Cerpen, Siti Maulid Dina, Waspada

Rumah Tak Berjendela

Rumah Tak Berjendela, Cerpen Siti Maulid Dina

Rumah Tak Berjendela ilustrasi Denny Adil/Waspada

4.8
(4)

Cerpen Siti Maulid Dina (Waspada, 20 Februari 2022)

BAIK malam maupun siang, lampu-lampu terus menyala. Tidak ada lagi perhitungan seberapa besar biaya pemakaian listrik, terpenting rumahnya terus bercahaya. Bagaimana tidak? Bila dikatakan rumah, tanpa jendela. Hanya ada pintu dan pintu. Kalau dikatai kotak, bisa jadi iya.

Rumah tak berjendela itu hanya dihuni lelaki paruh baya yang menghabiskan kesehariannya bersama para hewan dan tumbuhan. Saban hari, ia menikmati kesendirian di belakang rumah sembari mendengar kicauan beberapa burung dengan spesies yang berbeda. Pun, matanya yang mulai rabun juga hikmat memandangi tumbuhan hijau. Tak ada kegiatan lebih dapat dilakukan selain mengurusi hewan ternaknya, mulai dari marmut, ular, elang, sampai berbagai macam jenis burung.

“Kalau ada orang yang mengirim ilmu hitam atau mencelakaiku, pasti yang pertama kena adalah hewan ternakku.” Katanya pada orang-orang.

Aneh betul, tidak mungkin orang melukai bila kita tidak memulainya. Ibarat, ilmu petani. Apa yang ditanam, itu pula yang dipanen. Hah, lelaki itu masih saja menganggap dirinya paling benar, seolah haus pujian untuk disembah.

Lelaki berkulit gelap itu menikmati segelas teh sembari bersiul, membangunkan gairah kicauan burung untuk menyahuti. Kencintaannya pada hewan, melebihi rasa cintanya pada anak. Itu sebabnya kedua anak dan istrinya pergi meninggalkannya. Ia rela menghabiskan banyak uang demi kesenangannya memelihara hewan, sampai lupa bahwa ia seorang ayah. Sikapnya yang acuh pada anak sejak kecil membentangkan jarak.

Barangkali, anak dan istri tidak mungkin meninggalkannya jika ia masih memangku tanggung jawab, namun selama hidup ia justru tidak mengenal anaknya. Jangankan anak, istri saja diingat bila butuh.

Beda butuh dan berharga. Butuh, seseorang akan datang saat membutuhkan. Sedangkan berharga, sampai kapanpun tidak akan dilepas. Sedangkan bagi lelaki itu, peliharannya adalah berharga. Sedangkan rumah tangga, hanya kebutuhan.

Baca juga  Bulan Mari Kita Pulang

Terbukti ketika ia memilih untuk berhenti bekerja agar bisa menikmati keseharian di belakang rumah bersama ternaknya. Selagi istri dan anak bisa memberi makan, lebih baik mengurusi ternakku, pikirnya.

“Aku baru saja merintis. Mungkin, nanti hewan-hewan ini bisa menghasilkan.”

Begitu kalimat yang dilontarkan ke banyak orang. Tapi, mau berapa lama berjudul merintis hingga mengorbankan keluarga. Ia saja tidak sadar bahwa putrinya sudah dewasa dan sudah siap menikah. Dalam pikirnya, si anak baru besar kemarin sore. Sial betul anak itu memiliki sosok ayah sepertinya.

“Persetan merintis, dari dulu alasannya merintis. Mau sampai kapan aku memberinya makan? Bukan dia yang memberiku makan, malah terbalik. Aku capek. Beli makanan ternak sampai ratusan ribu perminggu, bisa. Ngasih makan anak, alasannya tidak bekerja padahal pemalas.” Sahut istrinya jika mendengar kabar burung mengenai perpisahan mereka.

Biar sendiri dalam rumah tak berjendela, lelaki itu tetap menerima kebutuhan hidupnya termasuk pangan. Setiap pagi, putrinya selalu mampir membawa bekal makan dan memberi melalui tetangga untuk lelaki yang berusia lebih sepuluh tahun dari setengah abad. Namun, anak lelakinya malah memilih untuk lari dari keluarga. Ia tidak mau pulang ke rumah dengan alasan sibuk bekerja di Kalimantan. Tidak tahu kebenarannya, sebab kerap si bungsu meminta telepon video, malah si abang menolak.

Sudah memijak tahun kelima, sulung tak kunjung pulang ke rumah ayah dan ibunya. Entah karena sakit hati atau memang sibuk bekerja, entahlah. Sejak kejadian yang memalukan itu, ia tak mau pulang. Pergi tanpa pamit.

Kejadian itu, saat mereka masih berkumpul. Ibu yang lemah lembut dengan kecantikannya masih saja menyajikan masakan enak. Dalam seminggu, mereka bisa menikmati daging sapi. Walaupun dalam rumah tak berjendela, ibu selalu menghadirkan kesejukan angin, memberi cahaya matahari untuk menghangatkan di kala musim hujan datang.

Baca juga  Si Malas

Hanya ibu yang mampu memberi makna surga dalam rumah. Namun, yang namanya keluarga tidak akan berjalan seperti jalanan beraspal. Ayah, atau lelaki beruban itu mulai mengikuti perkataan sahabatnya, untuk bermain api cinta dengan perempuan lain.

Berawal dari sekedar mengobrol dan berakhir dengan rasa. Perempuan yang berstatus janda tanpa anak mulai menempah perasaan kepadanya. Lamban laun, mereka menjalin hubungan menuju ke jenjang serius. Lelaki itu pun memberi seribu janji. Mulai dari ingin menikahi sampai memberi rumah. Perempuan mana yang tidak senang diberi janji jaminan hidup.

Janji hanya janji, lelaki itu tidak bisa mengabulkan keinginannya. Perempuan itu bertekad datang ke rumah sahabat yang memperkenalkan mereka. Mencari informasi alamat rumahnya.

Setelah menemukan alamat, perempuan bermata legam itu bertamu, ia terkejut bukan main bahwa lelaki yang dicintai memiliki istri dan anak. Padahal, ia mengaku bahwa dirinya seorang duda tanpa anak juga. Hatinya hancur, ia berasumsi dirinya tengah dipermainkan dan dipermalukan.

“Tidak mungkin, kau bukan istrinya.” Jerit perempuan itu.

“Apa perlu aku buktikan buku nikah dan kartu keluarga kami, hah?” Pekik sang istri.

“Alah, bisa kalian belum memecahkan kartu keluarga.”

“Hati-hati, kau bisa kulaporkan ke polisi dengan merebut suami orang.” Teriak ibu dua anak itu.

“Hei, harusnya kau tanya pada dirimu sendiri, kenapa suamimu selingkuh?”

Debat demi debat menghasilkan perkumpulan tetangga untuk menenangkan mereka yang ribut di beranda rumah.

Saat itu pula si sulung alias putra dari lelaki beruban itu pulang membawa perempuan, dengan maskud mengenalkannya pada ibu untuk dijadikan menantu. Namun, melihat peristiwa itu, sulung menaruh malu pada pujaan hati, dan menduga bahwa kekasihnya akan pergi meninggalkannya.

Benar saja, sejak kejadian itu, perempuan yang dicintai sulung pamit untuk menikah dengan lelaki pilihan keluarganya. Sedangkan sulung, malah hilang entah kemana. Seminggu kepergian sulung, baru memberi kabar bahwa ia merantau ke Kalimantan.

Baca juga  Cerita Ababil

Setelah keributan, ada saja kejadian aneh dalam rumah itu. Terkadang, ibu tidak bisa berjalan secara tiba-tiba. Putrinya juga sering muntah-muntah di sepertiga malam tepat pada hari kamis malam. Belum lagi menantunya yang sering menyasar pulang beralasan tidak melihat rumah mereka. Hewan ternak lelaki itu pun banyak yang bermatian.

Akhirnya, ibu mengambil keputusan untuk mengontrak rumah dengan banyak jendela agar bisa bernapas dengan baik. Sedangkan lelaki itu memilih diam dalam rumah tanpa jendela.

Saban hari, hanya bisa berdiskusi pada hewan-hewan di belakang rumah. Kala tamu datang, selalu menolak untuk memasuki rumah yang beraroma kotoran hewan. Ditambah pula dengan panas lantaran sinar lampu yang tak henti padam.

Dalam kesendiriannya, ia kerap memanggil nama perempuan berstatus janda itu. Namun, kala menjelang tidur, ia teringat pada istrinya yang setia menemani dan menerima kekurangannya.

Terkadang, ia menangisi kenangan bersama istri, terkadang pula ia tertawa bahagia membayangkan dirinya bersama perempuan yang bukan istrinya. Namun, lebih menyakitkan dan membuatnya untuk menguras pikiran ialah tiada anak di saat sakit.

Hanya ada ruang persegi tanpa jendela dengan dinding hiasan foto kedua anak dan istri, tidak ada dirinya di sana. Betapa memalukan.

Kadang, ingin sekali dirinya bermalam di rumah istri dan anak, bisa bermain dengan cucu. Namun, ia lebih mementingkan hewan ternaknya, dengan alasan tidak ada yang memberi makan. Lelaki itu terperangkap dalam rumah tak berjendela. ***

.

.

Siti Maulid Dina. Alumni Pendidikan Matematika UINSU Medan.

.

.

Loading

Average rating 4.8 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!