Cerpen AM Lilik Agung (Suara Merdeka, 06 Februari 2022)
Wisnu, 1994
AKU kayuh sepeda menelusuri pematang sawah sepi tiada penghuni. Terik mentari jam satu siang sepulang sekolah, terhalang oleh aneka pohon. Namun seratus meter di depan, muncul bara panas nan menyengat. Tiga anak sebaya diriku, berdiri berjajar di tengah jalan. Mau berbalik, bagiku sudah tanggung. Akan aku lawan tiga anak itu. Mendekat empat puluh meter, tiba-tiba dari arah belakangku ada seseorang mengayuh sepedanya cepat-cepat.
“Tunggu Wisnu!” teriaknya. Aku balikkan kepala. Citra Kamila!
“Kalau berani, satu-satu. Jangan main keroyok!” hardik Citra di hadapan tiga anak. Belum genap kesadaran tiga anak itu atas kehadiran Citra, tiba-tiba sebuah tendangan taekwondo mendarat ke tubuh Burhan. Burhan tersungkur.
Dua temannya, Kuswoyo dan Rahmad, terbengong-bengong atas kejadian yang supercepat ini. Sebelum bersiap membalas, tendangan taekwondo sudah mendarat ke tubuh Kuswoyo.
“Cukup, Citra!” aku berseru ketika Citra mau melanjutkan dengan tendangan keduanya. Kutatap Kuswoyo yang meringis kesakitan. Tergesa-gesa ketiga anak itu berlari meninggalkan kami.
Tubuhku tidak jadi babak-belur. Citra Kamila Putri Cahyadi menjadi penyelamat.
“Ketika dulu tinggal di Cilacap, aku juara taekwondo se-kotamadya,” jawab Citra ketika kutanya perihal tendangan mautnya. Kami lalu bersama bersepeda pulang ke rumah.
Citra tetangga baruku. Dua bulan lalu pindah dari Cilacap. Mengikuti ayahnya yang menjadi dokter puskesmas di kampungku, Karangrejo Kebuman. Dia satu kelas denganku, SMP kelas dua.
“Sore nanti aku main ke rumahmu, Wisnu. Aku mau lihat-lihat penggilingan padi,” ujar Citra ketika ia sudah tiba di rumahnya. Ayahku memiliki usaha penggilingan padi.
Sore itu tiba-tiba aku disergap aneka imajinasi yang bertumpukan. Memutuskan memakai celana pendek atau celana panjang saja, sudah pekerjaan berat bagiku. Apakah ini yang namanya cinta? Yang aku ingat, Citra sore itu datang bercelana jins biru selutut. Berpadu dengan kaus putih bergambar Minnie Mouse.
Tak lebih dua tahun Citra tinggal di kampungku. Ayahnya melanjutkan sekolah kedokteran di UGM sekaligus berkarya di rumah sakit negeri di Jogja. Kaset rekaman These Days-nya Bon Jovi aku berikan sebagai penanda perpisahan. Dan ini yang kemudian aku ingat melewati waktu, menembus batas umur. Citra berpamitan, mencium pipiku. Kubalas, kucium kedua pipinya.
Anggi, 1996
Cara dia memperkenalkan diri sebagai murid baru kelas satu SMA pada sekolah khusus putri di Jogja, unik. Ia berjumpalitan. Mengeluarkan jurus-jurus maut taekwondo. Dan Citra bagiku murid istimewa. Dia jago taekwondo, namun pintar menari Jawa halus. Kesukaannya mendengarkan musik metal, yang bagiku hanya memekakkan telinga. Keistimewaan Citra yang lain adalah solidaritas kepada teman nan tinggi.
Oktober 1997, kami rombongan murid tujuh belas orang mendaki Gunung Merbabu. Setelah melewati sabana, sengaja kami akan berkemah semalam. Cuaca yang pada mula bersahabat, tiba-tiba menjadi gulita. Kami mempercepat mendirikan tenda. Lalu hujan tercurah dari langit. Berlima kami mendekam dalam satu tenda. Alam yang memainkan hujan dan membuat udara dingin nan akut, tiba-tiba menyerang tubuhku. Aku menggigil hebat. Jaket tebal, dua selimut membungkus tubuhku. Tetap tiada bisa menyelamatkan tubuhku.
“Peluk Citra! Peluk diriku!” aku berkata kencang. Dengan sigap Citra memeluk diriku sangat erat. Semalaman aku dipeluk Citra. Tiga teman yang lain mengelilingi diriku. Menjadi benteng agar udara dingin yang sudah terhalang tenda, dicegat oleh tubuh teman-temanku.
“Aku bersama Anggi menunggu di sini. Kalian bisa melanjutkan mendaki,” kata Citra kepada kawan-kawan esok hari ketika mau melanjutkan mendaki Merbabu. Di dalam tenda, ditemani Citra, aku berdialog dengan tubuhku. Mengharap tubuh segera kuat.
Ada awal, muncul akhir. Tiga tahun dalam ceria khas anak SMA, kami lulus. Tersua kabar, ayah Citra mengambil program doktor di Amerika.
“Episode begitu indah, Anggi. Mengenalmu tiga tahun di SMA,” ucap Citra ketika dia berpamitan. Dua novel berat karya James Redfield, The Celestine Prophecy dan The Tenth Insight, diberikan Citra kepadaku. Dia mendekapku sangat erat. Lalu mencium kedua pipiku.
Wisnu, 2019
Wanita itu tetap ayu pada usia tiga puluh delapan tahun. Aku kenal kali pertama ketika aku pindah ke Semarang tahun 2006. Ayah menyuruh diriku membuka kantor perwakilan pemasaran produk-produk pertanian untuk wilayah Semarang. Awal mula hanya empat karyawan, sehingga aku juga harus mengurusi transaksi keuangan. Dari situ aku kenal karyawan bank yang sering melayani diriku; Kiara Anggi. Pacaran dua tahun, kupinang dia. Kami menikah.
“Berangkat dulu,” Anggi berkata ke arahku. Dia mengambil kunci mobil. “Nendra, sana pamit sama ayah,” Anak semata wayangku, SD kelas tiga, berlari ke arahku. Kucium kedua pipinya.
Aku di rumah sendirian, ditinggal anak sekolah dan istri yang sekalian berangkat kerja. Sekarang Anggi sudah menjadi kepala cabang. Hubungan diriku dengan Anggi, normal-normal saja. Mengalir alamiah. Hidup berumah tangga selama sebelas tahun, kami jalani dengan baik.
Hingga akhirnya, semua berubah penuh dinamika. Jika tidak dikendalikan bisa berujung fatal. Dan aku sengaja tidak mengendalikan. Bermula dari kedatangan guru anakku. Tidak seperti biasa, anakku pulang diantar gurunya. Guru yang baru bergabung di sekolah anakku tiga bulan lalu.
“Ada sedikit masalah pada Nendra, makanya aku sengaja mengantar pulang,” kata Bu Guru ketika aku membuka pintu. Aku berdiri terpaku, tiada mampu berucap. Tiba-tiba metabolisme tubuhku tidak sinkron dengan pikiranku.
“Boleh aku masuk?” tanyanya.
“Ya… ya….” aku persilahkan dia masuk. Duduk berhadap-hadapan. Nama guru itu, Citra Kamila Putri Cahyadi. Citra, teman SMP yang sudah dua puluh tiga tahun tiada berjumpa. Aku yang biasa banyak ngomong, hari itu tata kalimat yang aku susun berantakan.
“Anakmu berapa?” kutanya ketika Citra beranjak meninggalkan rumahku.
“Aku masih lajang.”
Aku mendekat ke arah Citra. Tanganku mengangkat dagunya. Kutatap lekat wajahnya. Dan, bibirku mencium lembut kedua pipinya.
Anggi, Desember 2019
Semua menjadi dingin. Wisnu yang biasa murah berbicara, berubah menjadi irit berucap. Meja makan sebagai tempat keluarga bercerita aneka rupa sambil menyantap makan, berubah mirip dengan film hitam putih, tanpa suara. Wisnu baru bergairah berucap apabila Nendra bercerita tentang teman SMA-ku yang menjadi gurunya, Citra.
Wisnu berubah. Suka membawa masalah pekerjaan dalam perbincangan sehari-hari. Sebelas tahun kami menikah, terbangun tembok tebal untuk soal pekerjaan. Aku teramat jarang bercerita tentang kantor. Pun Wisnu, terlampau irit membahas pekerjaan. Perubahan ini membawa konsekuensi yang tidak ringan. Wisnu melampiaskan kekesalan dalam pekerjaan kepadaku. Aku yang tidak biasa berdebat soal pekerjaan, tidak peduli padanya. Ribut tercipta. Prahara terbuka.
“Kamu egois, Wisnu!” aku berseru pada sebuah malam ketika hendak berangkat tidur.
“Kamu yang egois. Jelas suami lagi punya masalah besar, tiada dukungan apa pun!” Wisnu membalas dengan suara lebih keras. “Utang dua minggu lagi jatuh tempo. Aku akan ngemplang dari bank-mu!”
“Silahkan kalau mau ngemplang. Paling disita perusahaanmu,” kutimpali omongannya. Dilumat habis wajahku. Hampir saja tangan Wisnu melayang ke wajahku kalau aku tidak berteriak kencang, “Citra, Wisnu! Semua ini karena Citra!” Tangan Wisnu berhenti di udara.
“Tiga hari lalu ketika kamu mengantar Citra menuju mobilnya, aku lihat kamu mencium Citra. Kamu terlihat bahagia, Wisnu.”
Citra, akhir tahun 2019
Dia tidak mau duduk ketika masuk ke rumahku. Dia penuh emosi. Membawa aneka kemarahan dan semua disemburkan ke arahku.
“Ternyata kamu perempuan tak tahu diri, Citra! Memakan suami orang. Wisnu itu suamiku!” matanya merah menahan tangis. ”Sejak kamu datang ke rumahku, sejak itu juga keluargaku guncang. Kamu cinta pertama Wisnu. Wisnu tergila-gila padamu. Kamu memanfaatkan semua ini, Citra.” Air tumpah dari mata Anggi. “Kamu, murahan!” Anggi membalikkan badan, hendak pulang.
Ketika Anggi baru dua langkah berjalan, aku berseru, “Kamu salah, Anggi!” Anggi menghentikan langkah.
“Aku sering datang ke rumahmu, bukan kangen pada Wisnu. Tapi rindu berjumpa denganmu!” ucapku tegas. Anggi membalikkan tubuh. Kami bersitatap.
“Ketika dulu di gunung Merbabu aku memeluk dirimu, aku menangis bermalam-malam mengingat pelukan itu. Ketika aku berpamitan padamu, mencium dirimu, aku tak bisa menghapus ingatan itu. Aku ingin menciummu. Memelukmu lagi….”
Desember malam hari. Angkasa murung. Hujan lebat turun. ***
.
.
—AM Lilik Agung, trainer dan konsultan SDM. Menulis belasan buku bisnis dan kepemimpinan. Menulis empat buku fiksi. Kumpulan cerpen terbarunya, Manusia Urban (Elexmedia, 2021)
.
.
Publikasikan karya terbaik Anda (puisi atau cerpen) di Suara Merdeka. Naskah dikirim ke email sastrasuaramerdeka@gmail.com. Jangan lupa sertakan nomer ponsel Anda. Panjang naskah sekitar 7.000 karakter. Ditunggu. Terima kasih. (Redaksi)
.
Februari Hujan Deras. Februari Hujan Deras. Februari Hujan Deras. Februari Hujan Deras
.
Leave a Reply