Cerpen Guntur Alam (Kompas, 24 April 2022)
AKU akan memulai cerita ini dari mimpi yang tujuh malam berturut-turut menyambangi tidurku. Pada mimpi aneh bin ajaib itu, aku berdiri di atas batu cadas putih, Sungai Lematang hampir mengering, pasir memutih di pinggir-pinggir pantai sungai. Aku berdiri tegak di atas napal—sebutan orang-orang dusun kami akan batu cadas putih yang hanya muncul saat kemarau di Sungai Lematang.
Dalam mimpi yang terasa nyata itu, aku terkejut melihat lubang-lubang napal yang mirip goa dan masih tertutup air memunculkan gelembung-gelembung udara. Lalu, mendadak seekor buaya kumbang yang demikian besar muncul dari dalamnya. Ya Tuhan, aku masih dapat mengingat dengan jelas degup jantungku saat itu. Yang membuat jantungku terasa berhenti berdetak ketika buaya itu membuka mulutnya, memamerkan gigi-giginya yang begitu tajam.
“Kami hampir kekeringan,” aku tersengat, buaya kumbang itu berbicara, “Kami akan mengadakan ritual meminta hujan,” mendadak aku melihat puluhan buaya lainnya keluar dari lubang-lubang yang ada di atas napal. Aku tersurut, gigil menyungkup.
“Datanglah dengan telanjang bulat di purnama yang ketujuh belas bila kau hendak turut serta.”
Dan aku terjaga bersama gigil yang menelikung malam di musim kemarau. Kabut yang luruh bersama embun di luar sana serupa biji keringat yang mengalir di jidat. Napasku tersengal. Mimpi itu begitu terang, suaranya masih menggema dalam tempurung kepala. Seolah aku benar-benar telah mendengarnya berbicara.
Wajah Emak mendadak pias. Seketika tangan keriputnya yang sibuk mengiris kangkung untuk ditumis sebagai lauk pagi ini terhenti. Matanya yang lamur itu beriak cemas. Ada gurat-gurat ketakutan yang lahir begitu saja, tergambar dengan sangat jelas, dan tak bisa ia sembunyikan.
“Ada apa, Mak?” kugeser duduk mendekat, tak ingin melewatkan sedikit pun dari desau suaranya, “Apa ada yang aneh dengan mimpiku?”
Emak gegas menyingkup muka, merapikan gurat-gurat cemas yang tadi begitu jelas terbentang. Lalu, serta-merta ia menghidangkan senyum yang khas. Seolah tak ada apa-apa, berniat menipu mataku yang sempat melihat perubahan raut wajahnya.
“Ah, tak adalah, Jang,” Emak kembali mengiris kangkungnya, “Jangan kau risau. Mimpi hanyalah bunga tidur semata. Tak usah dipercayai. Mana ada pula buaya yang bisa bicara. Kau ini, pandai kali mengarang cerita. Mirip Nenek-mu pula.”
Terdengar tawa kecil Emak yang sumbang. Riak cemas dan takut masih terdengar dalam suaranya yang merambat ke gendang telinga. Aku tahu, Emak tengah berdusta. Ada hal yang ia simpan demikian rapat dan tak hendak aku mengetahuinya.
“Mengapa kau simpan-simpan, Julia?” tiba-tiba saja Nenek muncul dari tengah rumah, sontak aku terkejut dibuatnya. Seketika itu pula, raut wajah Emak yang tenang kembali beriak. Serupa tadi, malah lebih dahsyat.
“Apa yang kusimpan, Mak?” Emak mengembangkan senyum tawar, mataku merasakannya, “Tak ada yang Julia simpan,” dan Emak masih berusaha menipu diriku.
“Ihwal trah jurai dari buaya itu. Mengapa kau simpan? Ceritakan saja. Bukankah itu cerita temurun dalam rumah kita. Telah berapa generasi? Tiga atau empat? Apa mungkin lima? Allahurobbi, aku pun sudah lupa. Nah, nah, ini yang kukhawatirkan. Bila kita telah pikun dimamah usia, lalu lupa menceritakan kisah ini kepada keturunan. Karma buruk akan datang, Julia.”
Aku kian tak mengerti dengan apa yang dibicarakan Nenek dan Emak. Berganti-ganti kulihat wajah keduanya. Cemas yang tumbuh di wajah Emak kian kentara, malah kian besar dan rindang. Sementara Nenek terlihat tenang-tenang saja. Ia mengunyah sirihnya seperti biasa dan duduk di sebelahku.
Nenek melarikan mata lamurnya ke arah Emak. Keduanya bertatapan. Lalu, tiba-tiba saja Emak mengembalikan matanya ke arah irisan kangkungnya, seolah telah kalah dari adu pandang itu. Kulihat Emak menghela napas, berat.
“Emak sajalah yang ceritakan. Aku tak bisa. Bukankah Emak lebih pandai bertutur ketimbang diriku?” ucap Emak kepada Nenek.
“Baiklah, aku akan mengisahkannya,” Nenek membetulkan susuran tembakau sirih yang ada di mulutnya. Ia menggosok-gosokkan tembakau itu pada gigi depannya yang memerah. Gigi itu masih terlihat kuat dan rapi walau usianya telah demikian senja.
“Seorang leluhurmu,” Nenek memulai ceritanya, “Kau memanggilnya Puyang. Pernah hilang tanpa jejak di Sungai Lematang saat usianya sekitar tujuh belas tahun. Dari cerita puyang-puyang kita, ia diambil raja buaya kumbang dari Negeri Ban, negeri siluman buaya yang ada dalam Sungai Lematang, bukan untuk dimakan. Tapi, dikawinkan dengan anak perempuan semata wayangnya.”
Aku bergidik. Tak bisa kusangkal, bulu kudukku meremang. Terlintas dalam benakku mimpi aneh itu. Apa mungkin ini ada hubungan dengan mimpi itu? Apakah mungkin puyang kami atau keturunannya? Cerita dan mimpi itu terasa ganjil.
Nenek melanjutkan kisahnya, aku menggeser pantat, melipat jarak. Sementara Emak seolah tak hendak mendengar kisah yang dituturkan ibunya. Mungkin, Emak bosan mendengarnya. Atau sebenarnya Emak punya alasan lain. Entahlah.
Beginilah kisah lanjutan Nenek.
Pada hari naas itu, puyang kami yang baru akil balig itu pergi menjala ikan bersama abangnya. Abangnya menebar jala, ia mendayung di bagian belakang perahu. Mereka memulai dari hulu, dari daerah Batanghari Siku yang terkenal sebagai lubuk buaya. Baru berapa kali menebar jala, geladak perahu sudah dipenuhi ikan-ikan. Riang tak terkira mereka berdua. Ini sebuah anugerah.
“Kalau sampai di tempat kita mandi panggar perahu penuh, kita pulang saja, Adikku. Cukuplah ikan sebanyak itu untuk dimakan dan dibagi ke jiran dan kerabat.”
Puyang belia itu hanya mengangguk setuju sembari mendayung pelan-pelan. Tepat ketika abangnya menebar jala di daerah napal, mendadak perahu sedikit oleng. Tapi, tak terdengar riak atau apa pun di belakang perahu. Namun, alangkah terkejut puyang kami itu ketika ia mengangkat jala ke dalam perahu dan menengok ke belakang, adik bujangnya telah raib tanpa jejak. Dayung terserak di dalam perahu. Puyang panik dan berseru. Tak ada apa pun. Ia meloncat ke dalam Lematang. Tapi, tak ada sosok yang ia cari di sana. Gegas, ia mendayung perahu pulang. Lalu berkabar duka atas raibnya adik bujang. Tentu saja, kecemasan menyergap. Keluarga panik bukan buatan.
Orangtua puyang bujang memanggil dukun-dukun kampung. Mereka melarung saji dan kemenyan di atas napal. Namun, tak ada hasil yang memuaskan. Bahkan seorang dukun sakti mandraguna di zaman itu menyelam ke dalam Lematang. Tetap saja, ia tak menemukan sosok puyang bujang yang raib tak berjejak.
“Puyang bujang kita itu dianggap mati oleh keluarga. Dilakukan upacara kematian mengantar arwah menuju nirwana dengan mengundang para tetangga. Namun, tepat satu pekan sejak upacara itu. Di tengah malam buta yang begitu gulita, puyang bujang itu menggemparkan sanak kerabat yang tertidur di tengah rumah panggung orangtuanya. Ia pulang. Segar bugar dengan pakaian yang terakhir kali ia kenakan.”
“Apa itu hantunya, Nek?” aku mendesau cemas.
“Bukan,” Nenek masih sibuk membersihkan giginya dengan tembakau sirih, kulirik Emak yang selalu saja menghela napas berat sepanjang cerita, “Ia pulang dengan jasad utuhnya. Tapi, bukan untuk kembali. Ia datang untuk berpamitan.” Aku tercekat.
Puyang bujang kita itu bercerita. Ia telah menikah, dikawinkan dengan putri raja buaya kumbang di Negeri Ban yang ada dalam Lematang. Dan ia bahagia. Ia tak bisa meninggalkan istrinya, jadi ia memilih meninggalkan keluarganya. Pesannya cuma satu saja: Kalau ada anak bujang dari keturunan abang-abangnya yang telah mimpi basah pertama, lemparilah ia juada dari tepung beras dan kelapa, larungkan kemenyan, dan rendamlah sang bujang itu dalam Lematang subuh-subuh buta. Itu sebagai pertanda baginya kalau ada darah keturunannya yang menjemput akil balig. Dan ia akan menceritakan itu kepada anak keturunannya di Negeri Ban agar saling mengenali sesama.
“Itulah mengapa dulu kau direndam subuh-subuh kelam setelah Nenek-mu menemukan sisa air mani mengering di celana tidurmu saat kau naik kelas sembilan,” tiba-tiba Emak membuka mulutnya, “Agar puyang kita dan keturunannya yang ada di Negeri Ban itu mengetahui, masih ada anak-cucunya yang teringat kepadanya.”
Aku terdiam. Benar-benar diam. Alangkah ajaib cerita ini.
“Ini juga yang menjadi alasan, kenapa bujang yang belum menikah di keluarga kita dilarang terlalu sering ke Lematang. Tersebab leluhur kita takut, nasib malang ini terulang lagi. Bagaimanapun, kita punya jurai pernikahan dengan siluman buaya.”
Aku benar-benar tak bersuara dibuatnya. Cerita Emak dan Nenek yang mengerikan, seolah selaras dengan mimpi menakutkan itu. Seekor buaya kumbang yang besar tiba-tiba muncul dari goa napal yang digenangi air, lalu buaya hitam besar itu bicara kepadaku, mereka akan melakukan ritual meminta hujan. Apa maknanya? Apa itu tanda bahwa aku akan diambil juga seperti puyang bujang kami? Bulu kudukku kembali meremang.
Aku nyaris terjatuh dari kursi ketika Emak menghantam daun pintu rumah dengan keras. Wajahnya pasi dan bibir bergetar, kaki gemetar. Dia menunjuk ke arahku. Lalu menjilati bibirnya yang mengering, seakan hendak berbicara, tapi tak ada sepatah kata yang terucap.
“Kenapa, Mak?” tanyaku setelah mampu berdiri dengan sempurna di atas lantai.
“Ada…,” suara Emak terbata.
“Ada apa?” aku memandang Emak, lekat.
“Ada yang tenggelam di Lematang. Di Napal. Bujang. Tujuh belas tahun.”
Lututku lemas. Seketika ucapan buaya dalam mimpiku itu terasa menggema dalam tempurung kepala: Ritual meminta hujan… darah! ***
.
.
C59-Pali, 2011-2022, 22.20 WIB
Cerpen ini terinspirasi dari cerita horor yang melegenda di kampungku. Cerita untuk istriku; Murni Oktarina.
.
.
Guntur Alam, beberapa cerpennya pernah terpilih dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Seri novel horor urban legend-nya terbit di Elex Media Komputindo, yakni Arwah, Tumbal, Ritual, dan Teman, yang cetak ulang di bulan April 2022. Guntur bekerja sebagai aparatur sipil negara dan tinggal di Penukal Abab Lematang Ilir (PALI), Sumatera Selatan. Dia bisa dihubungi di akun Twitter @AlamGuntur atau Instagram @gunturalam_
.
Dhani Soenyoto bernama asli Nugrahardi Ramadhani, lahir di Lawang tahun 1981. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB ini kini tengah kuliah doktoral dan mengajar di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Aktif menulis, berkesenian, dan menjadi juri di sejumlah kompetisi. Penghargaan yang dia terima antara lain juara Kompetisi Komik Indonesia Kemenparekraf tahun 2012 dan juara Lomba Logo Halal is My Way oleh Halal Corner.
.
Mimpi Jurai. Mimpi Jurai. Mimpi Jurai. Mimpi Jurai. Mimpi Jurai. Mimpi Jurai.
Leave a Reply