Cerpen Eci FE (Singgalang, 06 Februari 2022)
TEPAT pukul tujuh malam, di tengah hawa panas kompor-kompor yang menyala dan aroma hangat nasi kebuli, Kiran melepas apron putih yang sudah dikenakannya sejak pagi tadi. Pekerjaannya akan dilanjutkan oleh pekerja shif malam.
Hari ini Chef Renald mendapuknya menggantikan Chef Oni yang flu berat untuk menyiapkan kambing bakar guna menyambut rombongan tamu dari Timur Tengah yang akan menginap selama sebulan ke depan. Untunglah Kiran banyak belajar pada Chef Oni sebelumnya. Gadis berlesung pipit itu bisa menyelesaikan tugasnya tanpa cela meski tetap saja jadi sasaran bentakan Chef Renald bersuara menggelegar itu. Hari yang melelahkan, tapi itulah yang ia cari belakangan ini.
Kiran keluar dari hotel bintang empat itu lewat pintu belakang. Sedikit peregangan di tangan, ia lalu memutar-mutar leher hingga terdengar suara kletukan. Bergumul dengan hawa panas dan aroma makanan seharian membuat paruparunya haus akan udara segar.
Kiran menyusuri jalanan lalu menyeberang di perempatan ke arah selatan. Sesampai di bibir jembatan yang mulai menanjak, Kiran berhenti sejenak mengumpulkan sisa-sisa tenaga. Tulang belulangnya bergetar, otot-ototnya mengejang, kapalan di telapak tangannya semakin banyak dan terasa perih. Namun masih bisa ia tahan.
Ditatapnya deretan lampu tiang di sepanjang jembatan yang seperti titik-titik cahaya sambung menyambung menyerupai atap rumah gadang jika dilihat dari kejauhan itu. Ia raih besi teralis pembatas jembatan sembari menumpukan berat badan lalu menyisiri tepiannya bak pesakitan kalah perang. Ia buang pandangan ke luar jembatan. Jauh ke perbatasan langit dan bumi yang kini diselimuti kegelapan. Sesaat serasa melayang tubuhnya di udara. Serasa lapang paru-parunya.
Seseorang pernah bilang, di sanalah lokasi terbaik menyaksikan langit dan bumi saling bertaut di ujung lautan. Dan di kota ini tempat terindah itu bernama jembatan Siti Nurbaya, di mana sungai Batang Harau bermuara ke samudra Hindia. Penghubung antara kota tua dan perbukitan gunung padang yang konon menjadi tempat persemayaman terakhir sang legenda Siti Nurbaya.
“Bukannya bagus jika kuburan itu memang nyata? Akan banyak wisatawan datang menziarahinya. Tak ada ruginya. Malah menguntungkan buat pekerja hotel sepertimu,” ujar lelaki itu ketika Kiran meragukan kebenarannya.
Langkahnya terhenti begitu sampai di tengah-tengah, titik tertinggi jembatan Siti Nurbaya. Sayup-sayup telinganya menangkap suara, bukan gemericik air sungai Batang Harau yang dilalui kapal nelayan di kolong jembatan. Juga bukan desau angin yang menyerbu dari arah lautan.
“Ah, aku lapar sekali,” gumam gadis berambut kepang itu tersenyum meraba perut datarnya yang kian cekung.
Kiran mengingat-ingat kapan terakhir kali ia mengisi perut. Tadi pagi ia hanya sempat sarapan dua keping biskuit keju di kamar kontrakannya. Lalu siang tadi ia hanya makan wafer coklat dari saku celana sambil berjongkok di balik meja stasiunnya menunggui kambing bakarnya matang. Selain itu ia hanya sibuk bekerja bak prajurit dalam medan tempur. Berlarian menyambut bahan baku tambahan lalu buru-buru mengangkutnya ke ruang penyimpanan. Membantu menata hidangan tanpa sempat menyicipi seperti apa rasanya.
“Kamu kerja di dapur penuh masakan lezat, kenapa bisa kelaparan begini, sih?” tanya pria itu suatu senja.
Kiran tak menjawab, hanya menghadirkan segaris senyum di tengah kesibukan menyantap sate padang kesukaannya. Rahasia dapurnya cukup hanya ia dan rekan-rekannya saja yang tahu, begitu prinsipnya senatiasa. Bahkan ketika sang ibu rindu mencicipi makanan lezat dari dapur hotelnya, Kiran malah sengaja memesan menu dari restoran lain sepulang ia bekerja. Lalu ia suguhkan ke hadapan ibunya seolah itu hasil masakannya sendiri. Tak sesuap pun sisa makanan dapur pernah dibawanya pulang.
“Tumben datangnya malam, Nak?” sambut bapak di balik tungku jagung bakar di atas trotoar jembatan.
Kiran biasanya selalu datang menjelang senja turun. Menyaksikan matahari tenggelam di lautan, memesan jagung bakar, lalu pulang sebelum malam benar-benar datang.
“Sedang ramai tamu, Pak,” sahut Kiran menepi ke teralis jembatan, menyandarkan badan di bawah siraman lampu jalan kekuningan.
“Ohh, ya ya ya. Sekarang kan musim liburan, tentu banyak turis yang datang,” sambung pak tua mengangguk-angguk.
“Dua bonggol, ya, Pak. Sama satenya sekalian, deh,” pesan Kiran pada pelapak tua itu.
Kiran tak tahan menghirup asap tungku sate yang semakin disiram minyak bawang, semakin mengepul asap gurihnya memancing lapar.
“Seperti biasa, kan? Jagung bakarnya pedas, menteganya agak banyak?” tanya lelaki gaek itu hafal betul selera langganannya.
“Hehe, iya. Oh ya, satenya dobel ketupat. Sama es teh manisnya juga, ya, Pak, Bu,” sambung Kiran menunjuk ke gerobak sate di sebelah pak tua.
“Baik, Bapak siapkan segera, silakan duduk dulu. Capai sekali nampaknya Nak Kiran hari ini,” sahut bapak berambut perak itu lantas meraih kaleng mentega lalu mengoleskan ke bonggol jagung di perapian.
Kiran meraih kursi santai plastik warna hijau yang sengaja disiapkan di atas trotoar jembatan yang lumayan lebar itu. Ia hempaskan badan, membiarkan tubuhnya terkulai dengan kepala menengadah ke langit malam. Membiarkan terpaan angin lembut dari sela jeruji jembatan meniup-niup wajahnya. Ia picingkan matanya yang silau oleh lampu jalan. Sayup-sayup gemericik air di kolong jembatan berganti dengan suara ibunya.
“Ibu lebih senang kamu kerja di sini, Ran. Ndak apa-apa gajinya kecil, yang penting kita bisa ngumpul,” ucap perempuan itu suatu siang.
“Tapi, Bu, di sana aku bisa cepat berkembang. Aku ndak mau cuma jadi pengupas bawang saja. Aku mau maju, Bu. Lagian di sana kan ada Uda Bahri. Sebentar lagi jadi mantu Ibu,” rayu perempuan manis itu memijat pundak ibunya.
“Ya, sudah. Tapi kamu harus sering-sering pulang, Nak, jenguk ibu. Anak ibu cuma kamu dan kakakmu,” pesan sang ibu akhirnya mengalah.
“Iya, pasti!”
“Ibu titipkan Kiran pada Nak Bahri. Jaga putri Ibu baik-baik, yo?” pinta sang ibu dijawab anggukan tegas lelaki itu.
Setahun berlalu, Kiran tak juga sempat pulang ke pulau seberang. Hanya lewat sambungan telepon di akhir minggu jadi pelepas rindu pada sang ibu. Itu pun jarang Kiran lakukan. Ia terlalu sibuk bekerja dan menghabiskan waktu senggangnya dengan Bahri. Hingga suatu senja Kiran kalang kabut karena telat mengangkat telepon yang mengabarkan kondisi sang ibu yang mendadak koma. Kiran akhirnya pulang dan mendapati kelopak mata sang ibu telah terpejam untuk selamanya.
“Nak? Nak?!” panggil sebuah suara.
Koki muda itu tersentak. Ia usap-usap matanya yang memerah.
“Ondeh mandeh…, tidurnya pulas betul. Jagung bakarnya sudah dingin. Apa mau Bapak panaskan kembali?” tanya pak tua menunjuk dua bonggol jagung bakar pedas di atas meja plastik di hadapan Kiran.
“Satenya juga belum Ibu siapkan. Tidurmu pulas, kasian kalau dibangungkan. Apa mau Ibu buatkan sekarang?” tawar istri pak tua, ramah.
“Oh, ndak usah, Pak, Bu. Dibungkus saja, deh,” usul Kiran mengusap-usap wajah.
Kedua pemilik lapak itu sibuk berkemas. Kiran mengecek jam tangannya yang menunjuk angka sepuluh malam. Sudah selama itu ia tertidur, pikirnya heran. Tenaganya kembali pulih. Ia beranjak ke pinggir jembatan. Menatap kerlap kerlip lampu kapal di lautan. Menatap keheningan malam kota Padang. Di perbatasan langit dan bumi itu Kiran memejam mata. Berkali-kali menghela napas panjang dan membuangnya ke lautan. Ucapan pak tua kemaren lusa terngiang kembali di benaknya.
“Nak Bahri kemari membawa istrinya,” lapor pak tua hati-hati, “Tapi istrinya itu tak suka lama-lama di sini. Berdebu, banyak polusi, katanya. Nak Bahri bilang beliau itu benci sekali pada kisah Siti Nurbaya. Menyesal. Berkali-kali ia ucapkan itu pada Bapak.”
Perempuan manis berkulit sawo matang itu menunduk dalam ke kegelapan sungai Batang Harau di kolong jembatan. Bahri lelaki yang baik, penyanyang keluarga. Itulah yang membuat Kiran yakin menerimanya dulu. Namun sisi baik itu juga yang akhirnya membuat Kiran terluka. Ibunda Bahri tak mau menerima kehadiran Kiran. Ia sudah punya calon sendiri untuk anak kesayangannya itu, perempuan dari kalangan berada. Dan Bahri tak berdaya menolak kehendak ibunya.
Di pagar jembatan Siti Nurbaya, Kiran menghirup napas dalam-dalam. Mengedarkan pandangan ke sekeliling berulang-ulang. Pada jejeran lapak jagung bakar, pada sesama pelanggan lapak pinggir jalan, pada hamparan tebing gunung padang, seakan tak mau membiarkan satu sudut pun lepas dari rekaman bola matanya. Puas menikmati pemandangan di atas jembatan, Kiran menghampiri pak tua dan istrinya.
“Pak, Bu, besok saya ndak akan ke sini lagi,” ucapnya memaksakan tersenyum.
“Lho, Nak Kiran mau ke mana?” tanya pak tua membalik badan.
“Saya mau pulang kampung. Mau bangun bisnis katering kecil-kecilan sama kakak saya,” jawab Kirain teringat obrolan dengan kakaknya sebulan lalu tentang impian sang ibu.
Pasangan gaek itu terdiam dan menatap Kiran lama. Tak banyak yang datang membeli dagangan mereka. Hanya Kiran dan Bahri selama ini yang mau jadi langganan setianya. Bahri mulai jarang datang. Dan kini giliran Kiran yang akan pergi selamanya. Ada yang menggumpal di dasar hati pak tua menatap perempuan muda yang sudah seperti kerabatnya sendiri itu.
“Bapak tau kamu kuat, Nak. Ikhlaskan saja dia,” ucap pak tua, mendadak serak suaranya.
Kiran tak kuat menyahut. Selain rekan kerja dan teman satu kos-kosan, hanya pak tua dan istrinya yang berkesan di hatinya.
“Makasi untuk semuanya, Pak, Bu. Sehat-sehat, ya? Saya pamit,” ucap Kiran berlalu, tak sanggup menatap ke belakang lagi.
Dari puncak jembatan Siti Nurbaya, Kiran berlari meninggalkan batas langit dan bumi. Meninggalkan keraguan untuk menapaki kenyataan. ***
.
Perempuan di Atas Jembatan. Perempuan di Atas Jembatan. Perempuan di Atas Jembatan. Perempuan di Atas Jembatan
.
Leave a Reply