Cerpen, Fajar Makassar, M Arif Budiman

Perempuan Misterius

Perempuan Misterius - Cerpen M Arif Budiman

Perempuan Misterius ilustrasi Fajar Makassar

3.3
(6)

Cerpen M Arif Budiman (Fajar Makassar, 06 Februari 2022)

SENJA baru jatuh ke pelukan malam ketika seorang perempuan muda berambut jagung asyik menikmati kopinya. Beberapa kali ia menyeruput kopi yang telah ditumpahkannya ke atas lapik cangkir. Bibirnya yang ranum tampak tenggelam ke dalam hitamnya kopi.

Sepasang mata jahil lelaki kurus diam-diam mengamati perempuan muda dari meja seberang. Sementara Mustar, si penjual kopi yang mengetahui kejadian itu lekas-lekas melemparkan serbet ke pemilik mata.

“Seperti tak pernah lihat orang cantik saja kau ini,” ujar Mustar.

“Ah, kau ini Bang. Tak senang saja lihat kawan lagi senang.”

“Tapi kesenanganmu itu tak boleh berlanjut. Nanti bisa bahaya.”

Lelaki kurus hanya tersenyum mendengar perkataan Mustar.

“Kopi satu, Bang Mustar!”

Tiba-tiba seorang lelaki berbadan kekar memesan kopi dari depan pintu, kemudian ia bergegas masuk setelah melihat perempuan muda. Ia pun segera duduk di samping lelaki kurus.

Tak berapa lama Mustar datang menyuguhkan kopi. “Silakan kopinya, Bang.”

“Terima kasih, Bang Mustar,” jawab lelaki kekar dengan logat Batak-nya yang kental. “Alamak. Punya pelanggan baru kau rupanya, Bang Mustar. Tak ingin kau kenalkan padaku kah?” kelakarnya.

“Ssst… Tak baik bilang begitu dengan tamu baruku. Lebih baik Abang lekas minum kopinya. Nanti keburu dingin.”

Mendengar dirinya tengah dibahas para lelaki di seberang meja, perempuan muda tampak tenang. Ia tak sedikitpun merasa terganggu dengan kegaduhan yang mereka ciptakan. Ia pun kembali membenamkan bibirnya pada lapik cangkir.

“Maaf, Nona. Kami telah mengganggu kenikmatan Nona.”

Perempuan muda tersenyum. Ia mengibaskan tangan kanannya mengisyaratkan bahwa ia sama sekali tak terganggu.

“Terima kasih kalau Nona tak terganggu. Maklum, kami ini orang-orang pinggiran. Terkadang mudah takjub dan heran dengan sesuatu yang dianggap baru.”

Baca juga  Dongeng tentang Pulang

Perempuan muda kembali tersenyum, tapi tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang ranum.

“Apalagi Nona lain daripada yang lain.”

Mendengar perkataan Mustar, perempuan muda mengernyitkan dahi.

“Ah, maksudku. Di antara pelanggan kedaiku ini, Nona-lah yang paling lain. Lagi pula aku baru lihat Nona pertama kali. Dan, Nona, terlihat asing bagi kami.”

“Benar, Bang. Saya memang baru pertama kali datang ke sini.”

“Oh, jadi memang benar. Lalu dari mana asal Nona?” tanya Mustar penasaran.

“Ah, kau ini Bang. Menggoda juga rupanya,” seloroh lelaki berbadan kekar.

“Eh, aku cuma tanya dari mana asalnya. Aku tak menggoda nona ini.”

Perempuan muda tersenyum mendengar percakapan dua lelaki di hadapannya.

“Saya dari Jakarta, Bang.”

“Wah, Jakarta? Mananya Monas, Nona?” ujar lelaki kurus, asal tanya.

“Ah, kau ini sok tahu. Kayak pernah ke Monas saja,” sahut lelaki tambun.

“Lhooo…”

“Lho apa?”

“Lho ya belum,” jawab lelaki kurus. Diikuti tawa seisi kedai.

Mustar menggangguk-angguk. “Sudah lama berada di kota ini, Non?”

“Baru tiga hari, Bang.”

Mustar mengangguk-angguk. “Ah, silakan diteruskan. Aku mau melanjutkan pekerjaan.”

Perempuan muda mengangguk dan senyum kembali mengembang di bibirnya.

***

Perempuan muda masih setia duduk di kedai kopi Mustar. Sudah hampir satu jam ia duduk tanpa gelisah. Kopi di cangkirnya telah tandas. Ia pun memesan kembali segelas kopi. “Nona maniak kopi rupanya,” ujar Mustar sembari menyuguhkan kopi.

“Ah, tidak juga Bang.”

“Kalau tak maniak. Mana mungkin Nona kuat minum hingga dua cangkir kopi. Padahal para pelanggan saya yang tiap hari datang saja tak kuat sampai dua cangkir. Mereka bilang kopi racikanku ini terlalu kuat. Minum satu cangkir saja sudah membuat lambung terasa panas.”

Baca juga  Kriiiingngng!!!

“Ya, tidak sering juga, Bang. Kebetulan aku barista. Jadi sering nyicipin kopi. Tapi kopi Abang memang beda kok.”

“Maksud Nona?”

“Ya beda. Lain daripada yang lain.”

“Bedanya dari segi apa, Nona?”

“Entahlah. Mungkin karena saya menikmati dari pembuatnya langsung.”

“Jadi, Nona jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk menikmati kopiku ini? Wah aku jadi tersanjung.”

Perempuan muda tersenyum. “Entahlah, tapi kenyataannya memang begitu. Terbukti pelanggan kopi Abang begitu banyak.”

“Ah, kupikir hanya kebetulan saja, Nona. Mereka itu orang-orang pinggiran. Sebagian besar nelayan kecil yang menggantungkan hidup dari laut. Hasil yang tak seberapa mereka jual di gudang lelang. Makanya aku membuat kopi sesuai dengan isi kantong mereka.”

“Tapi mereka contoh para penikmat kopi sejati, Bang.”

“Tepatnya budaya, Nona. Kebiasaan kami memang menikmati kopi.”

“Benar juga kata Abang.”

“Oh, iya. Sebenarnya apa yang membuat Nona betah berlama-lama di kedai kopiku ini. Tentu tak hanya sekadar menikmati kopi jika tak memiliki tujuan lain bukan?”

“Ya begitulah, Bang. Terkaan Abang sudah tepat. Saya memang tengah menunggu seseorang.”

“Orang asli sini?”

Perempuan muda mengangguk.

“Laki-laki?”

Perempuan muda kembali mengangguk.

“Apa Nona sudah menghubunginya?”

“Sudah. Tapi sejak kemarin nomornya tak aktif.”

“Maaf, memangnya teman Nona janji bertemu di kedai ini?”

“Saya kira demikian Bang.”

“Maksud Nona?”

“Ya, tentu setelah mendengar dari ceritanya, saya rasa kedai Abang yang dimaksud. Lagi pula di sini pemilik kedai bernama Mustar hanya Abang bukan?”

Mustar mengangguk. “Benar, Nona. Hanya saya yang bernama Mustar di Kampung Cukeng ini.”

“Kalau boleh tahu, siapa nama teman Nona itu?”

“Langit. Banyu Langit namanya. Dia seorang barista.”

Mustar mengernyitkan dahi mendengar nama yang tampak asing di telinganya.

Baca juga  Skripsi Pesanan

“Sepertinya nama itu tak asing. Maaf, apa teman Nona berkacamata, berkumis tipis dan ada tahi lalat di pipi kanan?”

“Benar sekali, Bang. Abang tahu?”

“Ya, kalau memang benar ia orangnya, dua hari yang lalu memang datang ke sini. Tapi seperti pelanggan-pelanggan yang lain. Ia hanya mampir minum kopi. Memang beberapa kali ia pernah datang ke sini. Oh iya, dua hari lalu ada kecelakaan di perempatan depan sana. Aku dengar ciri-cirinya hampir sama seperti teman Nona yang diceritakan tadi. Dia jatuh bersama seorang perempuan yang diboncengnya. Aku sendiri tak tahu persis sebab tak melihatnya langsung. Hanya saja ada beberapa orang yang mampir ke kedai bercerita demikian.”

Perempuan muda hanya terdiam mendengar penjelasan Mustar. Tak sedikitpun di wajahnya tergambar kekagetan. Ia justru kembali menikmati kopi yang disuguhkan Mustar. Hingga tak lama kemudian terdengar bunyi berdenging dari jerangan air di dapur.

“Ah, aku tinggal dulu sebentar, Non. Air sudah masak rupanya.”

Perempuan muda hanya diam, menatap kosong. Mulutnya seperti terkunci rapat. Tak berapa lama Mustar kembali dari dapur, tapi sudah tak mendapati perempuan muda di kedainya. Ia hanya mendapati selembar uang yang ditindih lapik cangkir di atas meja. ***

.

.

M Arif Budiman. Karyanya dimuat di beberapa media massa dan daring. Sekarang menetap di Kudus.

.

Perempuan Misterius. Perempuan Misterius. Perempuan Misterius. Perempuan Misterius.

.

.

Loading

Average rating 3.3 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!