Cerpen Alief Irfan (Radar Bojonegoro, 13 Maret 2022)
MALIING… malingg…!
Seluruh Kampung Kalisari gaduh. Semua warga berteriak. Memukul benda apa pun bisa mengeluarkan suara keras. Mulai dari kentongan, ompreng, hingga wajan. Seluruh warga mengejar satu maling sudah lama meresahkan kampung. Para warga bertekad tidak akan membiarkan maling itu lolos malam ini.
NAMUN, lagi-lagi maling itu hilang dari pandangan warga, meskipun Kang Surip sempat menangkap dan membuka penutup kepala maling itu. Meski bertubuh kecil, maling itu memiliki tenaga besar. Saat maling itu berhasil kabur, para warga kembali mengejarnya. Sayangnya, kesaktian maling itu berhasil membuat dia lolos.
***
Suatu pagi, di Pondok Kalisari. Kiai Maksum pengasuh pondok, membangunkan santrinya untuk Salat Tahajud. Semua santri tergeragap bangun saat mendengar derap langkah Kiai Maksum. Namun ada satu santri masih molor, menutupi kepalanya dengan sarung. Tetap tak bergeming, meski Kiai Maksum memukuli kakinya dengan rotan.
Kiai Maksum tetap di asrama, memastikan semua santrinya sudah ke masjid untuk Salat Tahajud. Tetapi sampai asrama kosong, santri yang molor tadi, tetap di tempatnya. Kiai Maksum tidak kehabisan cara, menutup kedua hidung santri itu dengan jari tangannya. Santri itu tampak kesulitan napas, lalu bangun.
Betapa kagetnya ia, ketika melihat Kiai Maksum di hadapannya, dan mengetahui kamar telah sepi. “Ayo segera ambil air wudu.”
Santri itu pun segera melesat keluar menuju kamar mandi. Kiai Maksum mengikutinya, agar santri tersebut gerak cepat dan tidak kehilangan waktu subuh. Setelah wudu, santri itu seperti kebingungan apa harus dia lakukan.
“Ayo langsung ke masjid. Sampean yang terakhir ini.”
Santri itu tetap bingung, bahkan sekarang agak ketakutan. “Sampean santri baru ya, siapa namamu?”
“Basori,” jawab santri itu singkat.
“Ayo langsung ke masjid, ini sudah mau azan Subuh.”
Santri bernama Basori itu pun membuntut kiai menuju masjid, ikut melaksanakan jamaah Salat Subuh. Ikut mengaji tafsir ba’da subuh.
***
Suatu Jum’at ketika dilaksanakan pengajian umum, Kang Surip mengamati salah satu santri Kiai Maksum tak asing baginya. Ia seperti pernah melihat wajah, rambut, dan perawakan santri itu. Kang Surip teringat sesuatu. Ia pun segera memberitahu beberapa warga. Para warga akhirnya menangkap santri itu dan membawanya ke hadapan Kiai Maksum.
“Ini adalah maling yang selama ini kita cari, Kiai.”
Kiai Maksum sontak kaget laporan warga. Santri bernama Basori ini ternyata maling sudah lama dicari-cari warga. Siapa yang bisa menyangka seorang maling malah mendapatkan petunjuk untuk melarikan diri ke pondok pesantren. Kiai Maksum memastikan dengan bertanya sendiri kepada Basori, dan benar—Basori mengaku kalau dirinya maling pernah ditangkap Kang Surip.
Hidayah Allah memang tidak ada yang tahu. Maling juga manusia dia juga berhak mendapatkannya jika Allah kehendaki. Dan, Basori adalah sedikit dari banyaknya maling punya pikiran tinggal di pondok. Ia aktif mengikuti semua kegiatan pondok pesantren. Badannya tampak dekil sewaktu menginap kali pertama. Kini juga sudah tampak lebih bersih dari biasanya. Wajahnya kereng kini perlahan mulai luntur, menampakan wajah bersahaja.
“Begini saja, kalau dibolehkan saya ingin para warga memaafkan Basori ini. Dia manusia biasa, bisa berbuat salah. Beberapa hari ini, saya melihat Basori ini, punya niatan bertaubat. Saya mohon ikhlasnya agar para warga tidak membawa perkara ini ke polisi. Biarkan Basori tetap nyantri di sini. Untuk barang atau uang pernah dicuri Basori, biar nanti saya yang ganti.”
Para warga tak mungkin membantah pengendikan Kiai Maksum pun setuju. Meski ada beberapa warga tetep dongkol hatinya karena ingin melibas pemuda gencar mencuri di desa itu.
Kiai Maksum memang sosok sangat terkenal budi pekerti dan kesabarannya. Usia senja beliau masih sering sekali mau menanggung beban para jamaah pengajiannya. Memenuhi kebutuhan hidup seorang beliau ketahui sedang kekurangan.
Kiai Maksum sendiri sering sekali terjun langsung ke masyarakat. Datang dari pintu ke pintu. Memastikan kebutuhan sandang, pangan masyarakat sekitar pondok terpenuhi.
***
Pengajian pagi pun dimulai seperti biasa, para warga menyimak dengan khidmat, kitab Sulam Taufiq yang dibacakan oleh Kiai Maksum. Di tengah-tengah pengajian ada satu warga berteriak sangat keras disusul warga yang lain.
“Maling…! Maling!”
Beberapa jamaah berdiri dan lari mengejar Basori membawa kabur motor kesayangan Kiai Maksum.
Kiai Maksum berdiri dari tempat duduknya. Memandang para warga sudah berlari ke utara mengejar Basori. Beliau menahan hatinya untuk tenang dan bersabar, tapi tetap terasa nyeri. Itu adalah motor C70 peninggalan almarhum abahnya yang selalu menemani beliau pengajian, mengisi acara dari kampung ke kampung.
“Sudah. Sudah biarkan yang lain mengejar, yang masih duduk mari kita lanjutkan pengajian ini.”
Begitu perkasa Kiai Maksum memerangi hawa nafsunya ingin berontak tidak terima atas keadaan pagi ini. ***
.
.
ALIEF IRFAN. Santri Ponpes Manbail Huda dan lulusan SMO Mitra Karya aktif di dunia literasi. Karyanya dimuat di berbagai media massa dan terbit menjadi beberapa buku.
.
.
WORO-WORO
Radar Bojonegoro menerima kiriman cerpen dengan panjang 1.600 kata. Dikirim email: lembarbudayaminggu@gmail.com
.
.
Leave a Reply