Ahmad Z Ujung, Cerpen, Waspada

Senja di Sebuah Taman (Sesal Tak Berujung)

Senja di Sebuah Taman, Cerpen Waspada

Senja di Sebuah Taman ilustrasi Denny Adil/Waspada

4.5
(2)

Cerpen Ahmad Z Ujung (Waspada, 20 Februari 2022)

SISA rintik hujan tadi sore masih meninggalkan bekas, terlihat jalan masih digenangi air. Selokan-selokan masih terlihat banjir. Di ujung jalan terlihat sosok tubuh berjalan terhuyung menuju rumah di sebuah gang. Dia adalah Pak Haji, imam masjid di gang ini.

Disebut Pak Haji bukan karena dia telah pernah pergi haji ke Tanah Suci, tapi karena pribadinya yang pantas ditiru dan hampir setiap hari menjadi imam di masjid, juga sebagai guru mengaji untuk anak-anak di kampung ini. Uban putih mulai memenuhi kepala. Sikapnya yang ramah membuat masyarakat kampung sangat menyayangi Pak Haji. Tak jarang orang-orang di kampung mengantarkan kebutuhan sehari-hari ke rumahnya.

“Mas, aku sayang kamu.” Suara lembut itu berembus mesra di telinganya. Mendamaikan hati siapa pun yang mendengar.

“Tapi aku enggak bisa, Nur. Kita jauh berbeda.” Begitu balas Pak Haji kala itu.

Hujan kembali turun deras, angin kencang menghempaskan semua yang ada di depannya. Petir menyambar menambah suasana di taman menjadi gelap. Sedu sedan itu kembali melintas meraung-raung menjajaki jalan perasaan yang sudah tidak beraturan, terhempas dan hancur lebur.

Hujan sore tadi, ternyata berlanjut hingga malam. Dinding kamar mulai terlihat berbayang ditembus rembesan hujan yang sangat deras. Kamar kecil yang sudah termakan usia ikut merasakan dinginnya malam itu. Poster-poster kusam yang tertempel di dinding kamar tertawa kecil setengah mengejek. Kasur kumuh yang telah termakan rayap hanya bisa terdiam dan tidak mau berkomentar. Seisi kamar sepertinya sudah lelah dan benci dengan keadaan juga kenyataan. Mereka menatap dengan pandangan tajam. Sesekali ocehan seisi kamar membuat perasaan begitu tersayat.

“Kau pengecut! Dasar pengecut!”

Pak Haji merebahkan diri di kasur yang telah menertawakannya tadi. Ocehan-ocehan seisi kamar merupakan senjata-senjata penyesalan yang terus menyiksa di sepanjang malamnya.

Suara bedug masjid membuyarkan tidur nyenyaknya, jam waker di atas lemari sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dengan langkah semangat Pak Haji beranjak pergi menuju masjid untuk memimpin ibadah salat berjamaah.

Usia memang telah memakan, membuat Pak Haji tidak secekatan dulu. Pertempuran hati yang terus menerus terjadi dalam hidupnya, membuat fisiknya semakin lemah dengan hati yang selalu tegar. Selesai salat dia kembali ke rumah.

Baca juga  Tembang Jiwa

Di perjalanan Pak Haji berhenti di sebuah warung untuk membeli kopi. Minum kopi adalah sahabat satu-satunya yang selalu setia menemani Pak Haji menuju senja. Uang yang diberikan tetangga sebelah sebagai tanda terima kasih karena telah membimbing anaknya dalam mengaji telah cukup untuk membeli keperluan sehari-hari dalam satu putaran minggu ke depan.

Pak Haji sejenak terdiam, melihat teras rumah yang telah lama dihuninya. Pot-pot bunga itu ikut membalikkan ingatannya ke tiga dasawarsa silam.

Suatu hari di senja yang cerah, sebuah sepeda motor parkir di teras rumah. Ketukan pintu membuat dia beranjak ke depan untuk membuka pintu.

“Siapa di luar?”

“Nur, Mas,” suara lembut gadis itu menjawab.

“Silakan masuk. Pintunya enggak dikunci.”

Nur, gadis dengan rambut sebahu masuk ke dalam rumah.

“Mas. Nih, aku bawakan makanan. Tadi aku beli sepulang kerja,” kata Nur sambil menyodorkan sebuah bungkusan kresek kecil kepada Pak Haji.

“Terimakasih banyak ya, Nur.”

Suasana ruangan terasa damai dibalut kemesraan, seakan kisah ini merupakan awal dari gambaran sebuah armada yang akan mengarungi sebuah samudera penuh liku. Canda tawa seakan pertanda bahwa kisah ini merupakan kisah kasih abadi, indah tanpa sembilu.

“Mas, aku sayang kamu.” Untuk kesekian kalinya Nur mengucapkan kata itu.

“Aku enggak peduli, kalau kita berbeda. Apa Mas lupa sama pernyataan Mas dulu? Kalau perbedaan itu yang menyatukan semua jadi indah? Apa rasa sayangku harus dihentikan oleh perbedaan itu? Sedangkal itukah pemikiran Mas mengenai cinta?” Mata Nur mulai berkaca-kaca.

“Tapi aku enggak bisa, Nur.”

“Kenapa, Mas?”

“Bukan perbedaan itu yang jadi alasan utamaku memilih jalan ini, Nur. Suatu saat nanti kamu pasti tahu, kenapa aku memutuskan ini.”

Suasana ruangan menjadi gelap, mendung mulai menunjukkan keperkasaannya, petir menyambar di mana-mana. Hujan makin membasahi seisi ruangan. Dengan pecahan-pecahan beling yang menusuk hati yang menyempurnakan sebuah kekecewaan.

“Mas, besok aku mau ke luar kota. Aku kerja di sana dalam jangka dua tahun ke depan. Aku ke sini untuk menyatakan pernyataan hati yang terakhir. Menagih jawaban dari pertanyaan yang selalu aku tanyakan sama kamu. Tapi kata hatimu enggak pernah berubah. Aku ikhlas, Mas. Semoga Mas menemukan tambatan hati.” Nur sangat kecewa dengan keputusan Pak Haji.

Hujan berhenti seiring dengan melajunya sepeda motor yang hilang di tikungan perempatan jalan.

Baca juga  Pencuri Kesunyian

“Pak Haji. Ini belanjaannya (kopinya).” Suara lembut Mbak Siti membuyarkan lamunannya pada kisah kasih dulu.

“Oh iya. Terima kasih ya, Mbak.”

***

Pak Haji merebahkan diri di kasur dengan pikiran yang sangat berkecamuk. Mengapa dulu sebodoh itu dan menyia-nyiakan ketulusan Neti (Nur). Mengapa dulu terlalu egois dan menutup diri juga begitu pengecut.

Sungguh tidak bisa menerjemahkan perasaan Nur kala itu. Sekarang semua sudah terlambat. Sudah lebih dari tiga puluh tahun Pak Haji tak pernah mendengar kabar keberadaan Nur. Pak Haji juga enggan bertanya kepada teman-temannya tentang keberadaaan Nur. Apalagi menanyakan kepada orang tuanya yang dulu menjadi bos kerjanya. Menjadi tukang kebun dan menggantungkan hidup pada jasa tata kebun di perusahaaan bonafid milik orang tua Nur.

Pak Haji memang sangat mencintai Nur. Hingga saat ini pun masih mencintainya lebih dari apa pun. Namun, itu semua hanya masa lalu. Mungkin saja Nur sudah bahagia dengan pilihan orang tuanya.

Dulu orang tua Nur pernah mengenalkan seorang pria kepada Pak Haji sesaat setelah rapat. Mereka mengopi di taman belakang perusahaaan. Ketika itu Pak Haji sedang menata bunga-bunga yang baru dibeli nyonya Marni, ibunya Nur. Pria itu yang nantinya akan ditunangkan dengan Nur. Dia begitu gagah dengan setelan kemeja yang begitu rapi, menandakan dia bukanlah orang biasa.

Azan Asar membuyarkan lamunan Pak Haji. Dengan langkah lunglai dia berjalan pelan menuju masjid di seberang gang.

***

Angin sore bertiup begitu lembut. Bunga-bunga di taman ikut menari mewakili perasaan Dewi Cinta yang menabur kebahagiaan semua insan yang sedang jatuh cinta. Jauh di sudut taman, di sebuah bangku, duduk sepasang kekasih yang sedang memadu kasih.

Kisah biru yang terukir indah pernah terekam oleh bunga-bunga di taman itu, oleh riuh nyanyian pucuk pucuk-pinus. Melodi cinta seakan bernyanyi seiring dengan lantunan nada-nada janji yang membuat dinding hati kuat dan percaya akan perjalan cinta di titian kesetiaan. Langit begitu cerah dengan temaram sinar matahari yang akan beranjak ke peraduan.

Burung-burung di taman membentuk kelompok kecil yang menciptakan orchestra yang membumbui haru biru sore itu. Bayangan kisah lalu kembali terlihat jelas di taman itu. Seiring tatapan sayu mata Pak haji, terkenang akan drama cinta yang pernah terjadi di taman itu sepulangnya mengajar anak-anak mengaji.

Baca juga  Tujuh Bulan

Ternyata sekarang itu semua hanya fatamorgana. Kisah itu terhempas oleh perbedaan yang menjauhkannya dengan Nur. Pernyaataan bos kerja yang memastikan bahwa kisah itu berakhir dan oleh kepengecutan, serta ketidakmampuan hati berucap. Semua itu tidak pernah diketahui Nur. Diam-diam orang tuanya telah menjodohkan Nur dengan seorang priyayi, anak dari rekan bisnis orang tuanya.

Kembali hujan turun dalam bingkai penyesalan, petir sambar-menyambar. Suara-suara hujatan keluar dari hati yang kontra akan keputusan dulu. Namun, rasa cinta yang sangat dalam kepada Nur membuat hati sedikit terhibur, meski Nahkoda kapal kehidupan yang ditumpangi Nur bukan Pak Haji.

Pak Haji yakin, sekarang Nur bahagia dengan pria pilihan orang tuanya atau dengan siapa saja lelaki yang menjadi tambatan hatinya dalam menjalani bahtera rumah tangga. Kebahagian Nur di sana merupakan kebahagian Pak Haji di sini, meski dalam luka dan penyesalan.

“Pak Hajiiii! Pak Hajiii!”

Terdengar suara panggilan dari luar rumah, dengan sedikit terkejut Pak Haji keluar, melihat siapa yang memanggil.

“Eeh … kamu, Le. Ada apa berteriak-teriak?”

“Pak Haji, ini ada titipan surat undangan.”

“Dari siapa, Le?”

“Enggak tahu, Pak Haji. Tadi ada mobil mewah yang datang, terus manggil aku sama ngasih undangan ini. Katanya tolong kasihkan undangan ini sama Pak Haji yang jadi imam masjid dan guru ngaji di sini.

“Ooh. Terimakasih ya, Le.”

Dengan beribu tanya di hati, Pak Haji segera masuk ke rumah dan segera membuka surat undangan tersebut. Tiba-tiba mata Pak Haji berkunang-kunang, tubuhnya gemetar, dan kisah dahulu mulai menyerang. Penyesalan-penyesalan kembali menodongnya. Umpatan dan cacian mulai berorasi dalam hatinya. Namun, terbesit senyum bahagia mengetahui gadis yang dia cintai masih mengingatnya.

Undangan itu tertulis acara pernikahan anak dari Nur Aisyah dan Hery, gadis yang sangat dia cintai dari dulu, tetapi tidak pernah mengakui bahwa dia mencintainya juga. Hingga membuat Pak Haji memutuskan untuk tidak mencintai gadis lain. Tiba-tiba langit menjadi gelap.

Bruak!

Pak Haji jatuh tidak sadarkan diri. ***

.

.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!