Cerpen, Muhammad Subhan, Suara Merdeka

Tentang Seorang Lelaki yang Mati di Tepi Hutan

Tentang Seorang Lelaki yang Mati di Tepi Hutan - Cerpen Muhammad Subhan

Tentang Seorang Lelaki yang Mati di Tepi Hutan ilustrasi Hery Purnomo/Suara Merdeka

5
(5)

Cerpen Muhammad Subhan (Suara Merdeka, 13 Maret 2022)

SEBELUM mati, lelaki itu menduduki sebuah kursi dan memejamkan matanya di sana. Ia menahan perih di dada. Ketika ia telah benar-benar mati, sekawanan kera menyeret tubuhnya ke liang lahad. Kera-kera itu menggali tanah, menjatuhkan tubuh lelaki itu, lalu menimbunnya.

Kawanan kera yang mengantar jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir adalah kera yang sehari-sehari menjadi sahabatnya. Kera berbadan besar, berekor pendek—jika dihitung sekira berjumlah dua puluh ekor—setiap pagi selalu mendatangi gubuknya.

Mulanya laki-laki itu risi, juga takut, sebab mereka mengusik dan berisik sekali. Tak jarang kera-kera itu memanjati dinding, menaiki atap, nyelonong lewat pintu dapur maupun jendela, dan terakhir nongkrong di sebatang pohon ceri tua di samping gubuk lelaki itu. Awal perkenalan yang tidak terlalu baik.

***

Pertama kali bertemu kawanan kera, lelaki itu terpekik. Sebaliknya, kera-kera itu juga menjerit dengan suara khas mereka, lalu berhamburan ke sana kemari lalu menghilang masuk ke tengah rimba. Beberapa hari kawanan kera itu tak kembali. Namun, ternyata tidak lama.

Suatu hari, ketika laki-laki itu sedang menyiangi ilalang di pekarangan, kera-kera itu datang. Mereka saling menatap. Mulanya laki-laki itu takut, tetapi ia berusaha tenang dan tersenyum. Kawanan kera menyambut senyumnya. Itulah awal persahabatan mereka.

Didorong keterpaksaan, lelaki itu akhirnya menerima kehadiran sahabat barunya. Ia telah menganggap mereka seperti keluarganya sendiri dan ia tidak kesepian lagi.

Lelaki itu dan kawanan kera tidak lagi ribut. Ia paham bahwa kera-kera itu membutuhkan makanan yang mungkin saja telah berkurang, atau tidak tumbuh karena diserang hama, atau penebang-penebang liar berhati iblis telah merusaknya.

Sebagai tanda persahabatan, lelaki itu berinisiatif membeli buah-buahan ke kota, berkarung-karung, dan ia berikan dengan sukarela sebagai hadiah kepada kawanan kera. Tentu saja, kera-kera itu senang sekali. Mereka makan dengan lahap. Dan, setelah itu mereka menjadi sangat jinak.

Baca juga  Jemari Kiri

Namun, meski begitu, yang namanya hewan, mereka susah diatur. Tak jarang tanaman yang ditanam laki-laki itu di pekarangan gubuknya rusak dijamah mereka. Hanya sekandang ayam dan itik yang tak berani diganggu kera-kera itu, karena di sana ada dua anjing berbadan besar yang selalu menyalak garang bila ada makhluk asing yang mendekatinya.

***

Sehari sebelum kematiannya, lelaki itu menemukan seekor anak kera terluka dan induknya menjerit-jerit seperti meminta tolong. Tubuh anak kera itu berlumur darah. Sepertinya peluru senapan angin telah ditembakkan seseorang dari dekat dan bersarang di tubuhnya.

Induk kera bersama kawanannya yang lain, hari itu menggedor-gedor pintu gubuk lelaki itu dan melepaskan anaknya yang lunglai di lantai. Induk kera menarik-narik tangan lelaki itu, seolah meminta tolong agar ia menyelamatkan anaknya.

Mulanya lelaki itu bingung. Namun, didorong rasa iba, lelaki itu sigap menyiapkan peralatan medis seadanya untuk menyelamatkan nyawa si anak kera. Ia ambil perban, obat merah, pisau, juga air bersih.

Bagai seorang dokter ahli bedah ia menyelesaikan pekerjaannya, disaksikan wajah cemas induk kera, juga kawanan kera lainnya yang tidak terlalu mengerti apa yang sedang terjadi. Waktu berjalan dengan sangat dramatis.

Anak kera itu sudah tidak sadarkan diri, atau memang telah mati. Namun, syukurlah, setelah proses bedah kilat itu, keajaiban Tuhan terjadi. Tiba-tiba kedua tangan anak kera bergerak. Nadinya berdenyut. Dia belum benar-benar mati. Dadanya terlihat naik-turun menandakan napasnya masih ada. Jantungnya berdetak, hingga kemudian kedua matanya terbuka meski terlihat sangat lemah.

Si induk kera seketika melompat ke pelukan lelaki itu, seperti mengucapkan terima kasih, dan laki-laki itu tersenyum bahagia. Ia tidak terlalu yakin setelah aksinya itu nyawa si anak kera benar-benar tertolong.

Baca juga  Jalan Sunyi Menuju Mati

***

Suatu malam, lelaki yang mendiami gubuk di tepian hutan itu diserang meriang. Tubuhnya panas dingin. Ia menggigil. Kepalanya ia rasakan sakit sekali. Perutnya mual. Bumi berputar dalam pandangan matanya.

Di ranjang, ia miringkan badan, dan tangannya meraih laci meja yang menyimpan obat pereda demam. Dia mengira sakitnya sakit biasa—karena sebelumnya ia sering demam lantaran berpanas-hujan—tapi tidak di hari itu. Ia benar-benar berhadapan dengan maut.

Tak seorang manusia pun tahu ia sakit, karena ia telah lama memutuskan berjarak dengan manusia, kecuali pada saat ia pergi ke pasar. Di detik itu, tubuhnya semakin melemah. Gelas berisi air di meja yang ia raih dengan tangan bergetar tak terjangkau, kemudian tersenggol ujung jarinya lalu gelas itu jatuh dan pecah. Lantai basah.

Anjing piarannya menyalak mengabarkan sebuah pertanda. Gubuknya diselimuti kabut keheningan. Angin gunung menampar daun jendela yang belum sempat ia tutup. Udara dingin membawa gigil, dan semalaman ia masih bertahan, meski tak dapat tidur, mengigau.

Keesokan harinya, menjelang senja, ia benar-benar meregang nyawa, setelah ia berhasil bangkit dari ranjang lalu duduk di kursi. Jasadnya terkulai tak berdaya.

***

Sebelum kematian lelaki itu, kedua bola matanya membayang wajah seorang perempuan muda berparas cantik bersama seorang gadis kecil di sebuah rumah mungil di kota. Dua perempuan yang sangat ia cintai meski kemudian ia memilih pergi meninggalkan rumah yang ia bangun dengan keringatnya sendiri.

“Biarkan aku pergi. Kau jaga putriku!” ujar lelaki itu, membungkus pakaiannya kemudian menutup pintu tanpa menoleh ke belakang.

“Tidak! Jangan pergi. Kumohon, maafkan aku!” teriak perempuan itu.

Lelaki itu benar-benar pergi. Ia tak pernah kembali lagi. Rumah yang ia cita-citakan sebagai surga dunia bersama istri yang baik dan anak-anak yang menjadi cahaya di hatinya, pupus sudah.

Baca juga  Renjana Rindu Datang Memburu

Istrinya memilih laki-laki lain dan menikam jantungnya dari belakang. Istrinya berselingkuh. Kemudian, untuk meredam kemarahannya, dia datangi hutan sebagai pelarian. Sejak itu ia tak percaya lagi kepada makhluk bernama perempuan.

Meski sedemikian besar dendam kesumatnya, wajah lain yang tak dapat ia lupakan adalah putri cantiknya. Gadis kecil itu teramat sangat ia cintai.

Demi putrinya ia sudah bertekad pulang untuk membawa pergi anaknya dari mantan istrinya. Dia mempersiapkan rencana. Dan, ketika ia mengenang gadis kecilnya itu menjelang ajalnya, air mata lelaki itu tumpah sederas-derasnya, menganaksungai, membasahi kedua pipinya yang telah dingin.

Bola matanya meredup sebelum semua menjadi gelap.

***

Di dunia paling hampa, laki-laki itu merasakan ada sesuatu yang menyeret-nyeret tubuhnya, menuju liang pemakaman, dan tangan-tangan yang menariknya adalah tangan sekawanan kera. Kera-kera itu menguburnya secara terhormat, layaknya perlakuan makhluk paling beradab yang memiliki rasa perikemanusiaan. ***

.

.

Padang Panjang, Januari 2022

Muhammad Subhan menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan artikel di sejumlah media massa lokal dan nasional. Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017, puisinya terpilih tiga terbaik Banjarbaru Rainy Day Literary Festival 2019, tiga esai terbaik Festival Sastra Bengkulu 2019, Penerima Anugerah Literasi dari Pemerintah Provinsi Sumatra Barat 2017, dan Penerima Pin Emas sebagai Pegiat Literasi dari Wali Kota Padang Panjang 2018. Buku cerpennya “Bensin di Kepala Bapak” (2021). Saat ini bermastautin di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat.

.

.

Tentang Seorang Lelaki yang Mati di Tepi Hutan. Tentang Seorang Lelaki yang Mati di Tepi Hutan. Tentang Seorang Lelaki yang Mati di Tepi Hutan.

Loading

Average rating 5 / 5. Vote count: 5

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!