Cerpen, Kompas, T Agus Khaidir

Ihwal Nama Majid Pucuk

Ihwal Nama Majid Pucuk - Cerpen T Agus Khaidir

Ihwal Nama Majid Pucuk ilustrasi Andi Yudha Asfandiyar/Kompas

3.7
(20)

Cerpen T Agus Khaidir (Kompas, 06 Februari 2022)

TIAP kali nama Abdul Majid disebut, orang-orang di kota kecil kami akan menyahutinya dengan satu kata yang diletupkan dengan penuh rasa kesal. Pucuk! Oi… Majid Pucuk!

Sekiranya rajin dan ada luang waktu, bukalah kamus Bahasa Indonesia dan kalian akan menemukannya diterangjelaskan dalam lima arti berbeda. Namun, bukan ini yang kami maksud. Ada ‘Pucuk’ lain. ‘Pucuk’, yang diucapkan sebagai ‘Pucok’, dengan huruf ‘O’ yang tidak betul-betul bulat.

Datanglah ke kota kecil kami, atau ke kota dan daerah-daerah lain di Sumatra Utara, dan kalau kalian mendengar seorang yang diminta mengerjakan sesuatu balik bertanya, ‘jelas pucuknya?’, itu berarti yang bersangkutan sedang ingin memastikan, apakah dari pekerjaan tersebut dia akan mendapatkan uang atau tidak.

Lalu kenapa kata yang sesungguhnya bertendensi kocak ini justru diletupkan dengan rasa kesal, bahkan marah, tiap kali disematkan di belakang nama Abdul Majid?

Kejadiannya belum lama. Adalah Zainuddin Tambi yang jadi mula perkara. Satu hari menjelang asar, akhir Juli 2019, dia mengaku melintas di depan rumah Marjili Samsuri dan melihat Abdul Majid keluar dari pekarangan dengan langkah tergesa. Rumah Zainuddin berselisih empat rumah dari rumah Marjili, sedangkan dengan Abdul Majid persis bermuka-muka, dipisahkan jalan selebar tak lebih dari satu setengah meter.

Waktu itu Zainuddin dan Abdul Majid sedang perang dingin karena semangkuk pulut durian. Sebenarnya tak ada yang istimewa. Pulut durian, seperti sebelumnya anyang pakis, urap, bubur sop, mi gomak, kwetiau, ikan mas arsik, rendang jengkol, petai bakar, kue rasidah, atau minuman-minuman racikan sebangsa bandrek atawa teh susu telur, entah sudah berapa puluh kali dikirimkan dan saling dipertukarkan (tiap mangkuk atau piring atau gelas yang dikembalikan tak pernah dalam keadaan kosong), dan selama ini semuanya memang baik-baik saja. Namun, kali itu berbeda. Pulut durian yang dimasak istri Abdul Majid ternyata apek. Mungkin lantaran beras pulut yang terlalu lama disimpan.

Zainuddin tersinggung dan menyuruh anaknya mengembalikan pulut durian yang baru dicicipnya setengah sendok itu. Istri Abdul Majid, juga Abdul Majid sendiri, datang meminta maaf, tapi Zainuddin, dan terutama istrinya, rupa-rupanya memang betul-betul tersinggung. Belakangan terungkap, istri Zainuddin mengira istri Abdul Majid melakukan pembalasan. Dua hari sebelumnya dia mengirim sekotak lapis legit ke rumah Abdul Majid. Kue itu sudah berjamur di bagian bawahnya. Dia sama sekali tidak tahu, dan baru tahu setelah mendengar istri Abdul Majid berteriak menyuruh anaknya membuang lapis legit tersebut ke tong sampah.

Baca juga  Penyesalan

Sejumlah orang berupaya mendamaikan. Termasuk tentunya Tamsil Kalimaya, kepala lorong kami. Dia mengundang mereka ke rumahnya. Tamsil menyuguhkan gulai kepala ikan kakap dan burung puyuh goreng untuk santapan.

Upaya ini gagal total. Perseteruan justru makin terbelit. Zainuddin Tambi dan Abdul Majid membentuk faksi-faksi, mulai dari pos ronda, hajatan orang kawin, sunatan, bahkan sampai majelis taklim. Begitu pun memang sungguh tak seorang pun dari kami yang menyangka perseteruan ini akan sampai ke kantor polisi. Tuduhannya serius pula. Pasal 170 Ayat 2 KUHP: penganiayaan berat yang menyebabkan kematian.

Begitulah, pada satu hari menjelang asar di akhir Juli 2019 Zainuddin Tambi mengaku melintas di depan rumah Marjili Samsuri dan melihat Abdul Majid keluar dari pekarangan dengan langkah tergesa. Kira-kira dua jam kemudian polisi datang. Anwar Sadat ditemukan mati di parit belakang rumah Marjili. Kepalanya remuk. Dekat mayatnya teronggok sebatang kayu balok berlumur darah.

Anwar Sadat seorang kepala tukang dan dia sedang bekerja membangun loteng di rumah Marjili. Dia akan menggelar kenduri pernikahan anaknya yang sulung, dan untuk urusan seperti ini, orang-orang di kota kecil kami, mau tak mau, harus berurusan dengan Abdul Majid. Ada sekian grup organ tunggal, tetapi memang tidak ada yang lebih aduhai dari Majid Entertainment. Mereka punya tiga unit kibor mutakhir dan sembilan biduan: lima perempuan, tiga laki-laki, dan satu wadam yang mampu menirukan gaya para penyanyi populer.

Undangan sudah disebar. Namun, sampai menjelang hari-H, negosiasi Anwar Sadat dengan Abdul Majid perihal uang sewa kibor belum juga tuntas. Sadat yang memang terkenal kedekut kikir pelit naudzubillah terus menawar demi harga terendah. Padahal, Abdul Majid sudah memberi potongan 50 persen lebih.

Pertanyaannya, mungkinkah Abdul Majid kesal dan kemudian membunuh Anwar Sadat? Sampai di sini warga lorong terbagi dua. Sebagian bilang tak mungkin. Sebagian yang lain bilang mungkin saja. Siapa tahu ada setan kebetulan lewat, bilang mereka. Iya, katakanlah begitu. Namun, apa yang dilakukan Abdul Majid di rumah Marjili Samsuri? Andaikan dia memang berniat membunuh Anwar Sadat, kenapa harus melakukannya di rumah orang lain? Apakah dia tidak bisa menemukan lokasi eksekusi lain yang lebih tersembunyi?

Kami masih riuh mengira-ngira ketika meluncur kabar mengejutkan dari kantor polsek. Abdul Majid babak belur. Sekedipan mata beredar pula foto-fotonya. Alamakjang! Wajah Abdul Majid bengap! Ada dua benjolan nyaris sebesar telur di jidatnya. Pelipisnya pecah, bengkak dan membiru, dan dari hidung serta sudut-sudut bibirnya mengalir darah.

Baca juga  Haji Bangladesh

Segera kami berhambur ke sana. Tamsil Kalimaya, anak istri Abdul Majid, dan tak kurang dua puluh orang lainnya. Tentu, di antara kami tak ada Zainuddin Tambi. Setelah memberi kesaksian lebih lanjut bersama Marjili Samsuri di kantor polisi, Zainuddin pulang dan menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Polisi bilang, Abdul Majid dikeroyok di sel. Namun, kepada kami, pengakuan Abdul Majid sama sekali berbeda. Bukan tahanan yang mengeroyok, katanya berbisik.

Lantas? Abdul Majid, dalam bisik yang lebih lirih, menyebut saat dia diperiksa, sejumlah orang berseragam dan tidak berseragam datang dan memaksanya mengaku membunuh Anwar Sadat. Selain dipukul, ditendang, dia juga disetrum dan jari-jari tangannya dijepitkan ke sela pintu. Ada juga yang mengetuk dengkulnya dengan martil. Apakah mereka polisi? Abdul Majid mengangkat bahu. Mungkin, bisiknya makin lirih.

Istri Abdul Majid meraung. Sejumlah wartawan datang dan sebentar kemudian berita tentang laki-laki yang dipaksa mengaku melakukan pembunuhan beredar. Dan tak perlu menunggu lama pula, bermacam versi berita dengan beragam variasi bumbunya melesat. Identitas Abdul Majid diungkap. Mulai dari pengusaha organ tunggal, sampai sebutan mantan artis yang pernah tampil di TVRI Programa Medan dan terkenal lantaran sering melantunkan lagu-lagu Pance F Pondaag. Juga nama istrinya, nama anaknya, bahkan nama kucing-kucing dan burung peliharaannya.

Polisi yang awalnya berkeras menyebut Abdul Majid sebagai pelaku pembunuhan Anwar Sadat pelan-pelan mulai goyah. Terlebih setelah kami menggelar unjuk rasa. Kami datang ke gedung DPRD kota dan provinsi dan meminta para wakil rakyat itu mendesak polisi melakukan tiga hal: mengeluarkan Abdul Majid dari tahanan, mengungkap pelaku sebenarnya, dan menghukum oknum-oknum yang memaksanya membuat pengakuan palsu.

Pemberitaan di media juga makin kencang. Kapolres ikut berkomentar. Pun Kapolda. Bahkan menteri. Mereka mengecam upaya pengambinghitaman Abdul Majid.

Enam hari kemudian Abdul Majid dibebaskan. Kami bergembira. Istri Abdul Majid membuat syukuran, masak nasi kuning dengan urap, telur, dan ikan asin, dan dibagi-bagikan ke seluruh warga lorong—kecuali ke rumah Zainuddin Tambi dan Marjili Samsuri. Panggung didirikan di depan rumahnya dan ketiga kibor miliknya dikeluarkan sekaligus. Kesembilan biduan kibornya untuk kali pertama tampil berbarengan.

Wartawan juga datang dan di hadapan mereka, Abdul Majid bilang akan mendesak polisi menghukum penganiaya dirinya. Mereka harus dipecat, serunya lantang. Dia juga meminta pelaku sebenarnya, serta orang yang menuduhnya, diseret ke penjara. Kalimat terakhir ini disuarakannya melalui mikrofon dari atas panggung.

Baca juga  Kuda Pirang Montana

Pernyataan Abdul Majid segera jadi berita yang paling banyak dibaca di media-media daring. Ribuan pendapat hinggap di kolom komentar. Rata-rata memberi dukungan. Esoknya, nama Abdul Majid juga bertengger gagah di halaman-halaman depan koran.

Kami merasa bangga, tetapi tidak lama. Kebanggaan runtuh hanya sepekan berselang tatkala kami membaca berita-berita lanjutan yang isinya justru memojokkan dia. Dalam berita disebut Abdul Majid tidak dapat lagi dihubungi. Tidak mau lagi memberi pernyataan. Dia diduga menerima uang damai dari oknum-oknum yang menyiksanya. Tak disebut berapa dalam berita, tapi entah berangkat dari informasi mana, di lorong kami, dan lorong-lorong lain, lenting ucap sela menyela menyebut jumlahnya tiada kurang dari lima ratus juta.

Abdul Majid membantah. Lalu kenapa berhenti? Kenapa tidak menuntut lagi? Dia punya jawaban, tapi tak ada yang percaya. Sejak itu kami menyebutnya Majid Pucuk. Sebutan yang diletupkan dengan nada kesal, dan tetap begitu meski Abdul Majid sudah tak lagi tinggal di lorong kami. Sekitar setengah tahun pascakejadian, dia pindah, menyusul Zainuddin Tambi dan Marjili Samsuri yang angkat kaki tiga bulan sebelumnya.

Terkait pelaku pembunuhan Anwar Sadat sendiri beredar sejumlah nama yang dicurigai. Namun, kami sudah tak lagi peduli. ***

.

.

Medan, 2020-2021

T Agus Khaidir lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 4 Februari 1977. Menulis beberapa puluh cerpen yang sebagian besar telah tersebar dan dimuat di berbagai media cetak, daring, ataupun sejumlah buku antologi bersama. Kini tinggal di Medan sebagai wartawan. Masih memotret, sesekali melukis, mengerjakan desain grafis, membuat sketsa, ilustrasi. Juga masih bermusik, dan tentu saja bermain sepak bola.

Andi Yudha Asfandiyar lahir di Malang, 21 Maret 1966. Kuliah Desain Grafis ITB tahun 1985-1991. Sekarang bekerja di berbagai lini, antara lain sebagai desainer grafik, guru, pelatih berpikir kreatif, ilustrator, dan storyteller. Dia menciptakan karakter kucing Mio. Pendiri PicuPacu Kreativitas! Indonesia, PicuPacu Creative Children Community, serta Institut Drawing Bandung.

.

Ihwal Nama Majid Pucuk. Ihwal Nama Majid Pucuk. Ihwal Nama Majid Pucuk. Ihwal Nama Majid Pucuk.

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 20

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!