Cerpen Reni Asih Widiyastuti (Fajar Makassar, 23 Januari 2022)
BULAN depan dia ditunjuk oleh atasan untuk menggantikan posisi Ronny—general manager—di perusahaan tempatnya bekerja selama kurang lebih delapan tahun. Sebenarnya perasaannya begitu campur aduk, antara harus senang atau terbebani. Konon, yang terdengar dari “moncong-moncong” mereka, jika berada di posisi itu, tidak akan tahan lama duduk di kursi panasnya.
Entah karena tanggung jawab mengemban tugas yang semakin berat, atau lantaran tak kuat mendengar berbagai cibiran. Tetapi dia tidak mempermasalahkannya. Justru membuat penasaran. Apalagi menurut direktur utama, jika bisa bertahan selama mungkin, dia akan mendapatkan reward khusus. Hal itu sempat ia bahas dengan Reno, seorang manajer penjualan yang baru bergabung di perusahaan seminggu lalu.
“Menurutmu bagaimana, Ren?”
Reno terlihat berpikir keras. Mungkin takut jika salah dalam berucap. Tetapi ia tetap menunggu jawaban dari Reno. Setidaknya ada yang bisa ia jadikan bahan pertimbangan sebelum benar-benar mengambil keputusan besar itu.
“Terserah kau saja, Roy. Itu pilihanmu. Kau harus memutuskan sesuai dengan kata hati. Aku tidak bisa berkata terlalu banyak. Jujur, aku takut salah bicara.”
“Aku menerimanya, Ren. Aku sudah setuju. Tetapi memang belum kuutarakan sekali lagi pada Pak Hendra, direktur utama perusahaan. Kau sudah bertemu dengannya, kan?”
“Sudah, Roy. Dua kali.”
Dua hari sejak pembicaraannya dengan Reno, ia mantap mendatangi Pak Hendra di kantor pusat. Kebetulan sekali beliau tidak sedang menjalani jadwal yang sudah dia gendakan. Maklum, ini adalah hari Sabtu dan hari libur para karyawan. Sebenarnya ia sudah hafal betul kegiatan beliau di hari ini. Hanya, bisa saja mendadak ada keperluan lain, kan?
Pak Hendra mempersilakannya masuk. Ia duduk dengan takzim menghadap pada Pak Hendra. Pak Hendra tersenyum ramah padanya. Namun, senyumnya terkesan berbeda. Ada apa gerangan?
“Ah, Roy. Panjang umur sekali kau.”
“Maksud Bapak? Apa Bapak juga sedang menunggu saya?”
Pak Hendra beranjak dari kursinya dan berjalan melewatinya. Laki-laki yang usianya menginjak delapan puluh tahun itu berpindah tempat. Memilih sofa dan meluruskan punggungnya di sana. Ia pun berbalik badan dan mengikuti Pak Hendra—duduk di sofa.
“Dengarkan baik-baik, Roy.”
“Iya, Pak. Saya akan mendengarkan ucapan Bapak dengan baik.”
“Terkait pemindahan jabatanmu dari staf logistik menjadi general manager, apa kau sudah memikirkannya?”
“Sudah, Pak. Saya bahkan kemari menemui Bapak untuk mengabarkan kalau saya setuju dan mantap jika direkomendasikan sebagai general manager.”
“Tapi sayang, Roy. Aku terpaksa mencabut rekomendasi itu. Kau tetap menjadi staf logistik.”
“Tapi kenapa, Pak? Bukankah surat keputusan sudah keluar dan saya padahal sekarang saya akan menandatanganinya?”
“Ada seseorang yang lebih berkompeten menjadi general manager, Roy. Aku harap kau mau menerima keputusan ini.”
“Ta-tapi, Pak ….”
“Masih banyak yang harus saya selesaikan, Roy. Silakan kau keluar dari ruangan ini. Terima kasih.”
Tiba-tiba tangannya terkepal. Ingin sekali melayangkan pukulan keras pada laki-laki tua bernama Hendra itu. Namun, ia masih mampu meredam amarah. Tanpa membalas perkataan Pak Hendra, ia mengangkat pantat dan meninggalkan ruangan itu. Mendorong pintu dengan kasar. Mengumpat keras di luar. Asu!
Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia terus bepikir keras, siapa gerangan yang telah merebut posisi general manager yang sebenarnya sudah dialamatkan padanya? Ia bertekad akan mencari siapa orang itu!
***
“Selamat pagi, Pak. Wah, selamat ya, Pak. Dari manajer penjualan, sekarang sudah dipercaya jadi general manager!” ucap salah seorang yang membuat telinganya tergelitik.
Seketika ia beranjak dari kursi dan ingin mendengar pembicaraan itu lebih jelas. Betapa kagetnya ia saat mengetahui siapa orang yang telah dipercaya sebagai general manager. Ya, orang itu ternyata Reno. Benar-benar keparat! Dalam hati ia bersumpah akan menyingkirkan Reno dari perusahaan, bagaimanapun caranya.
Sore selepas pulang kerja hari itu, ia tak langsung menuju ke rumah, melainkan menunggu seseorang terlebih dahulu. Ia sengaja berselindung di dapur bekas yang sudah tak terurus. Tempat itu sungguh cocok untuknya demi melancarkan sebuah aksi. Orang yang ditunggu-tunggu tiba. Melenggang dengan santai dan menghampiri motornya. Dengan langkah pelan-pelan, ia memanggil orang itu seraya menyembunyikan sesuatu di balik jaket parasutnya.
Orang itu menoleh dan menyapanya riang.
“Eh, Roy! Seharian ini aku tak melihatmu. Ke mana saja? Kukira kau tidak masuk.”
Tidak ada jawaban dari mulutnya. Ia justru mulai menerjang dan menghunus perut orang itu dengan benda yang digenggamnya sejak tadi—tanpa ampun.
Saat sudah tak berdaya, ia mengangkat tubuh orang itu dan memasukkan ke dalam mobil yang baru dicicilnya beberapa bulan. Saat melewati pos jaga, sekuriti tak menaruh curiga sedikit pun. Di jalan, mayat orang itu dibuang di sungai begitu saja.
Dalam hati tidak masalah, jika suatu saat ia akan ditangkap dan dipenjara. Setidaknya ia telah menyingkirkan orang yang mencoba merebut tahta kuasanya, dengan menduduki kursi panas. ***
.
.
Semarang, Januari 2022
RENI ASIH WIDIYASTUTI kelahiran Semarang, 17 Oktober 1990. Karya-karya alumnus SMK Muhammadiyah 1 Semarang ini telah dimuat di berbagai media.
.
Kursi Panas. Kursi Panas.
.
Leave a Reply