Cerpen Tati Y Adiwinata (Pikiran Rakyat, 16 April 2022)
SEJAK pandemi, Abdul baru kali ini pulang ke rumah Emak. Tahun kemarin terakhir pulang ada pertengkaran terjadi di rumah itu. Dan setelah setahun kemudian, Abdul kembali dengan sesal berkecamuk dalam dada.
Abdul tiba di rumah Emak, saat azan maghrib berkumandang. Ada sesak dalam dada seketika, ingat kembali kejadian tahun lalu. Rasa marah dan kecewa membatalkan niat Abdul untuk berlebaran di rumah Emak tahun lalu. Pasalnya sederhana sekali sebenarnya. Tapi, rasa ego dan mau menang sendiri telah menguasai hatinya.
Saat Abdul masuk ke ruang tengah, tampak Emak ada di meja makan. Emak terlihat kaget lalu memburu Abdul. Matanya penuh gerimis seketika. Abdul pun luruh memeluk Emak. Rasa rindu yang menyeruak tiba-tiba, telah mencairkan seluruh rasa marah.
“Emak, maafkan Abdul!” seru Abdul. Emak menempelkan jarinya di bibir Abdul agar berhenti berbicara.
Lalu mereka duduk di meja makan. Abdul melihat ke seluruh ruang, semua kejadian seolah tergambar lagi begitu jelas. Awalnya dari sebuah perbincangan di meja makan. Kala itu, Kosim yang mulai menyinggung bagaimana ia harus memperlakukan Emak.
“Kang, rajin-rajinlah pulang ke rumah. Tengok emakmu ini, beberapa kali dia memanggil namamu dengan penuh rindu,” kata Kosim waktu itu.
“Kau tahulah Sim, jarak Bandung Bekasi tidaklah dekat. Butuh waktu dan biaya tak sedikit untuk ke sini. Aku lebih suka uangnya dikirimkan untuk keperluan Emak saja. Toh, kami bisa video call kapan saja,” elak Abdul waktu itu. Sementara Emak asyik nonton TV dengan acara sinetron yang lagi booming, bikin penonton betah duduk karena disuguhkan kemewahan hidup, menawan penonton dengan mimpi.
“Memang, Kang. Kalau tidak dipaksakan akan terasa berat jatuhnya. Padahal bukan itu yang utama. Emak itu rindu akan kehadiran Akang. Uang mah bukan ukuran.” Begitu Kosim menimpali jawaban Abdul. Entah kenapa tiba-tiba Abdul tersinggung dengan ucapan Kosim. Abdul pikir, Kosim selalu merasa ia yang paling mengurus Emak.
Perannya sebagai anak tertua seolah tak dianggap padahal semua keperluan Emak, Abdul yang menanggung. Harusnya Kosim mengerti, tak mudah membagi uang belanja. Tentu harus melalui ijin Esih istrinya, meminta keikhlasannya. Meskipun ia tahu, Emak adalah tanggung-jawabnya.
“Apa tidak cukup apa yang Akang lakukan selama ini, Sim?” tanya Abdul.
“Bukan itu maksud Kosim, Kang, Emak itu lebih membutuhkan kehadiran Akang secara fisik dari pada sekadar uang yang Akang kirimkan tiap bulan.” Lagi-lagi Kosim menjawab perkataan Abdul. Kata “Sekadar” yang diucapkan Kosim sangat melukai Abdul. Bagaimana mungkin uang yang ia kirimkan setiap bulan itu dianggap sekadar oleh Kosim. Uang yang ia sisihkan tiap hari demi Emak itu adalah hasil dari keringat berjualan sayuran tiap hari, berkeliling kompleks menjajakan dagangan.
Sementara Kosim, hidup menumpang di rumah Emak, tentu menumpang perut pula. Abdul mulai membanding-bandingkan dirinya. Dari sana pertengkaran dimulai, dari rasa bahwa apa yang telah ia lakukan buat Emak bukan hanya sekadar. Abdul merasa ia telah maksimal berusaha menyenangkan Emak. Ketika pertengkaran terjadi, Emak masih asyik melihat sinetron itu.
Sampai Emak sadar ketika Abdul pergi tanpa pamit dan tak pernah datang lagi sejak itu. Emak menerka ada sesuatu yang terjadi. Jika dirasa kangen, Emak minta Kosim untuk menyambungkannya lewat video call.
Abdul dan Kosim yang lahir beda satu tahun itu, sejak kecil memang selalu bertengkar. Ada saja yang jadi biang untuk alasan mereka berseteru. Dari mulai berebut mainan, makanan hingga berebut kasih sayang. Tak jarang, dulu Wirya suaminya sering mengguyur mereka berdua di kamar mandi, agar mereka berhenti bertengkar.
Pernah suatu hari Wirya menggandeng mereka berdua ke tukang cukur, dan meminta tukang cukur menggunduli mereka, lalu setelah itu membawa mereka ke tukang foto. Kejadian itu diabadikan Wirya sebagai pengingat, bahwa pada hari itu Abdul dan Kosim bertengkar hebat. Dan Wirya, berharap itu adalah pertengkaran terakhir.
Foto gundul mereka di pasang di ruang tengah. Posisi mereka di foto dalam keadaan saling rangkul. Jika mereka akan bertengkar, maka Wirya akan menunjuk foto itu sebagai pengingat. Cara Wirya saat itu dianggap aneh oleh Emak, tetapi cukup mujarab dan berhasil. Sejak itu mereka tak lagi bertengkar.
Abdul, menatap foto itu lama sekali. Pandangannya kabur seketika. Diciumnya tangan Emak dengan khikmad.
“Maafkan Abdul, Mak,” kata Abdul sekali lagi. Emak mengelus punggung tangan Abdul.
Tiba-tiba Emak ingat semangkuk kolak candil yang disimpannya untuk Kosim. Dibawanya kolak itu ke hadapan Abdul untuk berbuka.
“Ini kolak buatan Emak Abdul, kolak kesukaanmu,” kata Emak. Bahu Abdul makin berguncang. Bisa-bisanya ia marah kepada Kosim karena mengingatkannya untuk rajin menengok Emak. Perempuan tua yang selalu menunggunya pulang.
“Mana Kosim, Mak?” tanya Abdul tiba-tiba.
“Kau dengar azan tadi? Itu suara Kosim.” Terdengar Emak menghela napas berat. Abdul menatap Emak khawatir.
“Kau tahu Abdul? Alasan Kosim tak menikah?” Abdul menggeleng, ia tak pernah bertanya pada adiknya. Kenapa ia belum menikah di usia yang cukup untuk meminang seorang wanita.
“Emaklah penyebabnya,” kata Emak lagi.
“Kenapa, dengan Emak?” tanya Abdul tak mengerti.
“Ia takut tak bisa menjaga Emak dengan baik kalau ia menikah, ia takut cintanya pada Emak akan berkurang. Sudah setahun ini, sejak bertengkar denganmu. Ia berjualan baju online. Dan hasilnya lumayan. Semua uang yang ia dapatkan diserahkan untuk Emak, Abdul. Tanpa sepengetahuannya, Emak tabung buat bekal ia nikah nanti.” Abdul terhenyak. Ia merasa malu sekali.
“Ia selalu menjadikanmu sebagai teladan. Kau anak yang berbakti pada Emak, tak pernah melupakan Emak meski kau sudah beristri. Ia pikir, banyak temannya yang telah beristri malah melupakan orang tuanya. Tapi, kamu tidak. Kamu selalu berusaha adil dalam menafkahi Emak dan istrimu.” Air mata Abdul tak terbendung lagi. Bahunya berguncang kian keras. Dipandang lagi Foto yang dibuat bapaknya almarhum sebagai pengingat dirinya dan Kosim. Kolak candil yang harusnya manis dan sangat dirindukannya terasa pahit di mulutnya.
“Assalamualaikum!” Suara Kosim menggema di ruang makan tersebut. Emak dan Abdul serentak memandang Kosim yang tengah berjalan ke arah mereka.
“Wa’alaikumsalam!” jawab Emak dan Abdul. Kosim memburu tangan Abdul, menciumnya lalu memeluknya hangat.
“Alhamdulillah, Akang pulang, maafkan Kosim Kang! Mungkin ada kata-kata Kosim yang melukai hati Akang.” Kosim berkata lirih, wajahnya menunduk. Abdul balas memeluk kembali Kosim, tangannya menepuk-nepuk pundak Kosim. Emak memandang mereka dengan perasaan terenyuh.
“Akang yang salah Kosim, akang minta maaf. Akang memang egois, mulai saat ini akang janji akang akan sering pulang. Ketika masuk ruangan ini, Akang ingat foto kita berdua itu, ada janji kita pada Bapak saat itu. Kita tidak akan bertengkar lagi, dan kita telah melanggar janji kita.” Abdul berkata lirih.
“Sudahlah, Alhamdulillah Allah telah rekatkan tali kasih sayang di antara kalian, Emak sekarang tenang.”
Kosim dan Abdul duduk di meja makan. Emak, membuatkan lagi semangkuk kolak candil untuk Kosim. Mereka berdua menikmati kolak candil buatan Emak. Kolak candil yang dibuat dengan rasa cinta. Mereka makan dengan lahapnya.
“Inilah fitri yang sesungguhnya, Nak,” kata Emak. Saat itu, ada lengkung senyum di bibir Emak. ***
.
.
Tati Y Adiwinata, lahir di Cicalengka tanggal 06 Juni. Beberapa tulisannya dimuat di HU Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Majalah Femina, Majalah Mangle, Republika, Kedaulatan Rakyat, Waspada, Negerikertas.Com, AyoBandung.Com, dan Tabloid Lokal, terlibat di puluhan buku bersama penulis lain dalam antologi puisi/cerpen/haiku. Novel perdananya Rembulan dan Matahari menjadi juara kedua dan diterbitkan oleh Penerbit Rumah Imaji (2019), antologi puisi solo Antologi Merahnya Rindu diterbitkan oleh J-Maestro (2019). Kumcer solo Laki-laki Bayangan diterbitkan oleh penerbit Rumah Imaji (2020).
.
Semangkuk Kolak Candil Buatan Emak. Semangkuk Kolak Candil Buatan Emak. Semangkuk Kolak Candil Buatan Emak. Semangkuk Kolak Candil Buatan Emak. Semangkuk Kolak Candil Buatan Emak. Semangkuk Kolak Candil Buatan Emak.
Leave a Reply