Cerpen, Jawa Pos, Sasti Gotama

Sesaat sebelum Fajar

Sesaat sebelum Fajar, Cerpen Sasti Gotama

Sesaat sebelum Fajar ilustrasi Budiono/Jawa Pos

4.5
(6)

Cerpen Sasti Gotama (Jawa Pos, 09 April 2022)

SEDETIK lalu, laut muntahkan aku. Tubuhku yang telanjang terdampar bersama pecahan botol soda, popok bekas pakai, dan sandal sebelah kanan. Laut asyik menjilati ujung jari tanganku yang tergeletak sebelah utara dan lekuk lututku yang terpisah di sebelah barat.

Aku harap fajar tak ketiduran dan matahari berlaku laiknya majikan: memanggil orang-orang datang. Cepat! Cepat! Jangan terlambat! Bukan untuk aku, tapi untuk kamu, Nona.

Tujuh jam lalu, kamu mengajakku ke rumah papan yang ditopang tonggak-tonggak kayu. Kita melintasi jembatan bambu yang merintih setiap kakimu melangkah. Di bawahnya, mengalir air jernih kehijauan yang memantulkan matahari petang. Di ujung jembatan, rumah sudah menunggu, begitu juga Zain.

“Untuk apa kamu bawa dia, Nona?”

Setelah membantuku duduk di kursi, kamu bersandar di dipan sambil tersenyum. “Dia akan menggantikan tugasku. Dia akan melayanimu dengan baik.”

Zain terdiam, lalu menggeleng. Suaranya lembut, tetapi tegas. “Tidak bisa, Nona. Aku sudah membelimu dengan lima gram emas di depan penghulu. Itu adalah tugasmu, bukan dia!”

“Oh, dia lebih lihai. Katamu, aku dingin seperti teripang. Dia hangat. Dia—”

Aku terkejut. Belum selesai kamu bicara, Zain menerkammu, persis seperti hiu menerkam pemancing nahas. Tetapi itu bukanlah pergumulan yang setimbang. Pakaianmu tercerai-berai. Sebagaimana semua pemancing yang paham tabiat hiu, tubuhmu kaku di bawah cengkeramannya. Bibirmu bergetar dan jarimu mengejang dan matamu kuali tanpa dasar.

Usai Zain melenguh, kamu tetap diam. Ketika dia sudah keluar kamar, kamu menoleh kepadaku. Tak perlu khawatir. Dia biasanya lebih lembut dari ini.

Aku terkesiap. Kamu tak menggerakkan bibir, tapi aku bisa memahamimu. Lalu kulihat merah itu.

Uh, Nona. Apa itu yang mengalir di pangkal pahamu?

Oh, ini bukan apa-apa. Aku yang salah. Aku belum siap. Tapi memang aku tak akan pernah siap.

Kemudian kamu mengambil secarik sapu tangan dan mengusap pangkal pahamu hingga kain itu berubah merah.

Kamu merayap ke meja kayu dan membuka laci. Ada beberapa pil di sana yang langsung kamu telan dan kamu guyur dengan segelas air yang tersedia di sebelah tempat tidurmu. Setelahnya, kamu berbaring di dipan. Lagi-lagi tanpa kamu bicara, aku mampu mengerti.

Baca juga  Seraphim

Dia baik. Aku bersumpah, dia baik. Aku saja yang bodoh, tak bisa memenuhi keinginannya. Awalnya, ibu yang menjodohkan kami. Kata ibu, malaikat maut sebentar lagi akan menjemputnya. Jadi dia memintaku menikah dengan lelaki yang baik. Lelaki yang baik tentu yang rajin berdoa kepada Langit. Dan dia memang lelaki yang rajin. Akulah yang penjelmaan ular api. Kata ibu, jika aku tak menikah dengannya, aku akan berada di kerak neraka dan menjadi bahan bakarnya.

Kamu memiringkan tubuhmu hingga aku bisa menatap matamu yang secokelat tonggak-tonggak kayu penyangga rumah atas.

Matamu indah. Tubuhmu indah. Dia akan menyukaimu. Aku tahu itu.

Aku menatap tubuhnya. Dia pasti sedang mengejekku. Tubuhnya adalah pulau-pulau yang tak bersiku, jauh lebih molek dari tubuhku. Kulit kuningnya yang selembut tudung ubur-ubur tampak lezat untuk dijilat.

Kamu memejamkan mata.

Mungkin benar kata ibu. Aku aneh dan seekor salamander api sedang bersemayam di kepalaku. Karena itu aku dibawa ke beberapa orang suci dan dibacakan banyak mantra yang tak kutahu maknanya. Tapi aku tak bertanya apa artinya. Waktu kecil, saat aku bertanya kepada ibu apa arti doa-doa yang dibaca orang suci, ibu menjawab, setiap doa yang diucap orang suci pasti baik maknanya. Maka, kita harus mengamininya tanpa perlu bertanya. Dan aku pun berseru aamiiin dengan keras bersama kanak-kanak yang lain dan berhenti bertanya-tanya.

Matamu terbuka, dan kulihat matamu seperti diselimuti agar-agar tanpa warna. Berkilauan memantulkan cahaya lampu duduk temaram.

Ketika teman-teman perempuanku mulai suka mengintip pemuda nelayan yang baru pulang dari laut, aku enggan bergabung dengan mereka. Gadis-gadis itu menjerit kecil ketika matahari mengecup dada-dada pemuda itu dengan kilauan. Aku tidak. Bagiku lelaki tak memiliki lekukan. Lelaki seperti penggaris kayu panjang yang tergantung di sebelah papan tulis: kaku, keras, dan sering menyakiti. Guru akuntansi sering memukul tanganku jika lupa bagaimana cara menyeimbangkan neraca.

Kupikir, hasrat manusia itu seperti neraca. Tiap orang memiliki kecenderungan yang sama untuk menyukai sesama atau lawan jenisnya. Dan sayangnya, neracaku berat ke titik yang salah. Kata kawanku, itu karena sesuatu dalam kepala yang bersenyawa tanpa aba-aba. Rasa itu tak bisa kulawan, tetapi aku bisa memilih bagaimana bersikap setelahnya. Jika akhirnya aku hancur karena menggenggam dogma, itu tak mengapa. Biar, biar tubuhku tercerai-berai, tak mengapa.

Baca juga  Si Loak

Kamu bangkit dan berdiri depan cermin pojok kamar.

Lihat, ucapmu tanpa suara, adakah yang lebih sempurna dari tubuh perempuan? Aku sering memandangi diam-diam tubuh kawan perempuanku saat mereka ganti baju usai berendam di laut. Aku merasakan sesuatu yang kutak tahu apa itu. Dan karenanya, di rumah, aku suka berdiri sendiri dalam kamar yang terkunci, memandangi pantulan tubuhku sendiri depan cermin. Oh, itu adalah mangga yang matang. Ranum dan harum. Tetapi itu rasa yang salah. Saat aku mengaku kepada ibu, katanya itu harus dihentikan jika aku tak ingin membuat jantung ibu berhenti berdetak seketika. Jika aku meneruskan itu, kelak ibu akan dipanggang di neraka dengan kepala di bawah dan kaki terikat sulur-sulur dari ular berbisa. Aku tak ingin detak jantung ibu berhenti dan aku juga tak ingin ibu terpanggang dalam api. Kata ibu, agar sembuh aku harus bersama lelaki yang baik, lelaki yang menjauhkanku dari neraka.

Kamu berbalik dan memandangku.

Aku sudah berusaha. Kamu percaya aku sudah berusaha? Apakah Langit juga tahu aku berusaha? Tapi tubuhku menolak. Bahkan menolak ketika Zain berusaha memasukiku. Sakit sekali. Tusukan ujung pagar bambu yang pernah mengenai pantatku saat aku dulu meloncati pagar sekolah bahkan tak ada bandingannya dengan itu. Tubuhku terasa dingin. Dingin yang mampu membekukan ujung jari dan rambutku. Dingin yang setara dengan samudra sebelum fajar datang. Kata karibku di ibu kota, itu pemaksaan. Pemerkosaan. Dan aku bisa melaporkan Zain ke polisi. Tetapi aku tak mau. Aku menyayanginya. Dia lelaki yang baik. Hanya, dia selalu saja ingin berkali-kali, sedangkan tubuhku bergetar hebat setiap dia datang mendekat. Aku tak bisa, tapi hanya ini caraku agar jantung ibuku tetap berdetak dan aku tak dilempar ke api yang menyala-nyala.

Kamu mengerjapkan mata.

Karena itu aku butuh bantuanmu. Kawanku di ibu kota yang mengirimmu. Tidak. Tuhan yang mengutusmu. Kamu istimewa, tak seperti perempuan lain. Denganmu aku bisa percaya, kamu tak akan membawa makhluk-makhluk renik yang beberapa kali hinggap di peranakanku yang membuat perutku nyeri tak terkira.

Baca juga  Monolog Angka

Pintu itu terbuka. Zain masuk dengan langkah tergesa. “Kamu mau lagi?” katanya dengan napas memburu. Kata-kata itu seolah bertanya, tetapi sesungguhnya suatu perintah. Kamu tersenyum, tetapi ujung jarimu bergetar.

“Namanya Nola,” cetusmu kepadanya sambil menunjukku. “Abang bisa dengannya.”

Suamimu memandangimu seolah-olah pikiranmu menggelinding ke palung terdalam samudra. “Kau pikir aku sudah gila? Tidak. Aku hanya mau denganmu. Dengan dia itu dosa.”

Kamu tersenyum dengan mata yang terendam. “Tapi aku….”

Zain tak memberimu waktu untuk berkata-kata. Seketika dia menjadi gelombang. Dia menggulungmu berulang-ulang. Lalu dia tak lagi jadi gelombang, tetapi badai topan. Halilintar menyambar. Samudra dera menghantammu, mencambukmu, menenggelamkanmu. Lalu mereda. Lalu angin sepoi-sepoi. Lalu Zain menoleh kepadaku, memandangiku seolah-olah aku setumpuk tahi.

Karena itu, aku dibuang. Aku tak diinginkan. Bagi Zain, walau lekuk tubuhku semolek kamu, Nona, tapi aku tak bisa mendesah sebagaimana manusia; walau kulitku sehalus kulitmu, Nona, tetapi tak bisa menghangatkannya sebagaimana tubuhmu. Tak ada yang dia inginkan dari seonggok gumpalan karet sepertiku.

Laut menelanku. Namun kemudian, laut pun tak menginginkanku. Ia memuntahkanku ke hamparan pasir sebagaimana setumpuk sampah. Sekarang adalah sesaat sebelum fajar. Cepatlah terang! Cepatlah! Bukan untuk aku, tetapi untuk kamu, Nona.

Lalu kudengar riuh nelayan-nelayan menepi, tetapi mereka tak bicara tentang tuna, gurita, dan cumi. Seharusnya mereka melihatku meringkuk kedinginan di antara sampah laut. Tetapi mereka tak memedulikanku. Dari pembicaraan mereka, kutahu jala mereka menjerat sesuatu yang membuat mereka ribut sepanjang waktu.

Apakah itu kamu, Nona? Oh, Nona, kulihat ujung jarimu terjerat di antara jala. Matamu terpejam dan kamu tampak seperti tidur nyenyak. Apakah orang-orang itu datang terlambat? Apakah kamu merasa dingin sebagaimana dingin yang kamu rasakan sepanjang hidupmu? Kuharap tidak, Nona, karena kini Langit mendekapmu. Kupikir, pasti itu terasa hangat. Hangat, Nona. ***

.

.

*) SASTI GOTAMA. Penulis Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam? (DIVA Press, 2020) dan B (DIVA Press, 2022)

.

Sesaat sebelum Fajar. Sesaat sebelum Fajar. Sesaat sebelum Fajar. Sesaat sebelum Fajar. Sesaat sebelum Fajar.

Loading

Average rating 4.5 / 5. Vote count: 6

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!