Cerpen Ida Fitri (Jawa Pos, 05 Maret 2022)
SETELAH kejadian lintah menempel di kulit putihnya, Cuda Aminah selalu merasa ada sesuatu yang dingin di lipatan kaki, yang membuat perempuan itu mengulangi gerakan yang sama; menarik ke atas kain sarung yang menutupi betis, memastikan tidak ada makhluk menjijikkan itu yang menempel di kakinya.
“Masih takut, Cuda?” tanya Kak Limah. Tumpuk beunyeut yang dicabutnya berada sangat dekat dengan tumpuk Cuda.
“Entahlah. Di kampung saya tidak ada sawah. Saya pintar ke sawah dan ke rawa setelah tinggal di Kampung Samalanga ini. Ibu mertua saya yang mengajari saya cara menabur benih, menanam padi, membuang gulma, memotong padi, sampai mencari beunyeut dan menganyam tikar. Bahkan ibu mertua juga yang memperkenalkan adab memotong padi, potong ulee pade terlebih dahulu, kemudian selipkan di atap rumbia rumah kita. Ia juga mengajari saya tentang kenduri blang, makan bersama di pematang sawah untuk bermufakat kapan mulai menabur benih, membajak sawah, dan tetek bengek pembagian air.” (Cuda Aminah menceritakan hal yang sama untuk kali kesekian setiap mereka mencari beunyeut di rawa bersayap Sembilan itu)
“Iya, Abdullah dulu membawamu pulang dari tempat yang jauh. Orang kampung membicarakanmu dalam waktu yang lama, tentang perempuan yang selamat dari maut yang telah merengut seluruh anggota keluarganya.” (Kak Limah berkomentar yang sama juga untuk kali kesekian)
“Tidak perlu lagi kau menyinggung itu, Limah. Setiap orang cenderung ingin menghapus hal-hal buruk dari ingatannya,” ujar Mawa Aisyah yang masih bisa mendengar percakapan mereka.
“Tidak mengapa, Mawa. Kejadiannya sudah sangat lama dan saya belum pernah menceritakannya pada kalian semua.” Angin berembus menimbulkan desir pada daun-daun yang saling bergesekan, bunga-bunga beunyeut kembali menari tarian sendu, meski gejala alam bukan karena kemalangan salah satu di antara kamu, kata nabi dalam salah satu sabda. Dan tidak tahu kenapa, kali ini Cuda Aminah ingin menceritakan lukanya-luka yang paling dalam yang bisa dirasai jiwa. Dan berceritalah ia….
“Saya berasal dari kampung pesisir yang jauh, di mana para lelaki turun ke laut untuk menangkap ikan, sementara para perempuan menjaga anak-anak dan mengurus rumah yang sebenarnya kurang tepat jika disebut rumah. Itu hanya gubuk kecil yang tiangnya dipancang dalam air laut, di mana hampir kesemuanya tidak memiliki dinding pemisah antara kamar tidur, dapur, dan tempat menerima tamu. Kami tidur di situ berimpitan, menerima tamu, makan, dan juga memasak di ruang yang sama. Untuk buang hajat, kami melakukannya di belakang rumah dengan menggunakan kain sarung yang bisa menutupi pantat dan kepala kami saat kami berjongkok. Kotoran kami langsung jatuh ke laut dan dimakan ikan-ikan. Untuk mandi, saya dan adik saya biasanya langsung melompat ke laut. Pada mulanya, kami adalah orang-orang yang bahagia meski hidup pas-pasan dalam rumah-rumah kecil kami.
“Setelah kepulangan Muda Samin yang menambang emas di Sungai Beutong, segalanya mulai berubah; lelaki itu pulang dengan membawa serta kutukan iblis gunung. Seminggu di rumah, ia mulai demam, kemudian sakit kepala berat dan mulai meracau seperti orang kesurupan. Dukun paling pintar yang kebetulan bertempat tinggal di kampung kami segera dipanggil. Dalam kesurupannya, Muda Samin berteriak-teriak memanggil perempuan yang bernama aneh, yang belum pernah kami dengar sebelumnya, yang ternyata itu adalah nama putri iblis yang mendiami dataran tinggi Beutong. Menurut sang dukun, putri iblis tersebut telah jatuh cinta dan meniduri Muda Samin yang berkulit putih dan berhidung mancung. Saat itu saya tidak paham bagaimana perempuan bisa meniduri seorang lelaki, meski itu iblis. Putri Ayende, sebuah nama yang tidak akan diberikan para orang tua di daerah kami untuk anak gadisnya, hanya para iblis yang mungkin mempunyai nama seperti itu. Orang tua dan istri Muda Samin telah menyembelih seekor kambing jantan berbulu putih sebagai ganti badan Muda Samin, sebagai sesembahan untuk Putri Ayende, tapi penyakit Muda Samin tidak terlihat membaik. Ia kerap menjerit sambil memegang kepala, berguling-guling di atas tikar yang digelar sebagai tempat tidurnya di salah satu sudut rumahnya yang kecil, berguling-guling seperti lembu baru selesai disembelih. Sungguh memprihatinkan nasib Muda Samin, Putri Ayende telah menguras seluruh tenaga lelaki itu. Dukun kampung tetangga ikut dipanggil, gigil dan kesurupan lelaki tersebut tak kunjung sembuh. Ia terus-menerus memanggil Putri Ayende dalam rasa sakit yang tak terkatakan. Tak ada dukun yang mampu menghalau putri iblis yang bersemayam dalam badan lelaki itu. Ia mati dua minggu kemudian. Kami berpikir itu hal yang wajar, seorang yang sakit, tidak tersembuhkan akan berakhir pada kematian. Kami tidak pernah menyangka kalau Muda Samin hanya awal, korban pertama dari kejadian mengerikan di kampung kami. Iblis tidak segera pergi dari kampung kami. Ia malah merasuki anak-istri Muda Samin. Badan anaknya menjadi sepanas tungku, kemudian menggigil, menunjukkan tanda-tanda mulai dirasuki. Hanya dalam tubuh Syakir, sang iblis mengaku bernama Bantatiah, guru agama yang mati ditembak. Sementara Putri Ayende mengaku mati digorok. Mereka sekeluarga dijemput tengah malam buta, terus disekap dalam sebuah rumah selama dua puluh tiga jam, kemudian kepala mereka ditutup karung dan Putri Ayende tak bisa melihat apa-apa.
Cukup aneh, tiga hari sebelum Muda Samin mati, saat merasuki tubuh lelaki itu, di depan dukun kampung sebelah dan istri Muda Samin, ia bercerita nasib keluarganya yang tragis. Sebagai gadis muda, saat kembali digelandang ke atas truk, seluruh otot Putri Ayende menjadi kaku. Ia tidak bisa berjalan. Seorang lelaki menyeretnya dengan kasar. Ia menangis memanggil ibunya. Kemudian ia dilempar ke dalam truk, didengarnya suara orang tuanya yang mencoba menenangkan. Bapak menyuruhnya berhenti menangis, tangan ibu mencoba mencari-cari anaknya di antara orang-orang yang diseret bersama mereka. Ibunya sama sepertinya menangis terisak. Truk terus menderu, memecah keheningan malam di malam tanpa suara kodok atau jangkrik. Tidak lama berselang truk berhenti, mereka diperintahkan untuk turun, mereka masih bingung. Tangan-tangan kasar segera menyeret mereka. Terdengar suara air mengalir dan angin dingin membelai kulit, binatang-binatang seperti dititah untuk tak bersuara malam itu.
Sesaat sebelum algojo menebas lehernya, sepasang tangan menarik paksa karung penutup kepala Ayende. Sinar purnama membuat matanya mampu menangkap apa yang sedang terjadi. Lututnya kembali lemas. Ia terduduk, di depannya adalah neraka. Mulut-mulut yang menjerit, mulut-mulut yang menyebut nama Tuhan telah membaur, dan ia melihat seorang lelaki berbadan besar menyeret ibunya lebih dekat ke pinggir sungai, dan menebas leher ibu tanpa ampun. Ibunya menjerit tertahan, lalu jatuh ke bawah sana, ke aliran sungai yang deras. Ibunya akan mati, ibunya telah mati, begitu saja. Kemudian giliran bapaknya yang bertubuh tegap diseret. Putri Ayende sudah tak tahan untuk melihat adegan selanjutnya, tapi kepalanya tak bisa berpaling; tak mau melihat, tapi tetap melihat. Bapak mencoba meronta, tapi tangannya terikat. Sang algojo memaki bapak, menanyakan keterlibatan bapak dalam PKI.
Beberapa waktu yang lalu bapak membawa pulang gula dan cangkul baru. Katanya dibagi-bagi oleh orang kota, tidak mungkin bapak menolak hadiah orang-orang yang ingin berbuat baik. Mereka sudah melupakan itu, seandainya malam kemarin mereka tidak digelandang dari rumah dengan tuduhan PKI karena sebuah buku besar telah ditemukan, buku besar yang berisi nama-nama orang yang telah menerima gula dan cangkul itu.
Dan di situlah mereka malam itu, ibu telah mati, bapak sebentar lagi. Belum sempat bapak membuka mulut untuk menjawab, algojo itu telah menebas kepala bapak tanpa ragu, bahkan tanpa membuka tutup kepala bapak terlebih dahulu. Badannya terkejut. Ketika parang tajam itu mengiris lehernya, kepala bapak menggelinding, badannya tak mau terima, melompat-lompat tak tentu arah sampai salah seorang dari mereka menendang badan bapak ke dalam sungai.
Putri Ayende kemudian tertawa terbahak, tidak jelas, senang, sedih, atau frustrasi, lalu Putri Ayende yang saat itu menggunakan raga Muda Samin menatap tajam ke arah istri Muda Samin. Tanpa diduga ia minta maaf pada wanita itu. Ia yang mati muda gairahnya tak mati sangat penasaran ingin merasakan tubuh laki-laki, saat Muda Samin menambang emas di dekat tempat ia digorok sesaat setelah tubuh bapaknya ditendang ke dalam sungai, ia tak bisa menahan diri. Bukan salahnya karena darah muda Muda Samin masih mengalir deras dalam tubuh lelaki itu. Putri iblis mengakhiri ceritanya, tapi tak pernah keluar lagi dari tubuh Muda Samin. Muda Samin menjerit dan mengerang seperti habis digorok sampai ia mati.
Badan Syakir, putra Muda Samin, seperti terpanggang api, tidak ayah, tidak anak, nasib tak jauh beda. Sebagaimana Putri Ayende yang pernah merasuki Muda Samin, Bantatiah juga bikin ulah, hanya ia yang telah menyatu dengan Syakir mulai mengaji dengan suara nan merdu, padahal sebelumnya Syakir buta tulisan Arab dan tak hafal surah panjang dalam kitab suci. Ia baru hafal satu-dua surah pendek untuk disetor pada guru sekolah. Di antara gigil yang tak bisa ditahan, Syakir membacakan surah Yasin dan memberi wejangan tentang Wahdatul Wujud; ia adalah Ia.
Saat seorang Teungku merukyah sambil memegang kepala Syakir, anak itu mengulangi bacaan surah Ar-Rahman Teungku lebih merdu. Teungku menjadi serbasalah, sambil meminta Bantatiah keluar dari tubuh anak itu. Bantatiah ingin keluar dan tak mau menyiksa anak kecil itu, tapi tak bisa, tangan dan kakinya telah diikat para tentara yang menyerbu pesantren. Ia juga memohon maaf, ia tidak bisa mengendalikan itu semua karena petinggi yang memerintahkan untuk menembak mati ia dan murid-muridnya masih bisa makan enak. Saat itu Teungku yang merukyah menjadi terkejut karena belum pernah mendengar kejadian semacam itu, memang ada seorang ulama bernama Bantatiah, saat itu ia masih sehat walafiat dan masih mengajari murid-muridnya. Lalu Teungku itu memutuskan bahwa jin dalam tubuh Syakir adalah jin peniru yang tak bisa dipercayai.
Orang mulai menghubung-hubungkan kedua iblis itu berasal dari tempat yang sama, yaitu Gunung Beutong. Lebih-lebih ketika Bantatiah yang menggunakan mulut dan suara anak lelaki Muda Samin mulai menceritakan perselingkuhan Muda Samin dengan Putri Ayende, sebuah cerita yang tidak wajar keluar dari mulut anak sekecil itu atau dari mulut ulama besar. Saat kesurupannya, putra Muda Samin pernah menceritakan kenikmatan yang diperoleh sang bapak saat menunggangi Putri Ayende, yang membuat sang ibu menunduk malu.
“Bapakku mengecup seluruh tubuh sang putri dan kemudian menaikinya. Mereka melenguh seperti sapi dan aku benar-benar melihat dengan mata kepalaku,” ujar sang anak terbata-bata dalam igau dengan badan sepanas tungku. Itu benar-benar pekerjaan iblis yang ingin menghancurkan keluarga Muda Samin dengan rasa malu, tak mungkin anak sekecil itu bercerita tentang persenggamaan.
Tak lama kemudian, keadaan istri Muda Samin mulai mengalami kemunduran, entah rasa malu atau pengaruh iblis Ayende. Ia menolak untuk makan dan melakukan kegiatan rumah tangga lainnya. Tak lama berselang, ia dan anaknya kejang, kemudian terbujur kaku di lantai kayu rumah mereka, mati. Orang kampung baru menemukan mayat mereka tiga hari kemudian; bau busuk membuat para tetangga nekat mendobrak pintu. Mayat ibu dan anak itu tergeletak saling berpegang tangan. Dan orang kampung memutuskan mengubur mereka dalam satu liang lahad.
Iblis-iblis itu dengan cepat memperbanyak diri, beranak pinak, membuat tetangga-tetangganya juga ikut terkena kutuk yang sama. Ada juga yang menautkan kehadiran iblis-iblis itu dengan kematian orang-orang PKI di sudut Gunung Beutong. Tapi orang-orang tak pernah membicarakannya sampai selesai. Cerita itu seperti menggantung di udara, tak berani diselesaikan atau memang tak pernah selesai. Saat itu petaka merayapi kampung kami dari rumah ke rumah. Ayende muncul dengan berbagai nama. Para nelayan tidak bisa pergi melaut karena demam, menggigil, dan sakit kepala yang tak tertahankan. Keluarga mereka menjadi kekurangan makan, yang menyebabkan anak-anak kecil menangis karena susu ibunya kering. Susu tentu tak mau keluar dari tetek ibu yang tidak cukup makan, kaum ibu makan paling akhir; setelah anak dan suaminya makan terlebih dahulu, dan makanan sisa untuk ibu, itu pun jika ada. Bayi pertama yang mati di kampung kami tidak jelas penyebabnya, apa karena gangguan iblis dari Beutong atau karena kelaparan; menurut cerita orang-orang, kulit bayi itu berkerut-kerut dengan mata membesar.
”Kampung kami yang berada di pesisir hanya dihuni nelayan dan beberapa penjual ikan keliling. Tak ada cerdik pandai di sana. Sakit adik saya semakin parah dan menularkan pada orang tua dan abang. Saat seorang mantri datang membawa pil-pil pahit, adik, abang, dan orang tua saya sudah sekarat dan tak tertolong lagi. Mereka menjerit-jerik seperti orang gila. Cuda Aminah mengakhiri ceritanya. ***
.
.
Catatan:
– beunyeut: purun tikus atau tanaman sejenis
– ulee pade: tiga tangkai padi
.
.
IDA FITRI. Lahir di Bireuen, Aceh, pada 25 Agustus. Kumcer pertamanya berjudul Air Mata Shakespeare (2016). Kumcer keduanya Cemong (2017).
.
.
Leave a Reply