya ada dua puluh kali aku ditolak cinta, tiga kali aku diputus cinta—sementara aku sedang menikmati dengan penuh bahagia, juga hubungan baru berjalan sebentar saja—dan tiga kali pula aku ditinggal begitu saja tanpa ada aba-aba.
Untung semua itu tak membuatku gila. Pacaran zaman sekarang, ternyata harus punya modal besar, tambah lagi, aku memiliki wajah sangat pas-pasan.
Setelah beberapa bulan tutup, akhirnya resto kami kembali buka. Aku sangat senang karena kembali bekerja. Selain itu, aku tentu bahagia sekali bertemu Mukaromah, rekan kerjaku yang menjadi kasir di resto. Ia perempuan yang sangat manis dan tentu saja sangat ramah sebagai bagian dari pelayanan kerja pada para tamu atau pelanggan. Kau mungkin bisa menebak jika aku sangat menyukai perempuan itu. Benar, hanya saja aku tak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Jadilah aku seorang penonton dan pendengar setia baginya.
Usia kami terpaut jauh, sekitar sebelas tahun. Ia memiliki paras manis dan menawan. Aku cukup sadar diri. Aku telah mempersiapkan diri sebagai pendengar setia saat perempuan itu sering curhat dan cerita padaku tentang apa saja; kadang keluarga, kadang bercerita beberapa pria yang sedang gencar mendekatinya. Bagiku, itu telah membuat aku bahagia tak terkira karena aku bisa berlama-lama menatap parasnya saat jam istirahat tiba.
Pernah pula kami menunda pulang meski resto telah tutup, itu karena Mukaromah ingin curhat tentang sesuatu padaku. Jika begitu, aku sering menawarkan diri mengantar Mukaromah pulang dengan motor bututku, lebih tepatnya mengawal ia pulang.
Tapi ia tersenyum dan menjawab, “Tak perlu”, Mukaromah berkendara sendiri ke resto dengan sepeda motornya. Ia tak pernah mau diantar oleh siapapun. Tampak sekali sebenarnya ia perempuan mandiri walau kadang sikapnya masih manja dan kekanak-kanakan.
Perempuan seusianya tentu masih labil jiwanya. Aku sedikit mengerti saja karena bagaimanapun—walau aku malu mengatakannya—aku sangat mencintainya. Tapi seperti kataku tadi, aku tak berani, maklumlah kau sudah tahu sendiri, aku jauh dari mapan, wajahku juga jauh dari tampan, dan aku tak memiliki kendaraan yang layak dibanggakan.
Aku pergi bekerja ke resto ini dengan meminjam sepeda motor butut ayahku. Kadang jika ayah sedang sangat perlu untuk mengantar ibu berbelanja—karena ibuku membuka warung kecil di rumah—aku terpaksa naik angkot, untung cukup sekali jalan.
Nah karena itulah, aku merasa terbiasa dan merasa dewasa mendengar keluh kesah Mukaromah, bahkan tentu sangat menikmatinya. Kapan saja, aku akan bersedia menampung segala ceritanya yang terkadang seperti air keran bocor di resto kami, tak henti-henti, dan kadang kekanak-kanakan seperti drama Korea yang sangat digemarinya—sementara aku sangat tak suka tapi berpura-pura menggemarinya.
Belakangan, setelah beberapa bulan kami sering dalam perbincangan, aku merasakan jika ia telah sedikit berubah, menjadi lebih matang dalam bersikap. Ia, jika bercerita padaku, sudah tak lagi menggebu-gebu meluapkan emosinya. Ia lebih tenang dan tak lagi mendayu-dayu. Nada suaranya lebih terkontrol. Sebelumnya kalau ia sedang sebal dan kesal, ia akan berbicara blak-blakan dengan suara yang tentu saja kencang.
Aku tahu ada beberapa pria yang sangat mencintainya. Ada tetangganya yang masih duduk sebagai mahasiswa semester akhir, Mukaromah pernah bercerita padaku soal itu.
Ada juga pengusaha ikan yang sering mengantar pasokan untuk resto ini—aku tahu sendiri karena juragan ikan itu sering mendekatiku, bertanya tentangnya—dan masih beberapa lagi.
Bahkan manager resto juga sangat suka Mukaromah, untunglah manager itu sudah punya istri, jadi ia tak bisa terlalu bersikap macam-macam padanya, namun tak urung ia kurang suka padaku jika aku berlama-lama bicara dengan Mukaromah. Tapi sebagai pelayan, aku dan Mukaromah punya alasan untuk bisa berbincang.
Satu lagi yang sangat serius mendekatinya adalah Pak Anggara, dosen muda di kampus yang lokasinya tak jauh dari resto. Ia sering makan siang di sini dan sering mengajak Mukaromah berbincang namun tak bisa berpanjang-panjang karena Mukaromah masih sibuk dengan pekerjaan. Namun Pak Anggara sering menawarkan diri untuk bisa diizinkan main ke rumah Mukaromah.
***
Mukaromah bercerita padaku jika orangtuanya sudah memintanya untuk menikah. Kata orangtuanya, apalah yang ditunggu bagi perempuan yang telah bekerja sepertinya. Orangtua Mukaromah memintanya agar ia segera menentukan pilihan.
Beberapa orang telah datang pada orangtuanya. Pak Jordan sang juragan ikan, Pak Anggara dosen muda bergelar magister di universitas tak ternama itu, yang lagaknya seperti eksekutif muda, juga Faisal, tetangganya yang kini telah lulus dari perguruan tinggi dan meneruskan bekerja di kantor milik ayahnya.
Bahkan ada lagi yang telah datang ke rumah Mukaromah, seorang pedagang di pasar yang memiliki kios lumayan besar dan ia sering berkoar bisa mencukupi semua kebutuhan hidup Mukaromah.
“Nah, Mukaromah tinggal tentukan pilihan saja, kan.” Kataku padanya. Tentu ia punya penilaian dan pertimbangan mana lelaki yang cocok baginya karena mereka sudah cukup sering datang ke rumah Mukaromah.
“Ya, Bang Bowo. Aku sudah mengatakan pada ayah dan ibu jika aku sudah memiliki orang pilihan?”
“Bagus itu. Mukaromah tinggal terima dan katakan itu pada orangtua.” Aku berkata seperti itu sebenarnya dengan terpaksa, tapi ya apa yang harus kukata. Kau tahulah perasaanku, sebenarnya terpukul juga walau aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini.
“Justru itu yang membuatku bingung.”
“Kenapa, mestinya kau senang, akhirnya kau telah memiliki orang pilihan?”
“Masalahnya adalah orang pilihan itu belum pernah datang ke rumah.”
Mukaromah kemudian diam cukup lama. Aku tak bisa berkata-kata dan memang belum mengerti apa maksudnya.
“Soal itu, kau tinggal mengajaknya ke rumah.” Aku berkata tanpa prasangka apa-apa. Mukaromah mungkin telah memiliki kekasih yang tinggal jauh entah di mana, namun rasanya tidak juga. Ia hampir selalu bercerita segalanya padaku.
“Tak semudah itu utuk mengajaknya ke rumah dan melamarku, Bang.”
***
Setelah perbincangan hari itu, esoknya Mukaromah tak masuk kerja. Pikirku ia mungkin izin karena ada suatu urusan. Esoknya lagi Mukaromah tak masuk, aku bertanya pada manager resto—walau ia menjawab dengan singkat, seperti kurang suka—jika Mukaromah mengajukan cuti selama satu minggu.
Aku mengirim pesan pada Mukaromah, menanyakan kabar, namun ia tak membalasnya. Beberapa hari ia tak membalas pesanku. Aku merasakan ada yang aneh dengan sikapnya itu.
“Aku akan ke rumah, mengunjungimu besok ya.”
Mukaromah baru membalas pesanku jika tak ada yang diperkenankan datang ke rumahnya. Katanya ia sedang menunggu orang pilihan datang melamarnya. Siapapun lelaki yang datang, pastilah orangtuanya akan menganggap itulah orang pilihan.
Setelah cuti Mukaromah habis dan ia mulai masuk kerja kembali, sikapnya berubah padaku. Jika aku mengajaknya bicara, ia akan menjawab seperlunya saja. Ini tentu saja membuatku bingung. Aku merasa tak memiliki kesalahan apapun, kenapa ia bersikap begitu padaku.
“Oh iya, kenapa kau cuti tak bilang-bilang dan mendadak begitu minggu lalu?”
“Aku sedang memberi kesempatan orang pilihan itu untuk berpikir.” Dan aku masih belum mengerti dengan jawabannya. Aku ingin bertanya lebih jauh, sepertinya percuma, Mukaromah mulai menghindariku.
“Jadi orang pilihan itu belum juga datang melamarmu?” Mukaromah hanya berlalu meninggalkanku.
Beberapa minggu sikap Mukaromah begitu. Dan aku juga tak tahu kenapa. Aku masih mencoba menyapa seramah mungkin tanpa banyak bertanya. Aku merasa ia tak suka jika aku bertanya macam-macam padanya. Akhirnya aku bersikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa namun aku tetap selalu mencoba memberi perhatian padanya.
Satu bulan berlalu, sikap Mukaromah tetap dingin dan cuek. Ia tak lagi seperti dulu saat sering curhat banyak hal padaku. Tak terdengar lagi kabar tentang para lelaki yang ingin menikahinya. Juga tentang keinginan orangtuanya yang memintanya untuk segera menentukan pilihan.
Aku juga memperhatikan, orang-orang yang mendekati Mukaromah seperti sudah mundur teratur. Pak Jordan sang juragan ikan pernah mengatakan padaku, jika Mukaromah telah memiliki orang pilihan.
Pada suatu kesempatan, saat istirahat dan resto sedang tak banyak orang berkunjung karena memang sudah lewat jauh waktu makan siang, aku mendekati dan bertanya padanya untuk memastikan lagi.
“Bagaimana tentang orang pilihan itu, sudahkah ia sekarang datang melamarmu?”
“Belum.” Jawabnya singkat sambil menyibukkan diri memencet tombol-tombol komputer.
Aku menatapnya agak lama. Mukaromah menundukkan kepala. Jemarinya makin tak terarah memencet keyboard di komputer meja kasir. Aku sangat melihat kegugupannya saat menatapi parasnya agak lama. Untung sang manager sedang tak ada.
“Minggu depan aku akan melamarmu.”
Keberanianku muncul. Aku tak tahu mengapa berani berucap begitu. Aku sungguh terkejut sendiri telah melontarkan perkataan itu. Mukaromah tetap diam saja, tertunduk agak lama. Dadaku berdebar dan aku merasa gugup. Aku lalu melihat seulas senyum di bibirnya. Perlahan ia sedikit mengangkat parasnya.
“Ya, Bang Bowo. Aku tunggu. Aku… akuuuuu… aku memang sedang menunggu itu.”
Suara kegugupan dan senyum itu sungguh membuatku terbang, membawa rasa gugupku sendiri.
Apakah aku yang dimaksud Mukaromah orang pilihan itu?
Sungguh aku tak sabar menunggu jam pulang. Jika mungkin, aku akan segera meminta izin pulang sekarang, mengajak Mukaromah berbincang setelah satu bulan lebih ia hanya banyak diam menunggu orang pilihan. ***
.
Leave a Reply