Cerpen Laila Sabrina (Waspada, 20 Februari 2022)
Kehidupan bak savana Afrika/Memangsa dan dimangsa/Memburu dan diburu/Penjahat atau korban/Menyakiti dan tersakiti/Tubuh yang dialiri darah pernah berdarah-darah.
***
DUNIA senyap sejenak. Senyap kemudian beranjak berhenti. Seperti hanya Sabir yang bergerak. Jantungnya melemah, hingga ia dapat merasakan lambatnya aliran darah yang mengalir di tubuhnya. Kini dirinya berdiri tegak, terpaku dengan bibir yang beku menanti gadis di seberang telepon melanjutkan ucapannya.
“Sabir, maafkan keputusanku, ini di luar kendaliku. Aku dijodohkan, dan aku tak memiliki kuasa untuk menolak!”
Ucapan yang sangat tragis menurut Sabir. Rangkaian kata yang terdengar sangat memilukan ditambah tarikan nafas panjang sebagai bumbu kesedihan yang dikemas gadis di seberang telepon cukup membuat Sabir meleleh dari kebekuannya. Dasar! gadis perangkai kata yang ulung, dia membuat kejadian ini terlihat cukup menyiksa bagi dirinya juga.
Tentu saja Sabir berdecih mendengar semua ucapan Rindu. Siapa yang percaya dengan ucapan gadis yang seminggu lalu mengagung-agungkan cinta Sabir padanya, dan hari ini dengan mudah mencampakkan Sabir berlandaskan perjodohan. Tak memiliki kuasa untuk menolak?
Persetan!
Dia bisa menolak. Pembrontakan bisa dilakukannya jika dia melontarkan “tidak setuju”. Jika dia memakai kalimat itu mungkin saat ini bukan adegan pencampakan diri Sabir, tetapi adegan diskusi mencari solusi agar tetap bertahan untuk bersama. Sayang, bayang hanyalah bayang, detik ini hanya adegan Sabir yang dicampakkan.
“Apakah sangat tinggi status dan tingkatan sosial pria itu hingga kau bisa mencampakkan aku, Rindu?”
Alasan terbesar Rindu tak bisa menolak tentulah karena dia berhasrat hidup bersama pria yang dijodohkan itu, bukan dengan Sabir yang merupakan salah satu sarjana yang luntang-lantung mencari pekerjaan.
“Tidak, Sabir….”
“Kuharap kau bahagia dengan pilihanmu ini.” Sabir memotong ucapan Rindu, menjadi tanda selesai hubungan antara Sabir dan Rindu.
Tak perlu dia mendengar penjelasan lanjutan dari Rindu. Tercampak dan dibuang, itulah intinya. Ia tersayat untuk kesekian kalinya. Kembali berdarah-darah tanpa ada darah yang menetes.
***
Dua bulan setelah kejadian pencampakan yang dialami Sabir.
Sekarang dia berada di stasiun kereta api, menanti keberangkatan yang akan mengantarkannya ke bandara, dari bandara kemudian ke pemberhentian selanjutnya: Jakarta. Kota metropolitan, tempat peraduan nasib. Perginya dia merantau mungkin dapat mengubah kehidupannya dan dapat melupakan sakit atas Rindu.
Kondisi stasiun terlihat normal, pemandangan orang-orang berpamitan dengan sanak saudara, antrian panjang loket scan tiket, dan momen itu dibumbui dengan aroma toko roti di samping stasiun yang sangat semerbak. Melihat masih banyak waktu sebelum jam keberangkatan, Sabir memutuskan untuk duduk di kursi tunggu yang berada di samping pintu masuk, dimana kursi tersebut menghadap langsung ke jalanan. Menurutnya suara riuh di luar stasiun akan sedikit merocoki pikirannya yang sangat hampa.
Di sisi kiri kursi ada seorang pria separuh baya berjanggut tebal sedang menikmati rokoknya. Dia memakai jubah putih yang sangat terang untuk menutupi tubuh besarnya. Dan tak jauh di hadapan mereka ada seorang pengemis yang hanya duduk dengan mangkuk plastik di tangannya.
Pria berjanggut itu menghisap rokoknya dengan nikmat kemudian menghembuskan ke udara, membuat kepulan asap bergumul tepat di sekitar wajahnya. Pria itu mengeluarkan kotak rokoknya dan menyodorkannya kepada Sabir.
Seumur hidup baru sekali Sabir menghisap rokok, yaitu saat dia kelas 2 SMP. Semenjak itu tak pernah lagi dia mencoba menghisap barang tersebut. Tawaran dari pria berjanggut itu tentu ditolak oleh Sabir.
Terlihat Pria Berjanggut itu membutuhkan teman bicara. Mungkin dia bosan sedari tadi berada di sini, kehadiran Sabir menjadi hiburan baginya. Setiap hisapan rokok, mata pria itu tak pernah luput memperhatikan raut wajah Sabir yang terlihat muram.
“Anak muda, kenapa mendung begitu wajah kau? Hampir hujan kota Medan karena muka mendung kau itu.”
Senyuman gantung terlukis di wajah Sabir diikuti dengan sipitan mata sebagai respon. Pria Berjanggut tak berhenti di situ, dia makin berusaha untuk dapat mengobrol dengan Sabir yang masih enggan.
“Siapa yang kau tinggalkan anak muda? Kalau orang tua sudah tentu, tepatnya siapa pengusik hati karena akan kau tinggalkan di kota Medan ini?”
“Namaku Sabir, Pak. Kesedihanku bukan karena meninggalkan, tapi ditinggalkan.”
Pria berjanggut menganga serta mengangguk tanda mengerti, tebakannya baru saja salah.
“Tentunya wanita, kan?”
Sabir menjawab dengan anggukan murung. Tatapannya kosong di tengah pandangan yang begitu hiruk-pikuk, poter-poter yang berusaha menawarkan jasanya. Becak-becak yang bertonggok di sisi jalan dan juga kricingan mangkok plastik pengemis.
“Kenapa Bapak tau kalau dia wanita?”
“Aku pernah menikah dua kali. Dan untuk anak lajang yang terlihat murung sebelum keberangkatan tentunya ada masalah dengan wanita.”
“Kaitannya dengan menikah dua kali apa, Pak?”
Pria berjanggut tersenyum lebar, diusap-usapnya janggut lebatnya yang hitam legam dan sedikit berminyak itu. Dan lagi-lagi linting rokoknya dihisap dan dihembuskannya ke udara sebelum melanjutkan percakapannya.
“Aku berada di stasiun ini setelah istri keduaku tak lagi menerima keberadaanku. Pria yang sudah sulit menafkahi cukup membuat istri beralih pandang, miris nasibku. Alasan keberadaan dan kemurunganmu saat ini sama denganku yaitu perempuan.”
“Kau tak semalang aku, Pak. Wanita yang kucintai memilih menikah dengan pria lain di saat aku bertekat mencari pundi untuk menikahinya. Belum sempatku miliki dia. Sedangkan Bapak sempat memiliki, dan sekarang kau bisa lari ke istri pertamamu.”
Pria berjanggut tertawa keras dan terbahak-bahak. Bahkan sampai terbatuk-batuk.
“Kau muda, masih bisa kau cari wanita lain. Dan karena kau muda, masih banyak pekerjaan menantimu, dan mungkin kau bisa lebih sukses dari suami mantanmu itu. Sedangkan aku, tua dan bau minyak ini sudah sulit mencari pekerjaan, uang dan wanita lenyap ditelan umur ini. Aku lebih malang, Sabir. Kenapa pulak kau bilang kau yang paling malang.”
“Aku yang lebih malang, Pak. Aku ditinggal wanita. Luntang-lantung mencari pekerjaan di saat teman-temanku sudah berseragam kantoran. Walaupun kau sulit bekerja lagi, setidaknya istri pertama dan anak-anakmu tetap menerimamu saat kau datangi lagi.”
“Tentu aku yang lebih malang. Apa kau tau yang akan kudatangi adalah makam istri pertamaku.”
Sabir terdiam.
“Hei… hei…!” Pengemis yang berjam-jam duduk dengan mangkok plastiknya berusaha bangkit dengan tongkatnya. Dilayangkannya tongkat itu tepat di depan wajah Sabir kemudian Pria Berjanggut.
“Meracau saja kalian berdua. Sibuk mengadu seperti pengemis berbaju rapih!” ***
.
.
Laila Sabrina. Mahasiswa UMSU.
.
.
Muhammad Teddy Yansyah
👏👏👏