Beni Abu Bakar, Cerpen, Pontianak Post

Buah dari Kesabaran

Buah dari Kesabaran - Cerpen Beni Abu Bakar

Buah dari Kesabaran ilustrasi Kekes/Pontianak Post

5
(2)

Cerpen Beni Abu Bakar (Pontianak Post, 06 Februari 2022)

SIAPA yang tak menginginkan rumah idaman ketika telah menikah. Tinggal berdua hanya bersama suami. Membangun rumah tangga meski sederhana, namun terbebas dari campur tangan sepenuhnya oleh mertua. Namun, bagiku hal ini masih dirasa sangat sulit. Sudah hampir lima tahun aku menikah bersama Mas Pandi, kami masih saja betah tinggal bersama mertuaku—yang sudah kupanggil Ibu. Tidak lain orang yang sudah melahirkan suamiku, Mas Pandi.

Tapi bukan berarti Mas Pandi tidak mampu untuk membeli rumah untuk kami tinggali berdua. Namun suatu hal terjadi, ayah Mas Pandi sudah lebih dulu dipanggil Tuhan. Jadi tidak mungkin kami tinggal di rumah yang berbeda. Nanti Ibu tinggal sendirian. Sedangkan aku nanti kena ketumpuan dikarenakan memaksakan kami meninggalkan rumah Mas Pandi itu semata-mata ingin pisah dari Ibu.

Itulah yang membuat kami masih tetap bertahan di rumah ini. Rumah peninggalan ayah Mas Pandi. Meskipun dengan berat hati aku pun harus tetap tinggal satu rumah bersama Ibu. Seperti kata Mas Pandi suatu hari saat aku membatalkan untuk pindah. Mas Pandi mengatakan, “Semua aku lakukan semata-mata untuk menjaga dan menemani Ibu di sisa-sisa akhir hidupnya.”

Sesekali aku berusaha untuk membujuk Mas Pandi agar mau tinggal berdua saja di rumah yang berbeda dengan Ibu. Tapi Mas Pandi selalu saja punya alasan kuat yang menurutku tidak bisa untuk dibantah. Padahal Mas Pandi tahu betul bagaimana hubunganku dengan Ibu itu. Setelah dua tahun kepergian ayah Mas Pandi, kondisi Ibu menjadi agak kurang sehat. Emosinya kadang mulai tidak stabil. Suka marah-marah tidak jelas.

Bila Mas Pandi pagi-pagi sekali sudah berangkat kerja, tinggallah aku dan Ibu yang hanya tinggal berdua di rumah. Tinggallah aku yang selalu menjadi pelampiasan kemarahan oleh perempuan paruh baya itu. Melihat kondisinya yang seperti itu, aku berusaha untuk selalu bersabar menyikapi segala perlakuannya yang memang terkadang menimbulkan tekanan batin.

Pikirku saat itu, kemarahan Ibu bukan karena tidak suka denganku tetapi karena depresi yang berlebihan. Sejak ayah Mas Pandi meninggal dunia, kurang lebih setahun yang lalu, selama itu juga aku harus bersabar dalam menghadapi sikap Ibu. Sungguh hatiku ini tidaklah terbuat dari baja yang tahan bantingan. Hatiku hanya berbentuk seonggok daging yang lembut dan sewaktu-waktu bisa saja tergores dan tidak tahan akan kemarahan Ibu. Hal ini juga yang kadang membuatku bersikap seperti anak kecil dihadapan Mas Pandi; merengek minta pindah rumah dan tinggal hanya berdua dengannya. Berlainan rumah dengan ibu agar tidak lagi mendengar ucapan-ucapan lisannya yang bisa memancing kekesalan hatiku.

Baca juga  Dua Garis Merah

Bukan maksudku untuk tidak menghargainya sebagai ibu mertua. Tapi setiap kali aku melakukan satu hal, selalu saja salah di matanya. Pernah suatu hari, ketika kami sekeluarga sedang menikmati makan malam bersama, tiba-tiba Ibu mengeluarkan kata-kata yang tak pernah kuduga selama ini.

“Masakan apa ini, rasanya hambar. Padahal asam pedas ikan kakap ini adalah masakan kegemaran Ibu, tapi sayang istrimu tak pandai cara memasaknya biar enak,” ucap Ibu sambil meludahkan makanan itu di depanku.

Hal ini sontak membuatku merasa tidak nyaman dengan Mas Pandi. Padahal tadi ketika kukecap rasa gulainya, menurutku itu adalah masakan terbaik yang pernah kumasak. Tapi sayang, tak sedikitpun Ibu menghargainya.

Mas Pandi dengan sangat sabar mengatakan “Masakan ini sangat enak kok, Bu. Rasa kuahnya enak sekali. Daging ikannya sangat gurih.” Mas Pandi selalu saja mengeluarkan kata-kata pujian yang kadang membuatku tetap merasa nyaman berada di rumah ini, meskipun harus tinggal bersamaan dengan ibu.

Mendengar ucapan Mas Pandi, Ibu langsung beranjak dari meja makan. Tanpa sepatah katapun ia langsung meninggalkan kami berdua.

“Mas, maafkan Sinta, kalau belum bisa menjadi menantu yang baik bagi Ibu,” ucapku agak sedikit khawatir.

“Tidak apa-apa, Sinta. Mas yakin nanti Ibu pasti akan sadar bahwa Sinta adalah menantu yang tak pantas untuk diabaikan,” ucap Mas Pandi selalu saja menjadi penyemangat bagiku.

Tanpa menghiraukan Ibu yang sedari tadi sudah pergi ke kamar tidurnya, aku dan Mas Pandi segera menghabiskan makan malam kami. Mas Pandi makan dengan sangat lahap sekali. Kepala ikan kakap asam pedas yang kuhidangkan di meja, kini hanya tinggal tulangnya saja. Kuahnya pun habis diseruput oleh Mas Pandi. Di balik masalah yang selalu kualami ketika aku bersama ibu, Mas Pandilah yang selalu menjadi alasan untukku tetap bertahan berada di rumah ini, meskipun terkadang sesekali aku harus makan hati dengan segala perlakuan Ibu kepadaku.

***

Sore ini, sebelum Mas Pandi pulang dari kantornya, aku sengaja pergi ke Waterfront yang letaknya tida jauh dari rumah. Waterfront adalah salah satu tempat rekreasi yang terletak di tepi Sungai Kapuas dan selalu ramai dikunjungi oleh warga Pontianak pada saat matahari perlahan mulai tenggelam di ufuk barat. Di sini, kita bisa menyaksikan keindahan senja dari tepi sungai sambil melihat bangunan-bangunan dan pemukiman warga yang berada tepat di tepi Sungai Kapuas.

Baca juga  Perbincangan setelah Magrib

Bagi yang mempunyai anak kecil, Waterfront tempat yang cocok untuk memanjakan anak-anaknya, karena di sini disediakan berbagai wahana permainan untuk anak maupun orang dewasa. Skuter listrik, motor listrik, becak mini, mobil remote dan masih banyak lagi permainan lainnya yang disediakan di sini. Pastinya mampu melahirkan kesenangan bagi orang-orang yang memainkannya. Selain wahana permainan, di sini juga banyak orang-orang yang berjualan, mulai dari makanan ringan, cemilan, dan berbagai jenis makanan berat banyak tersedia di sini.

Kali ini aku lebih memilih mencari tempat duduk yang sepi dari keramaian. Menatap air Sungai Kapuas yang mulai memantulkan cahaya jingga sang surya tepat di bawah tol kapuas yang panjangnya sekitar 420 meter dengan lebar 6 meter. Berusaha menenangkan pikiran dan perasaan yang hampir menyerah dalam lelah menghadapi sikap ibu mas Pandi kepadaku. Aku berharap setelah pulang dari sini, pikiran dan perasaanku bisa lebih tenang dan Ibu kondisinya mulai membaik.

***

Setelah makan malam, aku selalu menyempatkan untuk bertukar pikiran dengan Mas Pandi. Mencari cara bagaimana agar kondisi Ibu bisa lebih baik. Ceria, supel, dan selalu ramah sama seperti waktu dulu ketika ayah Mas Pandi masih hidup.

“Mas, kondisi Ibu sekarang semakin parah. Bagaimana kalau kita carikan saja psikiater terdekat yang ada di kota ini?” tanyaku pada Mas Pandi yang sedang meneguk minumannya. “Siapa tahu dengan bantuan dari psikiater, ibu bisa lebih sehat,” sambungku tanpa memberikan kesempatan pada Mas Pandi untuk menjawab pertanyaanku tadi.

“Mas setuju, Sinta. Sebenarnya sudah lama Mas berencana untuk membawa Ibu pergi berobat. Tapi karena kesibukan Mas di kantor, banyaknya pekerjaan-pekerjaan yang memaksa Mas untuk selalu lembur. Mas sangat lelah dan tidak punya waktu untuk pergi mengantar Ibu berobat. Mas juga tidak mau menyuruh Sinta pergi sendiri untuk mengantar Ibu. Pasti Sinta maunya pergi bersama-sama Mas, kan?” ucap Mas Pandi agak sedikit menggodaku.

Baca juga  Balap

“Mulai besok, Mas akan ambil cuti kerja di kantor. Besok juga kita akan membawa Ibu pergi ke psikiater. Semoga usaha kita segera membuahkan hasil,” Mas Pandi sangat berharap akan kesembuhan Ibu.

***

Aku dan Mas Pandi tiap bulan membawa Ibu ke psikiater terdekat. Kami berharap setelah ditangani oleh dokter spesialis kejiwaan, perlahan kondisi Ibu mulai membaik dan bisa sehat sepenuhnya. Selain berikhtiar melakukan pengobatan Ibu, kami juga selalu berdoa pada waktu-waktu mustajab untuk meminta kesembuhan Ibu pada Sang Kuasa. Karena memang kita sebagai manusia hanya mampu berusaha, dan segala keputusan terletak di tangan Allah.

Setelah rutin berobat, dan pastinya di tangani oleh dokter psikiater, perlahan kondisi Ibu mulai membaik. Tidak sampai lima bulan berobat, Ibu kami sudah dinyatakan sembuh total. Hal ini juga kurasakan sendiri ketika berada di rumah bersama Ibu. Biasanya Ibu suka marah-marah tidak jelas, sekarang lebih ramah dan selalu ceria. Kami saling bekerjasama dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Tidak pernah sama sekali kami berselisih paham. Sekarang Ibu juga lebih ikhlas dan rida dengan kepergian suaminya; ayah Mas Pandi.

Kebahagiaan yang kurasa tak cukup sampai di sini. Selain kemesraan yang baru saja kutemukan kembali dari seorang ibu mertua setelah bertahun harus bersabar menghadapi sikap kasarnya, tepat di ulang tahun pernikahan kami yang kelima, tanpa sepengetahuanku Mas Pandi dan Ibu telah mempersiapkan segala perlengkapan untuk kami berangkat umrah ke tanah suci Mekah. Hadiah terindah yang tak pernah kuduga selama ini.

Allah memang Mahatahu segala hal yang menjadi keinginan hambanya meskipun hanya terungkap dalam hati. Di balik setiap musibah; masalah yang kita hadapi, Allah telah menjanjikan hadiah terindah bagi orang-orang yang sabar dalam menghadapinya. Kubuang jauh-jauh anganku untuk meminta Mas Pandi agar bisa membelikan rumah baru. Di sini, di rumah Mas Pandi dan ibu mertuaku, kutemukan hadiah terindah dan tempat ternyaman untukku menebar bakti sebagai istri dan menantu yang baik. ***

.

Buah dari Kesabaran. Buah dari Kesabaran. Buah dari Kesabaran. Buah dari Kesabaran. Buah dari Kesabaran.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. mantap mas Pandi, yang ada dikampung PGSD

Leave a Reply

error: Content is protected !!