Cerpen, Jawa Pos, Triyanto Triwikromo

Setelah Sepasang Bulan Sabit Saling Mengait

Setelah Sepasang Bulan Sabit Saling Mengait - Cerpen Triyanto Triwikromo

Setelah Sepasang Bulan Sabit Saling Mengait ilustrasi Budiono/Jawa Pos

4.1
(8)

Cerpen Triyanto Triwikromo (Jawa Pos, 16 April 2022)

SEBELUMNYA, paling tidak ketika di langit Oktober 1967 tampak sepasang bulan sabit saling mengait, hujan belum mengguyur bantaran Sungai Glugu. Saat itu ada 10 truk yang mengangkut masing-masing 15 mayat, bergerak menembus hutan jati dan trembesi tak jauh dari Sungai Glugu. Tak menunggu lama tumpukan 150 mayat ditumpahkan dari truk dan dijejer di bantaran sungai setelah Soetedjo Kluwung, letnan kolonel yang memimpin pembunuhan kepada orang-orang yang dituduh sebagai komunis itu, meminta para prajurit menguburkan mereka.

Dalam penerangan oncor 10 penggali makam diminta membuat 10 lubang. Selain itu, mereka diminta membantu mengubur mayat-mayat yang kepala-kepalanya pecah berlumur darah akibat dihantam dengan batangan besi dan kapak bergagang panjang. Ada juga mayat-mayat yang jidat, lambung, atau jantungnya ditembus peluru.

Darah masih mengalir dari lubang-lubang yang menganga di tubuh-tubuh mayat perempuan dan laki-laki itu. Lalu karena keburu subuh, mayat-mayat ditumpuk-tumpuk sembarangan dan dikubur di lubang yang tak terlalu dalam.

“Aku mengenal beberapa orang yang kukubur. Mereka para petani yang berkumpul dengan para pemuda yang suka berteriak-teriak tak keruan di jalanan sambil mengacung-acungkan tangan,” kata seorang penggali kubur setelah pemakaman itu selesai.

“Aku juga mengenal mereka. Aku tahu benar mereka hanyalah penari dan penabuh gamelan,” kata penggali kubur lain.

“Aku mengubur tujuh perempuan yang tadi sore kulihat berlatih menari di hutan.”

“Aku mengubur saudaramu,” seseorang berbisik.

“Aku juga mengubur saudaramu,” seseorang yang lain juga berbisik.

Karena dianggap terlalu berisik, Kluwung meminta para penggali makam menutup mulut. Para penggali makam pun terdiam beberapa saat.

Di tempat lain, Makhasin, petugas pencatat kematian, tak melihat Kluwung membentak-bentak para penggali makam yang ketakutan itu. Makhasin juga tidak tahu Kluwung menembakkan peluru dengan membabi buta ketika beberapa tubuh yang dijejer di bantaran sungai sedikit bergerak. Kluwung merasa jika tak segera dibunuh, tubuh-tubuh bergerak itu akan bangkit. Sebagai mayat hidup, mereka bisa saja beramai-ramai mencekik siapa pun yang ada di bantaran sungai.

Makhasin sebagaimana Kluwung tidak tahu betapa sesaat sebelum siapa pun yang dianggap komunis mati, ada yang berpikir hendak mendaki Gunung Merapi dan menemukan pohon api di puncak. Ada yang ingin berwisata ke kebun mawar dan merasakan hidup tak sepenuhnya hambar. Ada pula yang ingin berciuman dengan kekasih di bawah sepasang bulan sabit yang saling mengait. Ada pula yang berpikir setiap subuh akan bersiul saat berjalan ke masjid.

Akan tetapi, sesaat setelah peristiwa pemakaman massal itu tidak diketahui oleh banyak orang, sepasang bulan sabit menghilang dan hujan turun dengan lebat. Ini mengakibatkan Sungai Glugu meluap. Karena hujan teramat deras dan tak kunjung henti, kuburan yang terlalu dangkal itu seakan-akan digali kembali sehingga mayat-mayat seperti ditolak dari bumi dan terapung-apung di permukaan sungai.

Baca juga  Prose: Seorang Gadis Manis...

Ke mana mayat-mayat itu hanyut? Tentu saja ke bagian hilir Sungai Glugu. Hanya, ini yang dilihat Makhasin, tidak hanya mayat-mayat itu yang terapung. Pada saat yang sama, didahului suara gemuruh, air dari hulu juga menghanyutkan aneka warna bunga mawar yang menyelimuti mayat-mayat terapung. Dari mana mawar-mawar itu berasal? Dari puluhan kebun mawar di hulu yang tidak sempat dipanen, tetapi keburu dihantam banjir. Karena mawar-mawar itu begitu rapi menyelimuti mayat-mayat, ada yang berpikir pohon-pohon mawar itu sengaja dicabut dan dibuang ke Sungai Glugu. Siapa yang mencabut batang mawar-mawar itu? Tak ada yang pernah tahu.

Tidak hanya itu. Sungai yang hampir meluap ke bantaran juga mengapungkan aneka ular, anak-anak anjing, anak-anak kuda, anak-anak kambing, dan anak-anak sapi dalam jumlah tidak sedikit. Bisa dimengerti bagaimana ular-ular bisa hanyut. Di kanan-kiri pinggiran sungai memang banyak sekali sarang ular yang tak terlalu dalam. Akan tetapi, mengapa anak-anak anjing, kambing, dan sapi bisa hanyut? Apakah saat itu mereka menyeberang dari hutan satu ke hutan lain? Apakah air melimpas hingga ke bantaran dan menyapu mereka? Makhasin tidak tahu dan tak ingin memikirkan mengenai binatang-binatang yang hanyut itu. Dia juga tak mau memikirkan batang-batang pisang, batang-batang pohon rambutan dan jambu yang terapung-apung tak keruan.

Sebaliknya, saat itu, Makhasin membatin: Bagaimana mungkin aku akan bisa menghitung mayat-mayat yang terapung-apung bersama segala makhluk lain dan aneka benda itu? Ternyata lebih mudah menghitung mayat-mayat yang berserakan di jalan-jalan atau puing-puing rumah saat gempa atau badai tiba.

Benar. Pada Januari 1967 ketika gempa menghajar, Makhasin masih mudah menghitung mayat-mayat yang dia temukan di lantai-lantai terbelah di dalam rumah-rumah atau gedung-gedung roboh. Dia bahkan tidak harus menggali gundukan-gundukan tanah atau mesti menyingkirkan puing-puing reruntuhan karena mayat-mayat itu seakan-akan telah ditata dengan rapi di jalan-jalan. Siapa yang menata? Yang jelas bukan manusia karena semua manusia berlarian menyelamatkan diri ke kawasan-kawasan yang lebih aman. Makhasin juga tidak menemukan mayat-mayat di dalam masjid atau gereja. Baik di masjid maupun gereja yang tinggal puing itu tampaknya memang tidak digunakan untuk berlindung. Orang-orang yang dihajar gempa seakan-akan tahu tak ada siapa pun yang bisa menolong mereka. Tuhan atau juru selamat dianggap tidak ada di tempat-tempat ibadah itu. Makhasin tidak menemukan mayat-mayat di balik reruntuhan kubah masjid. Makhasin juga tak menemukan mayat yang tertimpa salib raksasa.

Pada Maret 1967 ketika badai menerbangkan kambing-kambing, ular-ular, ayam-ayam, segala sampah, patok-patok nisan, kerbau, mayat-mayat busuk, dan orang-orang yang bercengkerama di jalan-jalan, Makhasin masih mampu juga memilah-milah mana mayat-mayat busuk dan mayat-mayat segar orang yang baru saja terempas dari langit. Sebagai petugas pencatat kematian, dia masih bisa menghitung berapa orang yang mati. Masih bisa menengarai siapa saja yang mati. Makhasin antara lain mencatat: Ada 13 pegawai pegadaian yang ditemukan di antara bangkai 12 ular. Ada mayat kiai yang ditemukan di antara bangkai satu kuda, satu sapi, 12 babi, dan lima anjing. Ada juga tiga mayat perempuan di antara puluhan bangkai lintah.

Baca juga  Selingan Perjalanan

Akan tetapi, sekali lagi, sangat sulit menghitung mayat-mayat terapung yang harus dipilah-pilah dari bangkai aneka satwa, bunga-bunga, pohon-pohon, dan segala benda di Sungai Glugu. Untuk menghitung mayat-mayat itu, Makhasin harus terjun ke sungai. Terjun ke sungai pun tidak membuat Makhasin mudah menghitung jumlah mayat-mayat itu. Andaikata dia terjun sendiri di sungai yang airnya kian lama kian tak deras itu, mungkin akan gampang menghitung mayat-mayat itu. Akan tetapi, karena penduduk di hulu Sungai Glugu teramat miskin dan begitu ada aneka hewan yang hanyut, mereka juga beramai-ramai terjun ke sungai, Makhasin harus membebaskan diri dari kerumunan para pencari bangkai hewan yang akan dimasak dan dimakan secepatnya itu.

“Aku mendapatkan anak kuda!” teriak seseorang tak peduli kepada mayat-mayat terapung-apung di sekitarnya.

“Aku dapat anak sapi!”

“Aku dapat anjing!”

“Aku dapat ayam!”

“Aku dapat ular!”

“Aku dapat babi!”

“Aku dapat dinosaurus!” seseorang bergurau.

“Aku dapat macan tutul!” seseorang bergurau lagi.

“Mengapa tak sekalian bilang dapat 50 ekor gajah?” teriak seseorang memprotes gurauan-gurauan itu.

Protes itu tidak digubris. Tetap saja orang-orang meneriakkan temuan-temuannya. Tetap saja gurauan-gurauan dilontarkan.

Lalu, karena kian banyak warga yang terjun ke sungai, Makhasin makin kesulitan menghitung mayat-mayat yang jumlahnya seakan-akan terus bertambah itu. Makhasin juga membatin: Aku akan kesulitan menentukan mayat-mayat siapakah yang hanyut ini. Tak mungkin hanya kusebut sebagai korban hajaran banjir, bukan? Yang jelas, meskipun beberapa waktu lalu ada desas-desus para perempuan yang tinggal di dekat hulu Sungai Glugu ramai-ramai bunuh diri dan dikubur sembarangan di bantaran, aku tidak akan dengan gampang memercayai kabar itu. Aku juga tidak percaya, jika belum melihat sendiri, mereka yang bunuh diri itu para Gerwani atau paling tidak anggota Barisan Tani Indonesia.

Selanjutnya karena tak ingin tersiksa disikut atau ditendang oleh orang-orang yang berebut bangkai binatang, Makhasin memilih menyingkir.

“Akan kuhitung setelah mayat-mayat itu terkumpul di kedung saja,” gumam Makhasin.

Setelah menyingkir, Makhasin pun mendaki bukit yang tak jauh dari kedung atau bagian sungai yang paling dalam dan bisa menampung aneka benda yang terapung-apung itu. Dari bukit, Makhasin bisa melihat apa pun yang sedang terjadi di sungai. Meskipun tidak mendengarkan segala hal yang dipercakapkan, Makhasin bisa melihat orang-orang saling menyikut sekadar mendapatkan bangkai ayam atau ular.

Baca juga  Segelas Kopi pada Suatu Malam Minggu

Di bukit, Makhasin tak tinggal diam. Meskipun berjanji akan menghitung jumlah mayat-mayat itu jika sudah terkumpul di kedung, tetap saja dia berusaha menghitung jumlah mayat-mayat itu. Dari pengalaman yang sudah-sudah, dia bisa memperkirakan berapa jumlah mayat yang terapung-apung itu. Hanya, dia pantang menyebut angka jika belum benar-benar menghitung sendiri mayat-mayat yang jika terlalu lama di air akan gampang busuk itu. Makhasin bisa saja bilang, ”Yang mati 200 orang.” Akan tetapi, angka yang salah itu akan membuat sejarah penuh kebohongan. Dia tidak mau menjadi pemasok kebohongan.

Makhasin juga belum bisa menentukan siapa yang mati dengan hanya melihat luka-luka para mayat. Sangat mudah dia bilang kepada Sang Atasan, ”Telah mati 150 kiai akibat disantet oleh para dukun pendukung komunis.” Akan tetapi, data semacam itu akan mengakibatkan para santri mengamuk dan pada akhirnya bisa saja mereka membunuh 2.000.000 orang yang dianggap sebagai antek komunis. Bisa saja siapa pun, asal dianggap komunis, kepalanya dipenggal, lambungnya ditusuk dengan linggis, dan jantungnya ditusuk dengan aneka senjata yang dimiliki oleh para santri.

Lalu, karena ada seorang letnan kolonel yang bilang kepada masyarakat, ”Lebih baik kalian membersihkan komunis sendiri ketimbang aku yang membersihkan mereka”, bukan tidak mungkin, siapa pun, di luar para santri, bisa membunuh orang-orang yang dianggap komunis.

Sebenarnya orang-orang yang terbunuh itu komunis atau bukan komunis tak penting bagi Makhasin. Tugas Makhasin hanya menghitung. Mencatat pekerjaan siapa saja yang mati hanyalah tugas pelengkap. Boleh dilakukan. Boleh tidak dilakukan.

Hanya, kali ini Makhasin punya rencana lain. Dia akan mencatat dengan cermat siapa yang mati. Bahkan, nanti, setelah selesai berurusan dengan mayat-mayat di kedung, Makhasin memutuskan akan menemui Sang Atasan dan bilang, ”Aku telah melihat segalanya dan telah kucatat juga siapa pun yang mati di Sungai Glugu.”

Setelah itu, Makhasin akan tidur dalam naungan sepasang bulan sabit yang saling mengait dan esok ketika ada mayat-mayat berserakan di jalan-jalan atau sembarang tempat, dia akan menghitung dan menghitung lagi mayat-mayat itu. ***

.

.

Semarang, 2022

TRIYANTO TRIWIKROMO. Pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk Kumpulan Cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Surga Sungsang, bukunya yang lain, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis.

.
Setelah Sepasang Bulan Sabit Saling Mengait. Setelah Sepasang Bulan Sabit Saling Mengait. Setelah Sepasang Bulan Sabit Saling Mengait. Setelah Sepasang Bulan Sabit Saling Mengait.

Loading

Average rating 4.1 / 5. Vote count: 8

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!