Cerpen Putu Wijaya (Jawa Pos, 03 Januari 2010)
TAK terasa 2010 datang. Semua orang bertanya, apa yang akan terjadi?
“Kalau boleh memilih, lebih baik para koruptor, manipulator tertidur pulas semuanya. Negara kita akan aman. Ketimbang banyaknya para dermawan yang rajin menyumbang bencana alam ataupun kemiskinan, yang akhirnya jadi dagelan, karena semua jatuhnya bukan ke tangan korban yang sebenarnya!” kata seorang tetangga.
Saya manggut-manggut.
“Setuju. Tapi kalau dipikir-pikir, segala bencana yang menimpa kita itu sebenarnya sebuah pembelajaran!” jawab saya, “Bayangkan, dengan adanya berbagai rongrongan, justru hukum kita, para cendekiawan kita, para politisi kita, bahkan juga wartawan dan rakyat jelata, jadi terlatih untuk bersikap awas dan kritis! Ya, nggak?!”
Tetangga itu ganti manggut-manggut.
“Memang dalam ilmu persilatan, pendekar-pendekar dari Shaolin itu berlatih dengan cara disiksa! Tapi bangsa ini kan bukan pendekar silat. Jangankan main silat, memainkan lidah saja tidak mampu karena tiap hari sudah kena tipu. Yang kita perlukan di tahun 2010 adalah kiamatnya kejahatan, matinya semua koruptor dan manipulator, termasuk pemimpin-pemimpin yang hanya memperkaya dirinya sendiri! Supaya rakyat banyak bisa hidup! Selama mereka yang hidup kita akan terus dikubur!”
Tanpa peduli reaksi saya tetangga itu kontan cabut pergi. Saya lalu pulang dan menjual kembali obrolan itu di rumah.
“Jadi kita wajib mensyukuri juga segala rongrongan yang sudah terjadi, karena berkat itulah kita menjadi dewasa. Lihat saja, kalau tidak ada pencuri yang membobol rumah kita, kita tidak akan pasang terali besi, sehingga ketika tetangga-tetangga habis disikat oleh pencuri, satu-satunya yang selamat adalah rumah kita ini,” kata saya berpidato di depan siapa lagi kalau bukan istri.
Tapi seperti biasa, istri saya sama sekali tidak menanggapi. Saya terpaksa mencari anak saya.
“Bagaimana pendapatmu, Ami?”
“Tentang apa?”
“Apa yang kamu harapkan akan terjadi di tahun 2010?”
“Hanya satu!”
“Apa?”
“Bapak beli mobil!”
Saya kecewa.
“Jawaban kamu menunjukkan bahwa kamu juga sudah terperangkap pada kebutuhan materi! Semua diukur dengan mobil. Kamu payah, Ami!”
Ami tertawa.
“Habis yang ditanya harapan.”
“Memang! Tapi jangan salah! Harapan itu bukan mimpi. Itu namanya ngelamun. Harapan itu keinginan keras untuk mewujudkan sesuatu yang ada hubungannya dengan kebersamaan. Jangan hanya untuk kepentingan diri sendiri, thok!”
Saya hampir saja memberi kuliah panjang lebar, keburu istri saya muncul dari rumah tetangga.
“Bapak kok belum berangkat juga?”
“Ke mana?”
“Ya nengok tetangga yang diopname itu. Nanti dia keburu pulang!”
“Orang sudah mau pulang buat apa lagi ditengok?”
“Justru harus ditengok sebelum pulang. Itu yang disebut silahturahmi. Kalau terlambat, nanti didahului keluarganya yang sudah siap-siap mau jemput. Ayo cepetan ke situ, sebelum dia pulang. Dulu kan dia yang paling rajin nengok waktu Bapak sakit?! Cepet!”
Saya terpaksa buru-buru ganti pakaian, lalu keluar rumah.
“Naik apa?”
“Naik ojek saja. Nanti orangnya keburu pulang!”
Istri saya mengulurkan ongkos ojek.
“Cepet!”
Saya menyambut uang itu, lalu terbang. Tapi di mulut jalan yang biasanya ramai tukang ojek, sama sekali sepi. Setengah jam saya menunggu, tak satu pun hidung tukang ojek yang nongol. Karena tidak sabar, akhirnya saya naik angkot.
Tapi begitulah angkot. Tiap sebentar berhenti, seperti anjing yang tiap beberapa meter kencing. Belum lagi jalanan macet. Bahkan angkot sengaja masuk ke terminal dan antre di belakang angkot-angkot lain untuk menjaring penumpang yang dengan malasnya turun dari bus.
Hampir dua jam saya baru sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke kamar yang menurut istri saya dihuni tetangga kami, orangnya sudah pergi. Di tempat tidurnya sudah ada pasien lain.
“Baru saja pulang, Pak,” kata perawat.
Saya misuh-misuh, lalu berbalik pulang. Saya langsung ke rumah tetangga yang sakit itu. Anehnya, rumah itu juga sepi. Kata yang jaga rumah, semua baru saja berangkat ke rumah sakit untuk menjemput. Amat membingungkan. Setelah dicek dengan teliti, ternyata kamar yang tadi saya masuki salah.
Gila. Tergopoh-gopoh saya kembali ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi, saya terlambat. Kamar itu sudah kosong. Dengan heran, perawat yang sama memberi keterangan yang sama: “Baru saja pulang, Pak!”
Dengan amat sangat kesal saya keluar dari rumah sakit. Untuk mengobati hati saya yang luka, saya tidak segera pulang. Pulang juga tidak ada gunanya, hanya akan didamprat istri. Saya coba menenangkan otak dengan jalan-jalan ke mal. Meskipun dihina banyak orang bahwa mal-mal yang balapan –bahkan maksa-maksa– berdiri di semua kota sudah membunuh pasar tradisional, nyatanya pusat perbelanjaan itu menjadi hiburan buat rakyat jelata.
Tapi, tak disangka-sangka, ketika masuk restoran mau makan ayam goreng buatan Amerika, saya berpapasan dengan tetangga yang sakit itu. Ia kelihatan lebih sehat dari orang sehat. Saya tak habis pikir, orang sebugar itu kok masuk rumah sakit.
“Pak Amat mau ke mana?”
“Habis dari rumah sakit, mau nengok Anda. Tapi katanya baru saja pulang. Sudah sembuh ya?”
Dia tertawa.
“Belum.”
“Belum kok sudah gentayangan di mal?”
“Ya itulah gunanya mal. Ini rumah sakit yang paling baik untuk cuci mata dan cuci otak di samping cuci kantong. Ya kan, Pak?”
Dia tertawa lagi dan mengguncang tangan saya.
“Jadi?”
“Saya mau pindah ke rumah sakit lain. Di situ tidak betah. Perawatnya judes-judes. Tapi, sebelum masuk rumah sakit, saya pingin makan burger. Sudah dua minggu ini makan daging busuk yang direndam air comberan. Mana ada makanan enak di rumah sakit, ya kan, Pak?!”
“O, begitu?”
“Ya iyalah, Pak. Hidup ini kan hanya sekali, jadi harus dinikmati. Buat apa kita banting tulang cari uang melulu. Jadi kalau uangnya sudah didapat mesti dibanting balik supaya bisa kita cari lagi. Ya kan, Pak!”
Dia tertawa lagi. Waktu itu saya mulai yakin bahwa dia memang sakit.
“Jadi mau masuk rumah sakit lagi?”
“Ya. Mau pindah rumah sakit. Seminggu di situ saya mules-mules dan muntah terus habis makan.”
“Jadi sekarang mau ke rumah sakit mana?”
“Tidak. Sekarang mau pulang dulu.”
“Pulang?”
“Ya. Habis sudah sehat, kan sudah makan burger. Terima kasih sudah nengok!”
Dia mengguncang tangan saya lalu pergi. Saya menatap takjub. Makanan cepat yang sering dikutuk sebagai sampah dan racun itu, ternyata sudah bikin dia sehat. Saya jadi merasa diri saya bego.
“Banyak sekali yang sudah berubah,” komentar hati kecil saya, “orang ke rumah sakit tidak karena sakit lagi, tapi karena mau istirahat dan dapat pelayanan yang manis dari para perawat yang sudah terlatih untuk memanjakan pasien. Rumah sakit sudah jadi bisnis rumah bersenang-senang.”
Langit sudah dimerahkan ketika saya kembali ke rumah. Istri saya tidak ada. Kata Ami sudah sejak tetangga itu pulang, ibunya ngerumpi di tetangga. Saya melanjutkan termangu-mangu dan ngobrol dengan perasaan saya.
Ami jadi penasaran.
“Bapak kenapa?”
“Kamu percaya tidak, Ami?”
“Apa?”
“Rumah sakit bukan lagi rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat untuk mendapat kemanjaan buat orang-orang yang berduit.”
“Memang.”
Saya tercengang.
“O ya, jadi kamu setuju?”
“Bukan setuju atau tidak. Faktanya memang begitu!”
“Tapi kamu setuju atau tidak?”
“Kenapa mesti setuju atau tidak? Saya tidak dalam posisi itu!”
Saya menatap anak saya. Lalu saya bertambah yakin bahwa dia memang makhluk lain yang datang dari planet lain. Bukan sejenis saya atau istri saya.
“Kok Bapak melotot begitu?”
“Kamu aneh!”
“Saya atau Bapak yang aneh?”
Kami saling memandang. Dan saya tahu kami memang sama-sama merasa aneh. Dan itu tidak ada kesepakatan. Saya selalu membiarkan perbedaan itu mengapung di antara kami yang menjadi pembelajaran kami setiap hari dalam banyak hal. Dari sana saya mulai banyak memahami berbagai hal.
Tidak seperti biasanya, saya mencoba berdamai.
“Kalau begitu, Bapak sekarang mengerti mengapa harapanmu pada tahun 2010 itu hanya mobil.”
“O begitu?”
“Ya. Sebab mobil buat kamu, bukan lagi kendaraan mewah, seperti waktu Bapak muda. Waktu muda Bapak menganggap mobil adalah kendaraan dewa-dewa. Siapa yang punya mobil berarti dewa. Mobil adalah status sosial. Tapi sekarang mobil hanya alat transportasi. Kelengkapan bekerja, seperti alas kaki atau sepeda yang sangat penting karena kecepatan adalah tuntutan masyarakat kota yang serba bergegas.”
Ami ketawa.
“Salah.”
“Salah?”
“Ya! Ami menyebut mobil hanya untuk mancing, supaya Bapak ingat kembali pada cita-cita Bapak yang sudah mulai luntur.”
“Cita-citaku yang sudah luntur?”
“Persis!”
“Ngarang! Cita-citaku tidak pernah luntur!”
“O ya? Apa cita-cita Bapak yang tidak pernah luntur itu?”
Saya terkejut lalu segera mulai membongkar-bongkar. Tapi terlalu lama. Ami kontan mengejar.
“Apa coba?”
Saya masih memilih-milih. Kemudian istri saya muncul. Rupanya ia sudah mendengarkan sejak tadi, lalu langsung menolong saya menjawab.
“Hidup harus diabdikan pada kepentingan bersama!”
Ami tertawa lalu masuk ke kamarnya. Istri saya tersenyum. Dia kembali berhasil memberikan saya tamparan yang telak. Padahal, kendati memang saya yang melakukannya, tetapi sebenarnya inspirasinya datang dari dia juga. Dialah yang sudah memprovokasi suaminya, saya yang lemah ini, terus mencari peluang untuk meningkatkan kenyamanan hidup dengan dalih masa depan yang lebih baik. Tak peduli itu bisa mengganggu kenyamanan orang lain.
“Bapak yang baru kembali dari rumah sakit itu memergoki Bapak tadi di mal makan ayam goreng Amerika ya?”
Saya tertawa.
“Bukan dia, aku yang memergoki dia makan burger. Orang sakit kok makan makanan sampah di mal!”
“Itu dia. Makanya dia masuk rumah sakit! Bapak mau ikut-ikutan sakit?!”
Saya tidak meneruskan percakapan itu. Saya tidak perlu menang di dalam rumah. Yang penting istri tersenyum dan anak tertawa, itu kebahagiaan saya. Besoknya saya jumpai tetangga.
“Saya kira Bapak betul,” kata saya mencoba membuka percakapan yang tertunda sebelumnya.
Tetangga itu tercengang.
“Apanya yang betul?”
“Ya. Kita tidak perlu dermawan. Cukup asal para koruptor, manipulator dan pemimpin-pemimpin palsu itu tidur, negeri kita pasti akan aman.”
Tetangga itu memperhatikan saya dengan sinis.
“O, jadi itu sebabnya Bapak belum mengembalikan edaran sumbangan warga itu?”
“Ah? Edaran sumbangan apa?”
“Edaran sumbangan dari warga untuk diberikan kepada para satpam sebagai hadiah tahun baru atas pengabdian mereka 24 jam bertugas tiap hari itu?”
Saya tertegun.
“Ya Pak?”
Akhirnya saya terpaksa menjawab.
“Ya.”
“Kenapa?”
“Sebab itu akan mengajarkan mereka moral pengemis. Bukan etos kerja profesional. Mereka harus bangga sebagai petugas keamanan, sebab itu profesi mereka dan mereka profesional. Jangan hanya bekerja untuk menunggu kita mengedarkan surat edaran para warga untuk diberikan sebagai sumbangan. Itu pengemisan. Naikkan gaji mereka sesuai dengan pekerjaannya yang berat berjaga 24 jam tiap hari. Buat mereka bangga pada pekerjaannya dan menjadi profesional!”
Tetangga saya hanya manggut-manggut. Nampak kagum. Dia pasti tidak ingat, yang dulu, pertama dan paling getol menolak kenaikan gaji satpam adalah saya. Karena saya lihat mereka semua pemalas. Kebanyakan tidur bahkan sering meninggalkan gardu jaganya kosong.
Sebelum tetangga itu sadar bagaimana caranya menjawab dengan telak, saya langsung ngacir untuk menutupi rasa malu. Ketika melintas di depan gardu satpam, saya berhenti, lalu membagikan kepada keenam satpam yang kebetulan sedang kumpul di situ masing-masing selembar 50 ribuan. Supaya meredam api amarah, kalau omongan saya ke tetangga tadi, nanti masuk ke telinga mereka.
Sambil menunggu kehadiran 2010 saya selalu berpikir bahwa tak ada obat yang mujarab. Semua memerlukan proses. Banyak lubang yang akan terus bertambah, kalau yang kita sumbat hanya satu-satu. Mesti semuanya. Dan itu memerlukan waktu, sebab kita semua sekarang memandang dari kaca mata yang berbeda-beda.
“2010 hanya 2 tahun dari kiamat yang diramalkan suku Maya yang keseramannya sudah dibayangkan oleh film yang nyaris dilarang MUI itu, memerlukan kesabaran kita. Boleh banyak berharap, tetapi banyak khawatir juga perlu, supaya berimbang sehingga kita tetap awas,” komentar hati kecil saya.
Istri saya mendengar, lalu ngomel, seperti biasa.
“Sabar itu tidak berarti diam. Itu namanya malas. Sabar itu adalah tahan banting sembari terus mencari peluang untuk membuat istrimu selalu senyum, anakmu tertawa, rumahmu bercahaya, dan para tetangga menyapa ramah!”
Anak saya juga nimbrung.
“2010 tak akan jadi datang, kalau kita hanya mau menerima separonya. Mesti diterima penuh. Total. Tidak berarti menerima itu setuju atau tidak setuju, tapi berani menghadapinya lalu menyelesaikannya secara jantan!”
Saya mencoba tertawa.
Di tahun 2010, apakah matahari masih akan terbit setiap hari di timur dan tenggelam di barat? Apakah malam tetap silih bergantian dengan siang? Adakah hal-hal yang baik masih saling berselipan dengan yang buruk? Akankah hidup kembali menjadi hidangan sepiring gado-gado? Berbagai unsur tersaji, tinggal siapa dan bagaimana menyantapnya. Semuanya dikembalikan kepada manusia yang akan mengisinya.
Kepada setiap orang apa ada kesempatan menuliskan riwayat hidupnya. Bahwa menolak dan pasrah tidak berarti akan dituliskan, tetapi sudah merakit sendiri. Bahwa manusia selalu mendapatkan peranan dan menjalankan peranan. Bahkan kematian dan kemusnahan pun tidak memutuskan riwayatnya.
Kearifan lokal mengatakan ada itu tak ada, tak ada itu ada. Maka 2010 sudah datang sebelum datang. Dan sudah pergi sebelum kita alami. Kita tak pernah tahu hanya peran pembantu yang tak mampu mengubah nasib. Kita adalah para penulis yang mencipta dan meletakkan sendiri bagaimana cerita akan berjalan atas kehendak-Nya.
Tiba-tiba HP saya ada SMS:
“Kecemasan itu perlu untuk membatalkan yang tidak kita kehendaki mungkin terjadi. Baik Djojobojo, Nostradamus atau suku Maya, mereka sudah memahaminya. Ramalan adalah sebuah kearifan lokal untuk membalikkan takdir menjadi nasib yang ditulis oleh manusia, tetapi semuanya juga atas kehendak-Nya.”
Siapa yang sudah mengirim pesan itu?
“Aku,” bisik 2010.
Saya pikir, tak ada kata akhir, selama kita masih mau berpikir. ***
.
.
Jakarta, 16 Desember 09
.
.
Leave a Reply