Cerpen Eko Triono (Kedaulatan Rakyat, 31 Desember 2021)
JAJA PRIBADI mengumpulkan dua puluh enam pemuda, membiayai mereka buat mendirikan panggung; lengkap dengan pengeras suara, spanduk, poster, dan, yang paling mencolok, dua ribu empat belas balon merah hati yang diikat tali putih dengan daun-daun hijau imitasi.
Ia bukan orang pertama yang melakukannya. Namun, ia satu-satunya yang berani menyatakan dalam pidatonya, yang puitis, menggebu, dan setengah berahi itu, dengan pernyataan deklarasi yang nekat kebangetan, “Hanya ada dua pilihan, menikah dengan Kirana atau mati!”
***
Kirana tidak lahir di kota itu, tidak pula turun dari langit bersama hujan. Kecantikannya, yang tak memiliki bandingan dalam ingatan penduduk, membuat orang rela membayar hanya demi mampu melihat wajahnya, dan beberapa mengakibatkan efek samping; perceraian, pembunuhan, dan mimpi yang pilu.
Nelayan Tua Yus menemukannya dalam perahu pecah bersama gulungan ombak November. Dia sempat ragu. Dia memastikan tak ada sisik atau sirip atau tanda pisces lain dalam tubuh Kirana.
“Katakan sesuatu,” pinta Nelayan Tua Yus dengan isyarat mulut bicara.
Kirana mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami. Seorang pemuda berlari memberi tahu orang-orang kota kecil tentang suara asing.
“Apa itu bahasa ikan duyung?” Tanya Nelayan Tua Yus.
Kirana bicara lagi. Tetap tidak dipahami.
“Atau bahasa para bidadari?”
“Itu bahasa Arab!” Kyai Abas berkata dari arah masuknya.
Kemudian dia berbicara dengan Kirana. Tidak ada yang diingat oleh Kirana kecuali sesuatu yang kacau seperti ledakan bom, tembakan, teriakan, naik perahu, terombang-ambing, dan cahaya putih dari laut. Hanya dalam setahun, Kirana sudah bisa komunikasi biasa dengan penduduk kota kecil di pelabuhan yang mulai terpikat.
***
Sejak Juli, sejak Nelayan Tua Yus mengumumkan akan mencari jodoh, pemuda-pemuda paling nekat, orang-orang kaya paling rakus, dan orang-orang iseng berlomba-lomba mendeklarasikan diri sebagai calon suami Kirana. Sementara keputusan terpilih baru akan diberikan enam bulan lagi.
Dalam waktu singkat, penduduk kota kecil itu dibanjiri uang, makanan, dan minuman yang tak terbayangkan. Orang-orang dari banyak tempat datang membagi-bagikan uang untuk menarik perhatian, minta dukungan agar Kirana memilih seorang dari mereka. Alun-alun kota sibuk.
Penginapan-penginapan penuh kamarnya dan, sekarang, di salah satu kamar penginapan lantai empat, seorang penembak jitu sedang mengincar kepala Jaja Pribadi yang sedang pidato dengan sombongnya. Dan penembak itu adalah aku. ***
.
.
(2021)
*) Eko Triono. Kumpulan cerpennya, ‘Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon?’ (2016), merupakan pemenang penghargaan kategori sastra Indonesia dari Balai Bahasa DIY (2017).
.
Deklarasi
Leave a Reply