Cerpen Nisrina Zakia Khalel (Republika, 20 Februari 2022)
TANGGA KE-1
Ibu-ibu yang hendak pulang selepas mencuci di tepian sungai, berjalan terburu-buru sambil memeluk ember hasil cucian dan sesekali terdengar meneriaki anak-anaknya yang berlarian nakal di jalanan. Langit mulai memudar, burung-burung ribut kembali ke sangkarnya.
Aku memperlambat langkah saat menginjak tangga pertama surau ini. Lumut tampak menebal pada sudut-sudut tangga, senang tak dibersihkan. Tahun ini, 2021, setelah sekian lama tak mengunjungi surau. Akhirnya, aku kembali berdiri di sini sambil menyaksikan kenangan yang menyeruak kembali.
Akan kuceritakan padamu kawan, sebuah kisah lama dan benar adanya. Tentang anak-anak kampung di surau 64 tangga, tempat semua cerita ini berawal.
***
“Salju turun! Salju turun!”
Kami berteriak girang, saat bunga putih Tectona grandis yang putih dan kecil sekali, jatuh terenggut dari dahannya bak kepingan salju. Aku bersama anak perempuan lainnya berebutan menyambut ‘salju’ sebelum jatuh menyentuh tanah.
Sama halnya dengan pohon jati yang tidak kesulitan tumbuh meskipun dengan sedikit air. Kami pun begitu, tak perlu pusing untuk membeli aneka mainan, cukup dengan tertawa bersama di sela pepohonan, membuat kami merasa bahagia. Itulah hidup yang menikmati keterbatasan. Sederhana.
“Dapat salju berapa?” Aku bertanya kepada Aci, teman masa kecilku.
“Tidak banyak.” Aci menjawab sambil terus memandangi mobil biru tua. Mobil itu terparkir di halaman rumah lama tak berpenghuni.
“Apa mungkin pemilik rumahnya pulang?” Aku kembali bertanya, Aci memalingkan pandangannya dari rumah itu, melihat ke arahku dan mengangkat bahunya. Kira-kira maksudnya ‘entahlah’. Lalu, tampak seorang bapak keluar dari rumah tersebut, berdiri di depan pintu. Beliau berperawakan kekar dengan janggut tebal di wajahnya.
Aku kembali melihat ke arah teman-teman yang tengah mendongakkan kepala mengamati pohon jati sambil memohon kumbang-kumbang usil menjatuhkan bunga, entah dengan mantra apa. Tak berselang lama, hujan turun deras sekali, seperti air bah yang tumpah dari langit, membentuk tirai-tirai bulir air jika kalian lihat dari tempat yang teduh.
“Rin, tunggu!”Aci berteriak berlari menyamaiku yang lebih awal bermandikan hujan.
Hanya ada aku dan Aci sore itu, yang lain dipanggil ibunya untuk balik ke rumah selepas bermain ‘salju’. Kami berteriak tak jelas sambil menatap langit atau bahkan berguling-guling di jalanan, membiarkan hujan membasahi tubuh kami. Semua kakak laki-lakiku sore itu aneh, sibuk bergegas ke rumah tua yang aku dan Aci bicarakan tadi. Aku kira mereka tidak akan tahan melihat hujan yang begitu lebat. Biasanya mereka selalu senang bermain bola sambil hujan-hujanan.
Aku baru tau lusanya, saat Maknima (emaknya uni [1] Ima) datang di rumah membawa perintah. Menyuruhku dan anak perempuan lainnya ikut belajar mengaji di surau. Dua hari yang lalu, anak lelaki telah duluan belajar mengaji di rumah Bapak yang aku dan Aci bicarakan. Pasal itulah yang membuat mereka rela melewatkan kesempatan mandi hujan sore itu. Aku sempat melihat mereka pulang sambil makan kue-kue kering. Mereka pasang muka masam semalaman, membuatku malas bertanya. Usut punya usut, ternyata kue kering itu sebagai penawar pedihnya pecutan rotan yang mereka terima saat belajar tajwid di hari pertama.
Maknima termasuk tua-tua di kampungku yang dituakan. Dia dihormati boleh jadi layaknya orang tua sendiri. Dia ditakuti bahkan oleh preman-preman lapau [2] di kampungku, biarkan sekali saja Maknima berbicara, semua orang akan tunduk berkata; iya. Jika saja bukan Maknima yang menyuruh kami mengaji, aku benar-benar tak tau apa yang akan terjadi.
Inilah awal cerita yang akan mengubah keterbatasan kami, anak-anak kampung.
Tangga ke-31
Dua tiang lampu terpasang persis bersebelahan dengan tangga ini, sepertinya baru diganti setahun lalu. Aku berhenti sejenak, menikmati lukisan Tuhan saat langit yang berubah menjadi jingga berpadu dengan hamparan padi yang menguning. Dulu, di tangga ini pernah dilewati lima kawanan babi hutan, berbaris rapi melewati tangga. Hanya sebentar, tapi cukup membuat kami ternganga. Persis pada tangga ini pula kami sering menghabiskan buah manggis yang berjatuhan. Tempat ini menjadi saksi bisu kebersamaan pertemanan kami tanpa banyak menuntut. Cerita ini baru saja dimulai!
***
“Tutup mulut kalian atau kita semua celaka!”
Ancaman itu memadamkan nyali kami. Kakak-kakak itu jauh lebih tua dariku, mereka berkuasa mengomandoi setiap gerak kami. Konon, orang memanggilnya kelompok Nendek. Hari itu mereka berencana membuang rotan Bapak jauh ke lereng. Agaknya belajar mengaji ditemani rotan setiap kami melakukan kesalahan telah membuat mereka bertindak demikian.
Malamnya, kami duduk melingkar seperti biasa, Bapak membelakangi dinding, kemudian di sebelahnya duduk Kak Nubli, anak lelaki Bapak. Kak Nubli tidak mengerti apa-apa saat kelompok Nendek memperhatikan kami satu per satu dengan tatapan tajam seolah berkata ‘tetap diam!’ Lima menit lengang. Bapak baru menyadari rotan itu telah hilang saat akan memberi hukuman kepada salah seorang temanku yang lupa shalat Zhuhurnya.
“Nubli lihat rotan?” Bapak bertanya, Kak Nubli di sebelahnya menjawab dengan gelengan.
“Siapa lihat rotan?” Kali ini, Bapak bertanya kepada kami semua. Kami diam satu dua menggeleng, mulai memanas.
“Siapa lihat rotan di bawah karpet!” Suara Bapak sedikit ditinggikan, memperjelas sambil menunjuk karpet. Kami tetap diam. Mencekam.
Kemudian, terdengar panjang tarikan napas Bapak.
Aku mengutuk-ngutuki Nendek dan pengikutnya, toh kesimpulannya kami tetap dihukum. Cubit kunci Inggris katanya. Cubitan Bapak tidak sedetik saja sakitnya, tapi membekas berhari-hari. Bagaimana tidak, jika cubitannya diputar-putar. Ah, tak usah dibayangkan!
Untunglah acara cubit-cubitan ini berakhir dalam dua hari. Sore itu, Kak Nubli datang lebih awal mengabarkan berita baik bahwa Bapak telah menemukan rotan pengganti. Benar saja, Bapak datang dengan membawa sebilah rotan baru, masih jelas lengkungannya yang baru dibuka dari pemukul kasur. Perdebatan terhenti. Setelah itu, tak ada lagi sejarah hilangnya rotan. Tapi, rasanya rotan yang baru ini lebih sakit.
Tangga ke-64
Hari makin gelap. Surau-surau sudah dari tadi menghidupkan kaset mengaji dan sebentar lagi azan dikumandangkan. Aku telah berada dekat surau, ini tangga ke-64, tangga terakhir. Aku teringat kembali perkataan Bapak saat pertama kali hendak belajar mengaji. Begini kira-kira, “Supaya kalian tahu, apa rasanya dipecut rotan itu.” Bapak mengatakanya sambil mengibas-ngibaskan rotan di hadapan kami dengan tawa kecil karena melihat wajah kami yang ketakutan.
Nenekku bilang, surau kami semula memiliki 65 tangga, namun tangga terakhir telah ditutupi tanah hingga tak terlihat. Cerita ini akan berakhir seperti tangga ke-65.
***
Bapak pernah memujiku, mengatakan, “Rina bacaannya sudah jauh lebih baik.” Saat itu mati lampu, jadi tak ada yang melihatku tersenyum sendiri.
Jika mati lampu, kami akan berkumpul merapat, bercerita apa saja, tertawa bersama dan menumbuhkan semangat kami untuk berani bercita-cita. Bagi kami orang Minangkabau, surau tidak sebatas bangunan religius sebagai tempat melakasanakan shalat. Lebih dari itu, surau menjadi sentral aktivitas, seperti belajar, diskusi, dan pengembangan diri anak nagari. Kebiasaan Bapak, mengajarkan kami membawa buku dan tugas saat musim ujian sekolah, contohnya.
Beberapa hari setelah perbincangan malam itu, kotaku Pariaman pada 2009 dilanda gempa berkekuatan 7,6 SR. Saat kami kembali memulai mengaji, ada anggota baru, seorang pengungsi dari kampung lain.
“Dia sering mengadu pada ayahnya.” Aci bilang begitu padaku saat pulang dari sekolah. “Menangis pula, padahal kita saja yang perempuan tidak pernah begitu.” Aku mengangguk menyetujui.
Sehabis shalat Isya, ada laki-laki jangkung berdiri mendekati Bapak. Bapak masih menunduk berdoa.
“Kau kira mereka kerbau yang bisa seenaknya dipecut seperti itu!”
Bapak tersentak menatap.
“Anakku pulang mengadu kesakitan.” Kata-katanya keluar begitu saja, tak mengacuhkan kami yang pergi menyudut.
Saat itulah kudengar tarikan napas Bapak yang kedua kalinya, lebih panjang. Aku mengerti Bapak tak mampu menjelaskan. Mengaji bertemankan rotan telah mendidik kami untuk bersungguh-sungguh, agar rotan tak sampai di tangan. Bapak telah mengajarkan kami berani menerima risiko. Meskipun begitu, Bapak menyayangi kami seperti anaknya sendiri. Beliau selalu mengantarkan obat herbal ke rumah saat aku sakit, adikku sering diberi roti jika bersepeda lewat di depan rumahnya, dan Bapak berperan membantu kami melanjutkan sekolah.
Kali itu, kami menangis, benar-benar menangis, tak terkecuali kelompok Nendek. Bapak yang selalu mengajarkan kami menghormati waktu tak pernah datang telat, sekarang pergi lebih awal meninggalkan surau. Lalu, tahun-tahun berikutnya tak ada lagi kegiatan mengaji di surau 64 tangga.
Kami tumbuh melanjutkan pendidikan ke luar kota, mengadu nasib hingga keluar pulau. Hingga waktu telah merampas kenangan itu, tertutupi layaknya tangga ke-65. ***
.
.
Pariaman, 2016-2021
.
.
CATATAN:
[1] Panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa Minang.
[2] Warung dalam bahasa Minang
.
.
Nisrina Zakia Khalel, seorang mahasiswa Jurusan Biologi di Universitas Negeri Padang. Saat ini tengah menginjak semester delapan. Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa yaitu Surat Kabar Kampus Ganto.
.
.
Leave a Reply