Cerpen Ni Komang Ariani (Kompas, 13 Maret 2022)
KEMATIAN-KEMATIAN misterius mengguncangkan kedamaian di kota Zo. Kematian yang datang kali ini bukan kematian biasa. Kematian yang diam-diam. Di apartemen yang sunyi dengan pemilik tunggal. Tanpa rasa sakit. Dilakukan oleh orang-orang muda, yang terlihat bugar dalam kesehariannya.
Pada setiap kematian itu, anak-anak muda itu akan menulis selembar surat wasiat. “Saya mati tanpa rasa sakit dan tidak disebabkan oleh siapa pun. Kematian saya bukan merupakan kehilangan bagi kota Zo yang saya cintai ini. Saya memilih kematian yang saya rasa lebih tepat untuk saya.”
“Kami menduga ada sebuah zat terlarang yang telah beredar di tengah-tengah masyarakat.” Kapten polisi memberi keterangan kepada wartawan.
“Zat terlarang apa kapten?”
“Kami belum dapat mendefinisikannya. Kami masih dalam proses menyelidikinya. Yang jelas, zat terlarang inilah yang diminum oleh anak-anak muda yang memutuskan bunuh diri ini.”
Wali Kota Zo juga mengeluarkan pernyataan yang sama. “Kami menduga ada sindikat aliran sesat yang menyebarkan ajaran bunuh diri massal di kalangan anak muda. Kami masih terus menelusuri kasus ini.”
“Apakah sudah ada petunjuk siapakah pimpinan aliran ini?” tanya salah seorang wartawan.
“Kami sudah mendapatkan sebuah petunjuk. Namun, kami belum bisa mengumumkan kepada publik.”
Bunuh diri sporadis yang semakin bertambah di setiap distrik ini membuat orang-orang di kota Zo tidak bertingkah seperti biasanya. Seperti ada tulang nyangkut di pangkal tenggorokan. Hampir semua penduduk dewasa kota Zo mengetahuinya, namun tak seorang pun membicarakan. Mereka berharap dapat meniadakannya, dengan tidak membicarakannya.
Orang-orang kota Zo terlihat sibuk seperti biasanya. Terlalu sibuk untuk memperhatikan segala sesuatu; selalu berakrobat dengan waktu, untuk suatu tujuan di masa depan. Di kota Zo, orang-orang tidak punya waktu untuk beristirahat. Anak-anak balita sampai kakek nenek, semua sibuk dengan urusannya.
Anak-anak bersekolah semakin awal. Anak-anak umur dua tahun sudah mulai mengenyam bangku sekolah. Konon untuk merekayasa masa depan mereka yang penuh dengan kesibukan. Seperti orang tua dan kakek-nenek mereka sekarang.
Di masa depan, satu kepala manusia harus memiliki daya kreasi dan artistik yang melampaui robot, agar robot tak bisa merebut pekerjaan mereka. Pertumbuhan jumlah robot yang dibuat manusia-manusia cerdas kota Zo semakin banyak. Robot tukang masak pizza, robot tukang masak steak, robot pembersih ruangan, robot penyapa tamu restoran, robot penjaga gedung; mungkin kelak juga ada robot super pencipta robot.
Di hari-hari yang sibuk itu, orang-orang kota Zo tidak punya waktu untuk murung pada kematian. Aku tidak tahu, apakah ini sejenis spritualitas yang dimiliki kota Zo untuk menghadapi kematian. Kematian dibiarkan datang mengendap-ngendap sebagai bagian dari kehidupan.
Di masa lalu, orang-orang kota Zo hanya memandang sekilas kematian yang datang kepada mereka. Seorang ibu mati di kereta api. Seorang tukang parkir mati tersengat listrik. Dua orang anak hanyut dalam acara sekolah. Seorang pemuda meloncat dari jendela apartemen.
Aku merasa semua kematian itu menyeramkan. Namun, orang-orang terlihat tenang-tenang saja. Seorang tetangga di apartemenku menunjukkan muka sedih beberapa jenak, sebelum bergegas untuk mengejar taksinya yang menunggu di bawah.
“Angus meninggal. Kamu tidak ingin datang ke memorialnya?” Tommy menoleh sekilas.
“Aku tidak ingat yang mana Angus. Apa menurutmu tidak aneh aku datang ke memorialnya?”
Tenggorokanku menyempit. Angus dan Tommy memang tidak kenal baik. Mungkin hanya pernah bertemu sekilas di acara bazar apartemen. Kau tak datang ke pemakaman orang yang tidak kau kenal bukan? Aku tersenyum pahit dalam hati.
Orang-orang kota Zo lebih sibuk berpikir tentang masa depan. Berpikir tentang investasi. Berpikir tentang legasi untuk ditinggalkan. Mereka melewati hari ini dengan tidak banyak bergembira. Mereka jarang bergembira dari kecil sampai remaja.
Jadwal sekolah yang padat dari pagi dan sore, di tambah les-les tambahan di malam hari. Orang tua mencarikan sekolah-sekolah termahal dan terbagus untuk anak-anaknya. Jika mereka bernasib buruk menjadi orang biasa, anak-anak mereka harus memutus nasib buruk itu.
Suami dan istri bekerja setidaknya sepuluh jam dalam sehari, dan di akhir pekan mereka mempunyai pekerjaan sampingan. Aku tidak tahu mana yang duluan, semangat kerja keras orang-orang kota Zo atau apa, namun biaya hidup di kota Zo memang cukup mahal. Biaya sewa apartemen, biaya makan, harga makanan di restoran, semuanya mahal.
Keluarga kota Zo setidaknya menghabiskan satu kali makan di restoran bagus setiap hari Sabtu. Itulah satu-satunya kesenangan keluarga di kota Zo. Namun, makan setiap akhir pekan itu setidaknya menghabiskan dua puluh persen dari penghasilan mereka sebulan.
***
Aku dan pacarku mungkin dua orang yang paling aneh di kota Zo. Kami berdua jarang sekali memikirkan masa depan. Kami juga kadang-kadang menganggur. Aku desainer lepas, yang hanya bekerja kalau membutuhkan uang. Pacarku, Nami seorang make-up artis yang hanya menerima order ketika ia sedang mood.
Kami hidup normal dengan memasak makanan sederhana setiap hari. Kami jarang makan di restoran mahal, karena itu akan membuat kami bekerja jauh lebih keras dari seharusnya. Orang-orang menyebut kami sepasang yang tidak berguna. Kami sering terkekeh-kekeh menanggapinya.
“Aku mungkin saja berubah pikiran besok, enam bulan lagi atau 15 tahun lagi.” Kata Nami. “Pikiranku sering berubah. Aku merasa bebas karenanya.”
“Kita juga tidak tahu besok akan kiamat atau tidak. Ada tornado atau tidak. Ada tanah bergeser atau tidak. Kita betul-betul tidak tahu. Semut juga tidak tahu akan tersapu ke dalam wastafel sebelum air menerjang mereka. Bagaimana kalau kita mati mendadak besok.” Timpalku tidak kalah sengit.
Kemudian kami akan menyesap gelas-gelas kecil wine kami dengan santai.
***
Pukul enam pagi. Tubuhku masih lemas luar biasa ketika ada ketukan beruntun di apartemen kami. Tiga ketukan berulang yang sangat teratur. Membangunkan, tanpa mengagetkan orang yang tinggal di balik pintu. Manusia macam apa yang bisa membuat ketukan seperti itu.
“Kenapa dengan mukamu, Hector? Seperti melihat hantu.”
“Kamu ingat bunuh diri massal akhir-akhir ini. Aliran sesat menyasar orang-orang yang tidak berguna seperti kita?”
“Lho bukannya korbannya penghuni tunggal di apartemen?”
Suara ting-tong masih terus terdengar. Masih berulang dengan keteraturan yang sama. Sepertinya dilakukan oleh seseorang yang sangat penyabar, sekaligus ambisius.
“Aku merasa bukan itu. Mereka orang-orang muda. Segar-bugar. Kamu ingat isi surat wasiat mereka. ‘Kematian saya bukan merupakan kehilangan bagi kota Zo yang saya cintai ini. Saya memilih kematian yang saya rasa lebih tepat untuk saya.’ Menurutku itu surat wasiat yang paling mengerikan yang dapat ditulis oleh seseorang.”
Suara bel belum berhenti sedetik pun.
“Kita lihat dulu aja siapa yang datang.”
Aku membuka lubang kecil di pintu dan mengamati sosok tamu yang ada di hadapan kami.
Dia seorang laki-laki dengan dengan wajah yang amat simetris. Jarak antara hidung, mata, dan telinga seperti dibuat dengan penggaris. Kulitnya terlihat bersih dan terawat. Umurnya mungkin 50 tahunan dengan jas yang terlihat mahal. Kalau bertemu di area perkantoran, aku akan menduga orang ini seorang CEO. Namun, CEO macam apa yang mengetuk pintu rumah apartemen orang asing seperti ini. Pekerjaan rendahan seperti ini biasanya dilakukan seorang sales.
“Anda siapa?”
“Saya mencari Hector Reddy.”
“Untuk apa ya?”
“Saya ada penawaran untuk Hector Reddy.”
“Saya belum mau mati.” Kataku setengah berteriak.
“Anda Hector?”
“Bukan. Tapi saya belum mau mati.”
“Proposal saya tidak ada hubungannya dengan kematian.”
“Jadi ada hubungannya dengan apa?”
“Saya ingin membantu Anda menjalani hidup yang lebih baik.”
“Hidup saya baik-baik saja.”
“Tidak demikian yang saya dengar.”
“Dari mana Anda mendengar tentang saya.”
“Kami mempunyai datanya. Jadi Anda mengaku Anda sendiri adalah Hector Reddy.”
“Kalau kalian sudah punya datanya, Anda tentu tahu saya Hector. Perrgiii…. Sebelum saya panggil keamanan apartemen.” Kataku berteriak keras. Nami merangkul untuk menenangkanku.
Laki-laki berwajah simetris itu terlihat ragu-ragu.
“Perrgiiii…!” Kataku dengan suara yang lebih kencang lagi. Aku memencet alarm bahaya apartemen untuk memanggil petugas keamanan apartemen.
Laki-laki itu menyeret langkahnya pergi dengan muka terpaksa. Lima petugas keamanan apartemen tiba 2 menit kemudian.
“Ada apa Pak Hector?” tanya salah seorang petugas sambil membaca buku catatannya.
“Tadi sindikat aliran sesat hampir merayu saya untuk bunuh diri.”
Wajah kelima petugas itu tampak tercengang.
“Gawat. Bisa Anda deskripsikan ciri-cirinya?”
Aku menyebutkan ciri laki-laki berjas berwajah simetris. Salah seorang dari mereka membuat sketsa sederhana.
“Baiklah, segera akan kami laporkan ke polisi. Anda yakin, orang ini anggota sindikat aliran sesat.”
Aku mengangguk yakin. Nami memandangku dengan agak bingung.
“Bagaimana kamu bisa yakin orang itu adalah anggota sindikat aliran sesat.”
“Aku yakin.”
Muka Nami masih kelihatan bingung namun ia membiarkanku. Aku memang tidak punya bukti bahwa laki-laki simetri berjas adalah anggota sindikat terlarang, tapi aku yakin. Firasatku mengatakan begitu. Aku selalu curiga dengan orang-orang yang menawari untuk membuat hidupku lebih baik. ***
.
.
Ni Komang Ariani. Penulis kelahiran Gianyar, Bali. Ia telah menulis tujuh buku tunggal, yaitu Lidah, Senjakala, Bukan Permaisuri, Jas Putih, Ketut Rapti, Marigold, dan Telikung. Ia memenangi Lomba Menulis Cerbung Femina pada tahun 2008 dan tiga kali masuk buku Cerpen Pilihan Kompas. Cerpen-cerpennya bisa dinikmati di www.nikomangariani.com. Selain menulis, saat ini ia bekerja sebagai dosen.
Indra Gunadharma lahir di Bandung, lulusan DKV FSRD ITB. Pelukis, guru gambar/lukis, desainer grafis, dan desainer artwork interior di studio Indra Artwork. Tinggal di Tangsel. IG: indra_gunadharma
.
.
Leave a Reply