Cerpen Mohammad Rizal Fikri (Radar Madiun, 16 Januari 2022)
MALAM ini, mendung berwarna abu-abu melintas di atas kepala. Rembulan semakin malu dan kemudian bersembunyi saat detik demi detik menyapu. Rintik hujan akhirnya tiba. Kemudian jejak-jejak si Wulan akan segera hilang menuju gelap bersamaan hujan yang tercurah dari langit.
***
Perjodohan kami sudah direncanakan satu bulan yang lalu. Aku dan si Wulan terpaksa barus menerima. Meskipun kami yakin satu sama lain saling tidak suka. Ibu Wulan yang telanjur terlilit utang kepada bapakku, terpaksa melunasi utangnya dengan menawarkan porjodohan ini.
“Apa kau tidak suka sama si Wulan? Dia cantik, lho,” tanya bapak saat menawari perjodohan itu kepadaku.
“Tidak. Meskipun si Wulan cantiknya bak bidadari, aku masih enggan untuk menikah. Lagi pula aku tidak mau menikah tanpa dasar cinta. Apalagi kalau pernikahan ini didasari oleh Ibu Wulan yang terlilit utang kepada Bapak.”
Keheningan menyantap sesaat. Bapak termenung. Terdiam seribu bahasa. Kemudian diriku mulai berdiri dan bersiap untuk pergi keluar.
“Kau mau pergi ke mana, Edwin?”
“Pergi, ketemu sama teman-teman.”
“Sebaiknya kau berpikir matang-matang saat kau bertemu dengan si Wulan. Kau jangan terburuburu menolak, padahal dirimu belun berternu sama sekali dengannya.”
Benar saja, beberapa hari kemudian aku dipertemukan dengan keluarga Wulan.
Aku dan bapak menyambut. Wulan juga datang. Aku memandang wajahnya. “Oh, jadi ini yang namanya Wulan,” pikirku saat itu. Paras yang dibicarakan oleh bapak memang benar. Wulan sangat cantik bak bidadari yang anggun memesona. Tapi, ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang tiba-tiba menusuk pikiranku.
“Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan?”
***
Aku termenung di dalam kamar. Lamunanku belum berhenti. Saku ingatanku perlahan memungut selembaran ingatan. Akhirnya aku tersadar. Iya benar, aku pernah bertemu Wulan sebelumnya. Tapi, itu sudah dua bulan yang lalu sebelum kami saling diperkenalkan.
Malam itu, aku bertemu dengannya saat sedang mabuk berat akibat beberapa tenggak wine yang aku minun bersama gengku. Aku sudah terbiasa memang. Setiap malam selalu berpesta pora membentuk lingkaran, duduk manis di sofa bar dan kemudian menggilir minuman beralkohol. Suatu kebiasaan buruk yang aku budayakan setiap malam.
Wulan saat itu memakai baju seragam pegawai swalayan, selepas pulang kerja. Tampak saat itu raut mukanya kelelahan.
“Neng, kok sendirian. Boleh nih Abang temenin.”
“Dasar lelaki berengsek. Pergi sana!” sungut Wulan memarahiku pada saat itu.
“Ayolah, Neng! Daripada Eneng sendirian, lebih baik Eneng Abang temenin.”
Plak! Tamparan keras mendarat di pipiku. Pantas memang. Seorang lelaki berengsek yang tak sadar menggoda seorang perempuan.
Aku memegang tangan Wulan dengan berkata kasar, “Dasar…!” Wulan terlihat melawan, mencoba melepas cengkeraman tanganku. Aku mempererat peganganku, tapi tiba-tiba saja, buk! Ada seseorang yang memukulku dari belakang. Entah, siapa itu. Sampai sekarang aku belun tahu siapa yang memukulku. Hingga akhirnya aku tersadar dan tiba-tiba saja sudah berada di ranjang kamar. Kemudian bapak menghampiri dan memaki-maki karena aku tidur di tengah jalan dalam keadaan mabuk. Sial, malam yang memalukan.
***
Aku merasa Tuhan sedang mengajak bercanda. Dijodohkan dengan lelaki berengsek yang pernah menggodaku beberapa waktu lalu. Aku masih ingat, tangannya yang kasar berani merangkul tanganku saat itu.
Untung saja ada Mas Teguh. Coba ia tidak datang, mungkin sudah hilang diriku ini ditelan lelaki tak punya adab itu.
“Wulan, bagaimana? Kamu menerima kan perjodohan ini?” tanya ibu dengan nada lirih.
Kalau saja bukan karena ibuku yang memaksa menerima perjodohan ini, sudah pasti akan kubunuh lelaki biadab itu.
“Iya, Ibu. Aku menerima.”
“Baguslah kalau begitu.” Ibu terlihat senang. Tapi, seandainya ibu tahu betapa hinanya lelaki itu, pasti ibu tak akan sudi menikahkanku dengannya. Meski, ia terlilit utang segunung pun.
“Ibu beruntung punya anak semata wayang seperti kamu. Punya pengerlian luar biasa kepada Ibu. Seandainya bapakmu masih ada, perjodohan ini pasti tak akan terjadi.”
“Sudah, Bu. Jangan ngomongin Bapak. Biar Bapak tenang di alam sana.”
Sudah lima tahun lamanya bapak mati. Aku harap arwahnya tetap tenang. Semua tahu bapak mati tertabrak mobil. Tabrak lari! Sungguh, aku masih menyimpan dendam kepada seseorang yang telah tega menabrak bapak.
Kalau saja aku menemukannya, pasti sudah aku sumpahi orang itu agar mati menyusul bapak.
***
Malm sudah tiba. Bintang-bintang di langit tampak serasi bersanding dengan rembulan. Mas Teguh sebarusnya sudah datang. Apa ada kendala? Bahkan, saat diriku sudah menghitung jumlah bintang, aku belum menemukan tanda-tanda kedatangannya.
Brum… suara mobil terdengar di halaman rumah. “Lho, Nak Edwin. Silakan masuk. Mau ketemu sama si Wulan ya?”
“Iya, Bu.”
Hah, Edwin! Kenapa laki-laki itu datang ke runah? Sialnya ini bukan waktu yang tepat untuk si berengsek itu datang.
Ibu memanggilku untuk datang ke ruang tamu. Aku berjalan dengan kaki lemas seperti tak bernyawa. Lelaki bernama Edwin itu menunggu di kursi sambil duduk santai. Aku menghampiri lalu bertanya, “Apa kabar?”
“Baik. Kau bagaimana?”
“Baik juga.”
“Aku ke sini ingin mengajakmu keluar. Apa kau mau ikut?”
“Ke mana?”
“Ke taman kota.”
Seharusnya aku menolak ajakannya. Tapi, bagaimanapun ia adalah calon suamiku, di mata ibu. Aku tidak bisa menolak mentah-mentah. Bila dia terhina, aku takut dimarahi babis-babisan oleh ibu. Sungguh apes, malam ini aku sudah janji keluar bersama Mas Teguh.
***
Sambil menyetir mobil, aku memandangi wajah calon istriku. Ia hanya diam. Tampak kegelisahan memayungi wajahnya sejak ia memasuki mobil.
“Kenapa? Kok wajahmu terlihat gelisah seperli itu?”
“Sudahlah, jangan pura-pura tak tahu!”
Tiba-tiba malam cerah bertabur bintang yang serasi dengan bulan berubah seketika. Mendung ditingkahi kilatan petir di kaki langit sebelah timur. Bersamaan itu sifat perempuan di sampingku ikut berubah.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Kau lelaki yang menggodaku malam itu kan?”
Tiba-tiba hujan turun deras. Dingin menusuk. Tapi, percakapan kami memanas.
“Seandainya ibuku tahu kelakuan busukmu, pasti ia tak akan sudi menjodohkanku denganmu!”
“Ya sudah, aku tidak memaksamu. Aku juga tak sudi menikah tanpa dasar cinta.”
“Hah, cinta? Lelaki sepertimu tahu apa tentang cinta?”
Aku terdiam, mematung. Tak kutanggapi kata-katanya.
“Turunkan aku di sini!”
“Jangan! Di luar hujan.”
Wulan masih saja keras hati, memaksa turun. Aku akhirnya menghentikan mobil. Wulan keluar tanpa sepatah kata pun.
Aku banya bisa memandanginya dalam gelap. Hilang ditelan hujan malam. ***
.
.
MOHAMMAD RIZAL FIKRI. Mahasiswa Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir di STAI Al-Fithrab, Surabaya.
.
Perempuan yang Hilang dalam Hujan. Perempuan yang Hilang dalam Hujan. Perempuan yang Hilang dalam Hujan.
.
Leave a Reply