Cerpen Maya Sandita (Singgalang, 13 Maret 2022)
EMBUN turun. Dini hari baru saja pergi sebentar ini.
Perempuan itu masih dalam kusut kelindan. Matanya semalaman tak dapat terpejamkan. Terlalu banyak risau dan gebalau yang membuatnya benar-benar kacau.
Mereka ada di kamar tanpa diminta, setia di sana seolah-olah membujuk agar perempuan itu mempercepat ajalnya tiba. Namun perempuan bermata indah itu berusaha mengikat tangannya ke dipan agar tak menjangkau pisau dapur. Lain waktu ia mengunci rapat mulutnya agar tak menenggak racun serangga. Ia sadar, ia tak gila. Ia hanya sedang dilamun kecamuk hatinya.
Lingkar hitam matanya jelas jadi jejak sudah berapa malam mata itu terbuka dan menatap sesuatu yang hampa. Tak peduli ia mengarahkan pandangan ke mana, ke ponsel yang berserakan di lantai atau ke luar jendela menatapi lili yang lunglai. Keduanya seiring dengan bentuk hatinya—yang meski telah dibaluti rusuk, masih saja lalai membiarkan orang yang salah untuk masuk.
“Beri kepercayaan, Wilma. Kelak kau akan tahu bahwa kau merupa udara dalam dada. Tanpamu, jelas sudah aku takkan bernyawa.” Kalimat itu jatuh ke tanah dan menghilang, serupa embun yang baru saja jatuh dari ujung daun lili yang panjang.
Tika itu perempuan bernama Wilma ini berhasil ia rengkuh. Ia, seorang laki-laki bernama Galuh. Setiap kata yang keluar dari mulutnya begitu penuh makna dan mampu menghangatkan dada. Setiap layang pandangnya saja adalah sesuatu yang mampu membuat debar dan gejolak darah bagai ombak pantai Gandoria. Galuh membuat Wilma percaya bahwa ia adalah sosok yang sempurna.
“Lalu bagaimana?” tanya Wilma. Kala itu di langit sabit mengintip perlahan.
“Aku tak sanggup melihatmu sakit menghapus tibanya purnama.” Jawaban Galuh belumlah sempurna. Wilma terus menatap menunggu jawaban yang ingin didengarnya. “Kau saja yang ambil keputusan, Kekasih,” sambungnya lirih.
Itu bukan jawaban yang Wilma inginkan. Jawaban itu tak tegas, tak jelas. Maka ia bertanya kembali, “Apa aku akan kau nikahi?”
“Bisakah kita jalani dulu seperti ini?”
Percakapan itu disaksikan bulan sabit. Saat itu dada Wilma rasanya sangat sakit. Ia merasa runtuh seisi dunia dan dengan semena-mena menimpa dirinya yang kini tengah berbadan dua. Ia lebih dari sekadar nelangsa. Ingin rasanya malam itu ia berteriak sekeras-kerasnya, sehabis-habis suaranya.
Galuh membawanya ke kamar kontrakan kecil di pinggir kota. Di sana mereka bisa tinggal berdua berbekal surat nikah palsu yang dimiliki Galuh entah darimana.
Wilma mau tak mau harus berhenti dari pekerjaannya sebab ia tak mungkin membiarkan rekan kerjanya menyaksikan purnama muncul dari tubuhnya begitu saja. Akan jadi apa ia di mata pegawai apotek tempatnya bekerja?
Pada satu dua bulan pertama ia dan Galuh masih bisa hidup layak. Mereka bisa makan dua kali sehari meskipun tak banyak. Mereka bisa membayar kamar yang mereka kontrak. Sayangnya tabungan Wilma tak cukup untuk terus-menerus jadi sumber biaya itu semua. Galuh tak bekerja. Selama ini ia hanya bergantung pada Wilma bermodalkan cinta, kata-kata, dan mata indahnya.
“Apa kau tak bisa usaha?” tanya Wilma.
“Aku sudah katakan bahwa ijazahku ditahan. Terakhir kali aku bekerja di pabrik dan ijazah SMA-ku ditahan di sana. Sebab aku tak kuat bekerja di sana, sementara aku tak bisa keluar begitu saja. Begitupun dengan ijazahku yang ditahan mereka.”
“Maksudku tak mesti kerja di pabrik atau di perusahaan ternama. Apa kau tak punya teman yang buka usaha rumah makan? Atau mungkin usaha angkringan?”
“Kau ingin aku jadi karyawan dengan gaji yang tak seberapa? Kau mau aku jadi pelayan yang menunduk pada para pelanggan? Begitu Wilma?”
Wilma mendengar nada bicara Galuh lebih tinggi dari biasa. Ia dapat menebak, atas sarannya barusan Galuh benar-benar menolak.
“Lalu bagaimana?” tanya Wilma kemudian.
Galuh tak menjawab. Ia pergi meninggalkan Wilma dalam obrolan yang belum lagi siap.
Seminggu Galuh tak kembali. Wilma tak dapat mencari sebab bulan telah muncul separuh kini. Kakinya mulai bengkak, dadanya mulai sesak, dan tulang pinggangnya serasa hancur jika ia banyak bergerak.
Selama Galuh pergi, Wilma berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Ia merasa masih beruntung punya sedikit beras untuk ditanak menjadi nasi, meski hanya dengan garam ia taburi, Wilma merasa segalanya patut ia syukuri.
Pernah suatu ketika Wilma berpikir akan menyerah. Pada tuhan ingin bulan ini ia serahkan. Ia khawatir tak mampu memberi cukup gizi, ia khawatir akan cacat anaknya nanti. Dicobanya cara apa saja yang menurutnya mungkin bisa memusnahkan purnamanya. Tapi tuhan berkata lain. Takdir yang diberikannya pada Wilma bukan main-main.
Tubuh Wilma semakin kurus saja, sementara sebentar lagi purnama benar-benar terang di langitnya. Galuh sudah kembali kini dan tengah duduk di kamar sambil menyilakan kaki. Tangannya menopang kepala yang terasa berat agaknya.
“Aku tak punya biaya untuk kau nanti melahirkan,” katanya kemudian.
Wilma tak bergeming. Ia sudah mengira hal ini bakal terjadi. Puluhan hitungan minggu kehamilan saja jarang sekali ia makan, darimana pula laki-laki ini akan punya biaya untuknya saat melahirkan.
Wilma juga tak punya apa-apa, ia hanya punya kepercayaan bahwa tuhan tak akan menelantarkan ia dan purnamanya begitu saja.
Rasa percaya serta harap yang tak terkira itu disimpan di dada, diucap dalam doa, dan dibawa sampai ke dalam mimpi di tidur malamnya. “Tuhan, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri.” Igau yang demikian memecah keheningan malam.
Purnama tiba, ia benderang di langit kelam tanpa cahaya. Wilma malam itu bertaruh nyawa. Setelah menembus lorong-lorong rumah sakit dan menahan sakit yang meremukkan sekaligus dua puluh tulangnya.
Benar, tuhan adalah penguasa yang Maha Besar. Ia sampaikan isyarat pada ibu Wilma, ia bisikkan sesuatu ke telinganya. Di hari yang sama ibu Wilma datang dan mencari Wilma di kota. Ia temukan Laksmi, teman dekat Wilma semasa merantau ke kota besar ini. Kepada ibu Wilma, Laksmi tak mampu menutupi segala apa yang Wilma ceritakan padanya.
Masa sulit berlalu pergi. Ia pergi tanpa permisi seperti dulu ia datang menyambangi. Wilma beruntung ibu dan ayah menerima Wilma dengan keadaannya. Mereka pun menerima Galuh setelah Wilma berkata, “Wilma tak mau Lili bingung dan menanyai kemana ayahnya pergi.”
Kuntum Lili yang lahir dari purnama kini tumbuh bersama Galuh dan Wilma. Dalam keluarga kecil ini, Lili mekar dan harumnya menguar ke udara. Ia adalah gadis kecil yang cantik. Lagi-lagi Wilma benar-benar beruntung tuhan memberikan kesempurnaan pada anaknya setelah perjalanan berat yang dilaluinya.
“Wilma, kali ini aku minta restu darimu.” Galuh berkata suatu waktu.
“Untuk?” tanya istrinya.
“Izinkan aku kembali merantau ke kota. Di desa aku benar-benar tak tahu harus melakukan apa. Selama menikah, kita banyak sekali bergantung pada ibu dan ayah. Kupikir, jika aku merantau ke kota, aku bisa dapat kerja dan hidup kita akan berubah.”
Wilma tak ragu sama sekali. Ia yakin Galuh serius kali ini. Dua tahun lamanya rumah tangga yang baik mereka jalani, Galuh memang mencoba untuk bertani. Tapi ia bukan laki-laki yang besar di keluarga petani. Tentang sawah dan padi ia tak mengerti sama sekali. Pekerjaan yang lain telah ia coba pula, menjadi tukang bangunan atau kerja lain yang serabutan. Tapi tetap saja Galuh merasa tak kerasan. Lagipula dengan semua usaha yang sudah ia lakukan, tak juga terpenuhi segala keperluan.
Di pagi Februari Wilma melambaikan tangannya pada seorang lelaki dalam mini bus yang akan mengantar Galuh ke bandara. Lili didekapnya. Di mata Lili, ia jelas terlihat sedih sekali. Tapi Wilma menguatkannya, “Ayah akan pulang. Sementara Lili dengan bunda saja, ya?” Lalu sebuah kecupan didaratkan di pipi kenyalnya.
Demikian cerita yang jelas terkenang. Cerita yang dalam luka Wilma pagi ini berenang-renang. Luka itu sudah bernanah dan ia menggenang. Busuk sekali. Wilma jijik tiap mengingat bagaimana ia rela dan menaruh percaya yang tinggi sekali saat Galuh pergi. Ia percaya Galuh akan kembali, tapi nyatanya seminggu yang lalu ia menerima telepon dari seseorang bernama Rasti.
“Dengan Mbak Wilma?” tanyanya dari seberang sana.
“Iya, saya. Ini siapa? Ada yang bisa saya bantu?”
Setelah ia mengenalkan namanya, Rasti bercerita tentang dirinya dan menyebut-nyebut nama seseorang yang selama sembilan bulan ini Wilma tunggu kabarnya.
Apa yang didengar Wilma sungguh mematahkan hatinya, meluluhlantakkan hati dan perasaannya, meremukkan tulang lebih banyak daripada saat ia melahirkan anaknya. “Saya tengah mengandung anak Mas Galuh,” begitu kalimat yang menjadi belati penusuk dadanya.
Rasti meminta Wilma untuk mengikhlaskan Galuh memperistrinya demi tanggung[1]jawab yang dijanjikan Galuh padanya. Rasti menangis dan berharap Wilma akan mengabulkan permintaannya. Berkali-kali permintaan itu dan bertali-tali kata-kata itu.
Wilma meminta Rasti agar Galuh mengatakannya sendiri. Ia tak bisa percaya begitu saja dengan Rasti. Siapa saja bisa saja hanya mengerjainya dengan cara seperti ini. Ia butuh penjelasan Galuh langsung padanya sebagai seorang suami, sebagai seorang laki-laki yang berani.
Tidak butuh waktu yang lama, malam itu juga Galuh menelepon setelah sekian lamanya ia menghilang dari kehidupan Wilma. Dulu ia beralasan belum dapat pekerjaan dan ponsel pun ia tak punya. Hanya sekali ia menelepon dan hanya untuk mengatakan hal itu. Ia pinjam ponsel temannya demi mengatakan itu pada Wilma.
Kali ini semua yang dikatakan Galuh nyata berbeda. Ia menjatuhkan talak pada Wilma, menceraikannya lewat udara. “Padamu aku tak pernah punya rasa. Apa selama ini kau tak bisa merasa? Menikahimu aku terpaksa. Jika bukan demi Lili, sudah lama pernikahan kita kuakhiri.”
Hati Wilma hancur bukan main. Dadanya jadi panas terbakar api yang semakin besar dan mengganas.
Matanya pedas, lalu butir-butir air mengalir dan dengan segera menjadi hujan yang sangat deras.
Malam-malam ia lalui. Pintu kamar ia kunci. Ia dengar Lili membujuknya untuk makan atau dengan merengek berkata, “Bunda, Lili rindu sekali.”
Hingga dini hari tadi, sebelum ponsel hancur berserakan di lantai, Wilma masih berusaha mengirim pesan pada seseorang yang masih dianggapnya sebagai suami, “Tak bisakan semua ini kita perbaiki? Ini demi Lili. Demi Lili.” Pesan itu dikirim berkali-kali sebab telepon tak kunjung diangkat Galuh ataupun Rasti. ***
.
.
Batam, 22 November 2020
.
.
Cerpen Seorang Wanita Bernama Wilma karya Maya Sandita sebelumnya terbit di Singgalang edisi Minggu, 13 Maret 2022.
.
.
Leave a Reply