Oleh Meilisa Dwi Ervinda (Kedaulatan Rakyat, 08 Februari 2022)
KISAH yang memiliki dialog antartokoh yang cerdik, kocak, sekaligus mengguncang iman ini seperti mengajak kita mengintip cerita seru dari hal tabu. Dari awal hingga akhir, karya ini kaya akan balutan bahasa indah, memukau, sekaligus candu.
Karya sastra sebagai cerminan realitas sosial dapat menelisik kembali apa yang terjadi pada fenomena sekitar. Seperti halnya novel yang memberikan pandangan baru pada pembacanya dengan berbagai pesan yang ingin disampaikan. Royyan Julian hadir dengan kekayaan pandangan baru tentang seorang anak kiai atau biasa dikenal dengan ‘Gus’ ternyata memiliki kehidupan tidak sesederhana itu.
‘Pendosa yang Saleh’ mengisahkan seorang pemuda bernama Mubarak. Anak dari kiai dan pemilik pesantren ini memiliki sisi lain yang seakan disembunyikan. Ia menyadari dirinya sebagai seorang pedofil dan memilih kuliah di Pameling demi menghindari anak-anak.
Ya, dari novel ini kita dapat mengintip bagaimana seorang pedofil mengendalikan dan memuntahkan hasratnya.
Setiap bab dalam novel ini mampu menghipnotis pembaca dari tokoh Mubarak beserta tokoh lain yakni teman, pacar, dan murid bimbingan belajarnya ini melalui berbagai sisi ketidaklaziman yang kian mencekam.
Ada tujuh bab, di antaranya ‘Wildan Mukhallad’, ‘Timun Mas’, ‘Bukit Kerubim’, ‘Barney & Friends’, ‘Peniup Seruling dari Hamelin’, ‘Gadis Kecil Bertudung Merah’, dan ‘Hansel & Gretel’.
.
Judul : Pendosa yang Saleh
Penulis : Royyan Julian
Penerbit : Cantrik Pustaka
Cetakan : Pertama, 2021
Tebal : 128 halaman
ISBN : 978-602-0708-97-3
.
Sekilas masing-masing bab lekat dengan anak-anak karena menampilkan judul cerita anak, namun siapa sangka Royyan Julian justru mendekonstruksi cerita anak ke dalam pandangan baru fantasi seorang pedofil apabila bersinggungan dengan anak.
Rasa cinta dan sayang pada bocah bernama Barabas (adik dari pacarnya) inilah yang membungkus penyebab awal Mubarak jatuh dalam nasib nahas, ke bukit tengkorak yang menyengsarakan. (hal 94)
Paradoks juga hadir dari judul novel, ‘Pendosa yang Saleh’. Pembaca seakan merdeka dalam menciptakan horizon sendiri sebelum menjelajahi tiap lembar kisahnya.
Lebih jauh lagi, konsep dari seorang ‘pendosa’ dan ‘kesalehan’ mengukir tiap kisah, antara seorang anak kiai yang melepaskan pesantren demi menghindari anak-anak dan tindak tabu, antara seorang pemimpin ormas yang mencopot atribut keulamaannya demi ongkang-ongkang kebutuhan pemuas birahi di hotel murahan, namun berteriak antikemaksiatan.
Novel ini mengajak pembaca mendiskusikan hal-hal sensitif, seperti agama, seksualitas, pernikahan, ormas, dan berbagai pemikiran lainnya.
‘Pendosa yang Saleh’ tidak memandang latar belakang seseorang, hanya saja mensyaratkan bagi seseorang yang mau diajak berpikir dan merayakan pikirannya.
Selamat membaca. ***
.
.
*) Meilisa Dwi Ervinda, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga.
.
.
Leave a Reply