Cerpen, Fajar Makassar, Ridwan Hasan Pantu

Harta Terakhir Karaeng Ca’di

Harta Terakhir Karaeng Ca'di, Cerpen Fajar Makassar

Harta Terakhir Karaeng Ca'di ilustrasi Fajar Makassar

5
(4)

Cerpen Ridwan Hasan Pantu (Fajar Makassar, 06 Maret 2022)

TEPAT ketika suara terompet kapal Pelni Tilong Kabila menggema dari pelabuhan, lelaki ringkih dengan sorot mata redup muncul di halaman rumahku. Tanganku yang sedang mengelap kenalpot motor honda GL 100 peninggalan bapakku hingga mengilap, terhenti.

Aku bangkit mendekati lelaki itu. Orang-orang menjulukinya “Karaeng Ca’di”—mungkin karena perawakannya yang bertubuh kecil seperti anak remaja berwajah tua.

Sebenarnya, sudah empat kali ia datang. Tak pernah kuhiraukan. Namun kali ini, aku coba melayaninya. Mungkin ada suatu hal yang penting yang ia butuhkan.

“Temani saya ke Galesong. Nanti kau dapat imbalan,” katanya dengan suara serak sekering angin Muson pagi itu.

Aku bergeming. Pikiranku menimbang-nimbang beberapa rencana yang akan kulakukan hari ini dan esok. Menjadi kuli porter di pelabuhan sore ini—lumayan untuk menambah uang bensin walau punggungku pegal pagi harinya; esoknya memimpin rapat BEM pasca keruntuhan rezim Orba.

Lelaki paruh baya itu masih menanti jawaban sambil menggaruk lengannya dengan kukunya meninggalkan garis putih di kulit gelapnya yang kering.

“Cuma temani Karaeng pulang pergi, to?”

“Iya. Kalau urusan beres, kau dapat imbalan yang cukup untuk bayar sekolah.” Mungkin maksudnya bayar kuliah.

Bagaimana mungkin lelaki itu masih memiliki harta setelah apa yang menimpa hidupnya?

“Masih ada simpananku di sana.” Kareaeng Ca’di seolah membaca pikiranku.

Entah “simpanan” apa maksudnya. Harta ataukah wanita. Yang jelas, seperti ada kilatan di mataku mendengar kata itu. Tanpa babi-bu, kain lap kulempar, bergegas mengantar Kareang menuju ke tempat impiannya.

Dari sini ke Galesong hanya butuh waktu yang hampir sama untuk mencuci dan memoles motor kesayanganku itu hingga kembali kinclong.

Baca juga  Tiada Tuhan selain Keinginan

Perjalanan ke Selatan pun dimulai. Di boncengan motor, Karaeng memelukku erat seperti kekasih yang sedang melepas rindu berat. Motor kesayangan kupacu lebih cepat. Daun-daun trembesi di sepanjang jalan menjelma lembar-lembar uang kuliah yang akan kuterima.

Memasuki daerah pinggiran pantai, Kareang Ca’di menepuk bahuku. Kami berhenti di sebuah kampung. Tepat di depan sebuah rumah dengan halaman luas dipenuhi pohon bugenvil. Kelopak ungunya berserakan memenuhi permukaan tanah.

Karena tak mendapatkan jawaban salam dari tuan rumah, kami memutuskan duduk di bale-bale depan rumah itu. Katanya, ini rumah istri ketiganya. Namun, tak terlihat tanda-tanda rumah ini berpenghuni.

Karaeng Ca’di duduk sambil menarik-narik janggut putihnya. Ia masih terlihat sehat untuk seusianya. Pandangannya jauh ke arah laut. Sesekali ia mengetuk-ngetuk kepalanya dengan kepalan tangannya.

Walaupun kami tinggal satu RW, aku tak banyak tahu tentang Karaeng Ca’di hingga ia membagikan kronik hidupnya saat ia mabuk di pos ronda suatu malam.

Dahulu, ia orang berada. Rumahnya pun yang paling megah di wilayah kami. Kami tak tahu apa pekerjaan Karaeng sebenarnya. Selentingan kudengar, ia bekerja di kapal penangkap ikan.

Namun, perlahan kejayaannya runtuh. Istrinya—yang belakangan kutahu istri ke dua—meninggal tersebab borok yang menggerogoti tubuhnya. Penyakit gula kata orang-orang.

Hartanya perlahan menyusut bukan untuk pengobatan istrinya, lebih karena hobi Kareng membeli porkas.

Anak gadisnya kawin lari ke perbatasan Serawak karena uang panai yang dipatok orang tuanya tak terjangkau oleh sang lelaki pedagang baju cakar yang menggebu-gebu itu.

Rumah megahnya disita bank karena menunggak utang. Kareang Ca’di tinggal di gubuk kecil di samping tembok SD Inpres.

“Ayo!”

“Kemana lagi, Karaeng?”

“Terus saja. Nanti saya kasih tahu!” Wajahnya menyiratkan seringai harimau tua.

Baca juga  Bangkai

Hari semakin panas. Tenggorokanku mengering. Orkestra dalam perutku mulai terdengar. Kedua mata ini mulai kehilangan fokusnya. Alhasil, ban motorku beberapa kali melindas tahi kerbau dan masuk lubang jalan.

“Sebenarnya kita mau kemana, Karaeng?” Motor kuhentikan tiba-tiba.

“Di sini. Ayo turun!” Karaeng Ca’di tiba-tiba locat dari boncengan, melangkah dengan cepat menuju sebuah rumah panggung.

Lelaki tua itu nyelonong ke rumah tanpa salam. Aku mengekor.

“Ipah. Saripah!” Lelaki serampangan itu memanggil tuan rumah.

“Ipah!” Kareang Ca’di menggedor pintu kamar. Begitu keras hingga seolah-olah jantungku ikut terkena gedoran tangannya.

Rumah berlantai papan reyot ini ikut berguncang. Keadaan rumah ini terlihat menyedihkan persis nasibku hari ini. Langit-langit dipenuhi sarang laba-laba serupa hasil tenunan kapas karya masterpiece.

“Saripah. Kasih tahu bapakmu. Saya datang menagih upahku membuat perahu. Bapakmu sudah berjanji akan membayarnya setelah maulid. Di mana dia? Jangan kau sekongkol. Saya tahu bapakmu melarikan diri. Oh, Saripah. Keluar kau!”

“Sudahlah, Karaeng. Bukankah tidak sopan kita bersuara keras di rumah orang?” Aku menepuk pundaknya yang mengeras itu. Seketika dadaku terkena sikuannya.

Tanganku segera meraih tiang rumah kemudian mencengkeramnya dengan sisa-sisa tenaga. Penglihatanku kabur. Dadaku terasa panas. Maag kronisku kambuh.

Langit-langit terlihat runtuh menimpa mataku ataukah kepalaku sudah rebah di lantai papan. Aku menutup mata. Samar kudengar Kareang Ca’di masih memanggil-manggil nama wanita itu. Perlahan aku kehilangan kesadaran.

***

“Alhamdulillah, kakak sudah bangun.”

Terdengar suara perempuan saat kubuka mata. Entah di mana aku berada.

Aku mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum aku pingsan. Tak ada Kareang Ca’di. Tak ada sarang laba-laba. Ruangan ini bersih. Di sampingku seorang gadis dengan gigi gingsul tersenyum.

Baca juga  Neraka Bersarang di Mataku

“Di mana Kareang Ca’di?” Aku coba bangkit.

“Maafkan bapak saya, Kak. Keluarga sudah amankan dia di kampung.”

“Saya tidak mengerti? Siapa kau, Dek? Siapa pula itu Saripah?”

“Saya Indah. Anaknya Karaeng Ca’di dari istri pertama, almarhumah Saripah. Bapak setiap minggu datang kemari kemudian teriak-teriak di rumahnya orang untuk menagih utang yang sudah lama, sejak Bapak masih muda. Saya tidak tahu apa utangnya sudah dibayar atau belum. Tapi kata orang, tidak ada utang piutang itu. Bapak sudah tidak waras. Maafkan bapak saya, Kak,”

Aku melihat jam di tanganku. Suara azan Asar terdengar dari kejauhan. Gadis itu menyodorkan segelas teh. Setelah menghabiskan setengah gelas, aku pamit pulang.

“Saya ikut, Kak,” pintanya dengan senyum yang membuat hatiku bimbang.

Aku memijat kening. Kesialan apa lagi yang akan kudapatkan jika aku mengiyakan. Senyumku mengembang. ***

.

.

Serambi Madinah, 27 Februari 2022

RIDWAN HASAN PANTU, menulis cerpen, puisi, novel, resensi, dan esai. Buku solo terbarunya berjudul Back to Makassar. Bisa disapa di fb dan IG: Rh pantu. Korespondensi: rh26pantu@gmail.com

.

.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 4

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!