Cerpen, Puspa Seruni, Suara Merdeka

Ikan yang Lupa Jalan Pulang

Ikan yang Lupa Jalan Pulang - Cerpen Puspa Seruni

Ikan yang Lupa Jalan Pulang ilustrasi Nugroho DS/Suara Merdeka

4.3
(7)

Cerpen Puspa Seruni (Suara Merdeka, 16 Januari 2022)

INI hari kelima Hasan duduk dengan menekuk lutut di bawah nyiur yang batangnya meliuk-liuk dipermainkan angin laut. Wajahnya telah kebas setelah berjam-jam ditampar oleh aliran udara beraroma garam. Kulitnya semakin legam karena daun-daun kelapa tidak cukup mampu meneduhkan. Bocah berusia sebelas tahun itu gelisah, matanya awas menatap ke arah lautan.

Samsul, bapaknya, tidak pernah melaut hingga berhari-hari seperti ini. Saat angin daratan terangkat naik dan digantikan oleh angin yang lebih hangat dari laut, biasanya Hasan akan berlari menyongsong bapaknya yang menepi di pantai. Ia akan membawakan jaring yang digunakan bapaknya untuk menjala ikan atau ia akan mengangkat keranjang berisi ikan hasil tangkapan. Namun, sudah hari kelima bapaknya tidak pulang, sekadar memberikan kabar pun tidak.

“Bapak belum punya uang, San. Hasil tangkapan sedikit, hanya cukup buat makan.”

Hasan masih ingat kata-kata bapaknya satu minggu lalu saat ia merengek minta dibelikan baju putih lengkap dengan kopyah hitam, slayer merah putih, dan juga sarung tangan putih. Seragam itu akan digunakan Hasan untuk upacara di sekolah. Tubuh Hasan yang tegap dan tinggi untuk ukuran anak SD membuat sekolah memilihnya untuk ikut dalam pasukan pengibar bendera saat upacara kemerdekaan dua minggu lagi.

“Kita juga harus memasang bendera di depan rumah, Pak. Sama umbul-umbul barang satu dua. Kata Pak RT, Agustusan harus meriah.”

Kala itu, Hasan sedang membantu bapaknya membersihkan teritip yang mulai memenuhi bagian bawah sampan. Lelaki berusia 40 tahun itu diam saja, tidak menanggapi permintaan anak lelakinya. Otaknya sedang menghitung berapa uang yang harus ia sediakan untuk memeriahkan acara Agustusan tahun ini.

Bejena laep ngak riya gik bede Agustusan, Pak RT?” [1]

Hasan mengintip dan mencuri dengar pembicaraan saat Pak RT mengunjungi rumahnya. Samsul terlihat menggaruk-garuk kepala sambil mengamati surat yang diserahkan kepadanya. Samsul mungkin tidak mahir membaca, tapi dari penyampaian Pak RT ia menduga bahwa isi surat itu tentang pemberitahuan kegiatan Agustusan yang membutuhkan sumbangan dana.

Ariya kan acara sataon sakale, Sul. Ye kodu meriah. Sela tak ambu a perrang, masak dek iye bei bekna tak endek.” [2]

Pak RT bersungut-sungut menatap Samsul. Dari wajah Samsul, terlihat bahwa ia keberatan dengan sumbangan RT sebesar 30 ribu rupiah. Samsul bukan tidak mau, apalagi sampai dianggap tak punya nasionalisme. Tetapi penghasilannya tak menentu, apalagi sejak perahu cantrang dari luar wilayah terlihat beberapa kali beroperasi di sekitar tempat Samsul biasa mencari ikan.

Baca juga  Matinya Seorang Makelar

Meski sudah ada undang-undang yang mengatur tentang jalur penangkapan, tetapi kenyataannya perahu lebih dari 30 GT [3] itu beberapa kali terlihat hilir-mudik di jalur IB yang berjarak hanya dua hingga empat mil dari pantai. Pelanggaran jalur seperti itu menjadi sebuah masalah yang tak pernah selesai. Konflik antara nelayan yang berbeda alat tangkap acap tidak bisa dihindarkan. Terutama dengan perahu slerek (purse seins) yang wilayah tangkapannya di jalur IB. Bentrokan sering diiringi dengan kekerasan fisik atau bahkan pembakaran armada.

Berbeda dari Samsul serta nelayan lain yang hanya menggunakan payang, jaring ataupun pancing. Nelayan dengan perahu di bawah 5 GT itu tidak bisa berbuat banyak. Perahu kecilnya tentu tidak mampu bersaing dengan perahu besar bermesin gardan dengan kekuatan di atas 11 knot itu.

Samsul kerap mengeluhkan hal itu pada Hasan. Anak lelaki itu sedikit banyak mengerti apa yang kini melanda bapaknya. Akan tetapi ada hal yang diam-diam disembunyikan Samsul dari anak lelakinya, tentang kehidupan mereka yang kian melarat.

Selain berjuang untuk menghidupi anak satu-satunya, Samsul juga harus melunasi utang sebesar enam juta rupiah pada Marham, tukang riba di pasar. Pinjaman yang digunakan untuk biaya pengobatan istrinya dua tahun lalu di rumah sakit. Setiap bulan Samsul bersusah-payah menyisihkan uang hasil melaut untuk melunasi utang yang rasanya tak kunjung lunas.

Sekarang beban itu terasa semakin berat karena hasil tangkapan yang kian menyusut. Ikan-ikan yang biasanya banyak di sekitar rumpon miliknya, kini seakan lupa jalan pulang. Rumpon milik Samsul sepi dan kosong. Beberapa kali, ia justru harus memperbaiki rumpon yang rusak karena tersangkut cantrang yang beroperasi di sekitarnya.

Permintaan Hasan untuk persiapan acara kemerdekaan menjadi hal yang bercokol dalam kepala Samsul. Hampir setiap hari, Hasan mengingatkan bapaknya bahwa ia terpilih menjadi pasukan pengibar bendera.

“Hasan dipilih jadi paskibra di sekolah, Pak. Hasan jadi pengiring bendera.”

Pijar mata Hasan menyala, bercerita tentang dirinya yang terpilih masuk dalam pasukan pengibar bendera di upacara tujuh belas Agustus nanti.

Baca juga  Cenil Sandalip

“Hasan juga perlu sepatu hitam, Pak. Sepatu Hasan sudah rusak bagian jempolnya.”

Samsul bergeming, ia mencoba tidak menolak permintaan Hasan. Ia tidak mau apa yang kini menjadi kebanggaan anaknya rusak hanya karena dirinya tidak mampu membelikan seragam putih-putih itu.

Ia menggenggam janji di dalam hati untuk mewujudkan permintaan Hasan. Sejak ibunya meninggal lima tahun lalu, Hasan hanya hidup dengan Samsul dan tentu saja ia tidak ingin mengecewakan anaknya.

Sepanjang malam Samsul berpikir untuk menemukan cara mendapatkan uang untuk membeli seragam putih-putih, membeli bendera merah putih dan umbul-umbul serta membayar iuran RT untuk kegiatan Agustusan. Sudah empat hari ia tidak melaut, kondisi akhir musim barat menjadikan cuaca tidak menentu. Hujan angin serta riuh gelombang bukan waktu yang tepat untuk melaut.

Samsul mendatangi pemilik kapal slerek di daerahnya, bermaksud mencari pekerjaan dengan menjadi ABK. Namun, kondisi laut yang mengamuk membuat tidak ada kapal mana pun yang berani melaut. Samsul kehabisan cara, ia juga tidak mau lagi berutang pada juragan darat apalagi pada Marham. Kebuntuan akhirnya menyebabkan Samsul mengambil keputusan yang sulit.

Hasan kembali teringat raut wajah bapaknya saat ia mengantar hingga ke tepi pantai lima hari lalu. Hasan menghela napas panjang, menatap lautan. Ia memembiarkan jemari kakinya bermain-main di antara pasir hitam pantai Arca Timur. Sebentar lagi, gelap akan merayap. Hasan mendengkus kesal, ia harus kembali pulang ke rumah dengan tangan kosong. Bapaknya tidak pulang lagi hari ini, sementara upacara Agustusan sudah tinggal beberapa hari lagi.

Hasan tidak tahu bahwa bapaknya bukan pergi melaut seperti saat ia berpamitan. Samsul menjalankan perahunya menuju pelabuhan yang jaraknya cukup jauh dari pantai Arca Timur. Ia bermaksud menggadaikan perahunya barang satu dua minggu pada nelayan kenalannya. Namun, siapa sangka ia justru mendapatkan kemalangan di sana.

Saat Samsul mulai menyandarkan perahunya, ia melihat pelabuhan sudah berhias menyambut hari kemerdekaan. Umbul-umbul berwarna-warni berbaris sepanjang dermaga menuju halaman kantor pelabuhan. Kapal-kapal besar yang bersandar pun hampir semuanya mengibarkan bendera merah putih.

Aktivitas pelabuhan kala itu lebih sepi dari biasanya, sebagian besar nelayan lebih memilih memperbaiki alat tangkap yang akan dipergunakan saat gelombang lebih ramah. Umbul-umbul dan bendera merah putih itu berkibar-kibar diterpa angin laut. Samsul teringat perkataan Hasan sebelum dirinya berangkat melaut.

Baca juga  Gantung Pena

Cakna Pak Guru, Pak, benni reng Indonesia nyamana mon e bengkona tak andik bendera.” [4]

Kalimat itu terus terngiang-ngiang dalam kepala Samsul. Maka saat ia melihat sebuah kapal besar yang sepi mengibarkan bendera merah putih di salah satu tiangnya, Samsul berusaha mendekat. Samsul menaiki perahu yang ukurannya berpuluh kali lipat dari sampan miliknya.

Sebuah teriakan membuatnya panik, ia berusaha melompat turun. Teriakan tersebut membuat nelayan lain yang sedang berada di pelabuhan, berlari memburu Samsul. Nelayan-nelayan itu mengira Samsul adalah ABK pada perahu besar yang sedang dijadikan barang bukti akibat adanya pelanggaran jalur di wilayah Panarukan itu.

Samsul tidak tahu-menahu tentang adanya penangkapan perahu cantrang itu. Ia berlari menghindar dari nelayan yang mengejarnya karena merasa bersalah telah mengambil bendera merah putih dari perahu yang sedang bersandar itu. Samsul terus berlari menjauh dari pelabuhan. Namun nahas, ia akhirnya tertangkap dan menjadi korban amuk massa. Saat napasnya tersisa satu per satu dengan kepala berdarah, tangan kanannya masih menggenggam erat bendera merah putih curian.

Seperti halnya ikan yang lupa untuk pulang ke rumpon miliknya, Samsul pun tak akan lagi pulang menemui Hasan yang setiap siang duduk di bawah pohon nyiur menunggunya. ***

.

.

Footnote:

[1] “Musim paceklik begini masih ada acara Agustusan, Pak RT?”

[2] “Ini kan acara satu tahun sekali, Sul. Ya harus meriah. Kita sudah nggak perlu berperang, masak disuruh nyumbang begini saja tidak mau.”

[3] Gross Tonnag : perhitungan volume semua ruang pada kapal

[4] Kata Pak Guru, Tidak layak disebut warga negara Indonesia jika tidak mengibarkan bendera merah putih.

.

.

Puspa Seruni, pengajar di Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali. Beberapa cerpennya sudah dimuat di media cetak nasional dan media online. Dia juga menulis novel berjudul Perempuan Penyulam Sabar.

.

.

Publikasikan karya terbaik Anda (puisi atau cerpen) di Suara Merdeka. Naskah dikirim ke email [email protected]. Jangan lupa sertakan nomer ponsel Anda. Panjang naskah sekitar 7.000 karakter. Ditunggu. Terima kasih. (Redaksi)

.

Ikan yang Lupa Jalan Pulang. Ikan yang Lupa Jalan Pulang.

Loading

Average rating 4.3 / 5. Vote count: 7

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!