Cerpen Raudal Tanjung Banua (Jawa Pos, 23 April 2022)
SETELAH upacara “pemakaman” guruku yang menguras perasaan, aku beruntung menemukan sebuah warung bubur sederhana pinggir jalan, persis di seberang gerbang Lembah Pujian. Di kompleks perumahan berlembah hijau dengan ricik sungai itu, guruku—dan guru banyak orang—menyepi sebelum meninggal. Jenazahnya sudah berada di ruang sunyi kurukudu sekarang, begitulah sebutannya dalam ritual Marapu.
Mengenang kembali hari-hari di seputar wafatnya guruku, entah kenapa aku selalu teringat warung bubur itu, beserta cerita-cerita yang kudengar dari si empunya warung.
Waktu itu aku merasa beruntung bertemu warung bubur Madura tersebut, sebab sejak guruku wafat seminggu yang lalu, pola makanku jadi tak keruan. Kuharap dengan makan bubur, pencernaanku kembali normal. Warungnya kecil saja, bangunan tambahan di pojok rumah, separo gedek, tapi lumayan nyaman. Aku duduk, meletakkan koran pagi yang kubawa, lalu memesan semangkuk bubur. Penjualnya, laki-laki berumur sekitar 45 tahun, tersenyum. Wajahnya simpatik, cukup mengendurkan urat sarafku.
Ia cekatan mengambilkan pesananku dari panci besar di atas gerobaknya. Ketika akan menghidangkannya, aku bilang tolong beri kerupuk yang banyak. Ia berbalik ke gerobaknya untuk menambah kerupuk yang kuminta. Lalu sambil menaruh semangkuk bubur ayam yang mengepul, ia melirik koranku di atas meja, dan berkata dalam logat Madura, “Saya punya pelanggan persis Sampean. Kerupuknya suka dilebihkan.”
“O, ya?” aku bergumam sambil mengaduk buburku. Apa maksudnya berkata begitu? Sekadar mengajak bercakap atau menyindirku? Ah, aku tak peduli! Perutku sudah tak mau kompromi. Lagi pula, buburnya enak. Kupesan pula segelas teh hangat supaya perih lambungku reda setelah “dikoyak-koyak” mag.
Di luar dugaan, si tukang bubur masih berhasrat bicara banyak. Kubiarkan saja. Biasalah, orang dari profesi apa pun senang mengajak bicara pembeli atau pemakai jasanya. Ini masih mendingan. Aku punya tukang pijat langganan yang selalu mengajakku ngobrol saat aku ingin tenang memicingkan mata.
“Tapi ia baru saja meninggal,” katanya pelan. O, sekarang aku paham kenapa kerupuk ini benar jadi pangkal pembicaraan. Ternyata kesukaanku pada kerupuk membuat ia ingat pada mendiang pelanggannya. Dan aku anggap itu hal biasa.
Jujur, aku ingin fokus pada asupan ususku. Maklum sejak kematian guruku, aku kehilangan nafsu makan, kadang hanya makan tipat di kantin, sesekali nasi Padang yang justru membuat lambungku kian mual. Bermula dari pihak rumah sakit yang menyatakan guruku terpapar Covid sehingga jenazahnya dilarang dibawa ke luar pulau. Padahal sebagai keturunan raja, ada banyak ritual menunggunya di tanah kelahiran, Sumba. Perundingan keluarga dengan pihak terkait sangat alot, alih-alih membuatku ikut tegang.
“Kapan meninggalnya?” tanyaku sekadarnya.
“Seminggu lalu, tapi baru kemarin dimakamkan,” ia suguhkan teh yang kupesan.
Deg! Dadaku berdebar. Kok sama dengan guruku? Meski kemarin bukan prosesi pemakamannya sebenarnya. Itu hanya menyemayamkan jenazah sementara, di Taman Makam Kristiani Mumbul, Jimbaran. Jika pandemi usai, ia akan dibawa ke Kananggar, menyatu dengan almarhumah istrinya di reti ma pawiti, kubur batu bangsawan Sumba. Ke sanalah Sang Pengembara Sunyi itu kembali, dan ringkik kuda liar jadi jinak dan kekal. Maka jika benar yang dimaksud si tukang bubur guruku, pasti ia tak tahu arti kurukudu.
“Orangnya tinggi, rahangnya besar, selalu pakai topi, kadang pakai surjan. Saya merasa kehilangan,” nadanya lirih tanpa dibuat-buat.
“Di mana ia tinggal?” aku memastikan.
“Perumahan depan,” tunjuknya. “Bapak itu hidup sendirian. Katanya ia punya anak di Sumba, tapi setahu saya ia tak pernah pulang kampung menemui anaknya. Hanya di sini ia banyak kawan, kabarnya juga sama orang penting. Mungkin karena ia kerja di koran.”
Guruku menempati rumah seorang kawannya yang pengusaha garmen di kompleks Lembah Pujian. Sebuah rumah dengan tumpukan buku, kertas-kertas, dan almanak penuh coretan. Sesak hingga ke anak tangga. Persis rumah yang ditempati dulu bersama kami murid-muridnya, di Jalan Bedahulu. Dan ia memang tak pernah pulang! Aku mulai tertarik mendengar si tukang bubur meski ia akan berhenti saat kedatangan pembeli. Aku yakin kini bahwa sosok yang ia ceritakan tak lain guruku sendiri.
***
Sesudah melayani seorang pembeli, tukang bubur duduk mengenang, “Pelanggan saya itu tak banyak omong, Bli. Ia selalu duduk di sudut situ, dan tanpa saling bicara saya ambilkan bubur buatnya. Ia makan tanpa melihat ke mana-mana. Setelah selesai ia duduk saja berlama-lama. Yang sering saya perhatikan, ia selalu memainkan karet gelang di pergelangan tangan kirinya, di antara gelang akar bahar. Dan jumlahnya selalu tiga helai.”
Begitu saja aku teringat kedua tangan guruku. Di tangan kanan ada tato yang agak samar, di kiri ada sebuah gelang akar bahar. Gelang itu tampak sudah tua, melingkar nyaris kelabu. Ia sudah memakainya sebelum aku mengenalnya dan masih setia dikenakan sampai hari kematiannya. Memang sering pula kulihat ia mengenakan karet gelang, tapi tak pernah kuperhatikan ia memain-mainkannya, apalagi ingat jumlahnya.
Bagi kami murid-muridnya, kegemarannya mengenakan karet gelang sama dengan kegemarannya menenteng kantong kresek hitam ke mana-mana, berisi kertas, buku, atau koran. Jadi tak terlalu mengherankan. Atau ia bawa pulang kardus-kardus bekas pelat cetakan koran untuk alas tidur kami. Itu semua bentuk ketulusan dan kesajahaannya. Kemurnian sikap yang membuat kami betah bertahan dalam perguruan Puisi Kehidupan.
Tukang bubur mulai lagi. “Saya ingat, ia datang kali pertama saat saya sedang baca-baca koran bekas. Ia pesan bubur, minta kerupuk yang banyak, seperti Sampean. Ia katakan senang melihat saya membaca. Saya agak malu. Tapi besoknya ia bawakan saya koran Minggu. Sejak itulah ia jadi pelanggan saya, kadang sehari bisa dua kali ia datang.”
“Tiap kali muncul dari jalan menurun ke lembah itu, ia sudah senyum-senyum. Suatu kali, saya sarankan supaya ia beli rantang. Saya akan isi bubur dengan kuah dipisah. Biar tak repot bolak-balik kemari. Besoknya, betul ia datang menenteng rantang. Tapi kalau ingin ketemu orang-orang, ia tetap ke sini sambil mengajak tamunya makan bubur.”
“Istri saya nangis mendengarnya meninggal,” ia melirik istrinya yang datang dari belakang, membawa mangkuk dan sendok-sendok habis dicuci. “Saat pemakamannya, kami pergi ke Mumbul. Tapi ramai pelayat, juga ada istri gubernur, maka kami hanya menyaksikan upacaranya dari jauh.”
Seakan kudengar kembali suara gong bertalu-talu dalam upacara kurukudu itu. Terbayang kain-kain tenun sewarna cokelat tanah dan merah saga, simbol hidup dan kematian, dibentang hikmat oleh anak-cucu. Kaum kerabat dan sekalian murid tenggelam dalam hening penghormatan. Dan puisi-puisi dibacakan di pelataran.
Sampai aku tersadar ketika istri si tukang bubur, di antara denting mangkuk dan sendok, menimpal, “Bagaimana tak sedih, wong ia penuh perhatian. Anak tertua saya selalu disemangatinya supaya rajin melukis. Anak kami sudah tak sekolah, dulu pernah mondok di Jawa, kini kerja sebagai tukang ojol. Ia senang melukis dan bikin kaligrafi.”
Aku teringat cerita yang sama saat guruku masih di Jogja. Ia menyemangati tukang sapu Pasar Beringharjo dan nongkrong bersama tukang becak dan pengamen Malioboro. Setelah pindah ke Bali, itu tetap ia lakoni. Ia dekat dengan semua satpam di kantor surat kabar tempatnya bekerja. Berteman dengan penjual soto di Pasar Kumbasari dan kuli angkut Kreneng. Ia mengunjungi pelukis dan penari tua di pelosok. Jadi aku juga tak heran mendengar kabar kalau ia dekat dengan tukang bubur dan anaknya.
Setelah melayani seorang pembeli yang pesanannya minta dibungkus, si tukang bubur melanjutkan, “Mungkin kadung dekat, ya, Bli, saat warung tutup dan saya hendak pulang, ia tak segan boncengan naik motor sama saya. Saya tinggal di Kampung Jawa, di sini hanya buat jualan. Dan ia suka numpang sampai perempatan Gatsu, lalu jalan kaki ke Jalan Kepundung, kantornya. Harap maklum, saya selalu bawa panci besar ini pulang. Tapi ia mau memegangnya di belakang. Kadang ia pukul-pukul sambil tertawa. Saat begitu saya tahu hatinya sedang senang.”
Aku pun tak dapat menahan diri untuk tidak tertawa senang.
“Saya juga ngerti kalau hatinya sedang susah. Pernah ia datang dan langsung menuding-nuding menghadap dinding sambil menyebut nama orang penting. Katanya tak becus urus negara. Saya tahu apa, Bli, tapi, ya, tak dengerin terus. Sampai ia reda sendiri dan duduk tanpa bicara. Ia mainkan lagi karet gelang di tangannya.”
Aku ikut tercenung. Lama. Hingga si tukang bubur kembali bicara, “Padahal saya pernah lihat ia mengantongi jam tangan, Bli. Saat itu ia melihat jam karena ada janji ketemuan dengan seseorang. Saya katakan, ‘Kenapa Bapak tak pakai jamnya? Kan bagus daripada karet gelang.’ Dia terdiam. Kemudian dengan nada tinggi ia bilang, ‘Lho, ini lebih berarti dibanding jam paling mahal, lho!’ Sejak itu saya tak pernah menegur begitu lagi. Tapi saya makin senang memperhatikannya memainkan karet gelang.”
“Anehnya, karet gelangnya selalu tiga helai. Memang bukan karet yang sama, tapi jumlahnya kok tetap sama? Heran saya! Jika lebih, ia sisihkan ke bagian atas tangannya, dibatasi gelang akar bahar. Atau ia buka sekalian. Hanya yang tiga helai tetap di pergelangan tangan. Itu ia main-mainkan terus, ditariknya pelan, dipilin atau diusapnya.”
Dua orang pembeli datang naik sepeda motor. tukang bubur segera melayaninya.
***
Jujur, aku tertarik pada karet gelang yang disebut-sebut si tukang bubur. Aku pikir, detail juga ia memperhatikan seseorang. Mungkin karena itu pelanggan istimewa? Menyesal aku tak pernah memperhatikan sejauh itu. Jangan-jangan ini bentuk kurang perhatiannya aku pada sang guru? Aku terbayang lagi wajahnya, o, teramat teduh dan indah!
Semalam ada penghiburan dari bapak pendeta. Ia mengurai makna hidup dan mati, tentang nama yang abadi karena dicintai. Saat khotbah berlangsung, terdengar bunyi pintu terbuka di lantai atas. Kami saling lirik, termasuk bapak pendeta. Lalu langkah kaki, cepat tapi tak tergesa. Anak perempuan almarhum tersenyum. “Ayah masih di sini,” bisiknya.
Mengingat itu kelopak mataku menghangat. “Nama Sampean siapa, Mas?” seolah butuh pengingat yang lain, spontan kutanyakan nama si tukang bubur.
“Sya’roni. Asli Bangkalan. Dulu nikah tak direstui mertua, akhirnya kami ke Bali.”
Aku tersenyum. “Apakah orang yang Mas Sya’roni ceritakan bernama Umbu?”
“Kok Bli tahu?”
“Beliau guru saya,” kata-kata itu lepas dari kelu bibirku. “Saya dari Jogja. Dengar beliau sakit, saya datang. Sayang beliau keburu pergi,” suaraku tercekat.
Tukang bubur terpana menatapku. “O, dari Jawa Sampean, Mas?” ia spontan mengubah panggilannya dari “Bli” ke “Mas”, seolah mengalihkan pembicaraan dan perhatianku yang sedih.
“Ya. Anak-anak beserta cucu-cucunya juga datang dari Sumba….”
“Maaf,” potongnya tiba-tiba, “Anaknya ada berapa, ya, Mas? Ia selalu bilang anak-anaknya banyak jika saya tanya. Sejak itu saya tak mau bertanya lagi.”
“Tiga orang,” jawabku. “Semua datang kok. Yang banyak itu muridnya, dan memang dianggap seperti anak sendiri.”
“Ya, Rabi, saya tahu rahasianya sekarang! Tiga helai karet gelang! Tiga helai! Tak lebih tak kurang! Yakin, itu maksudnya anak-anaknya, Mas, Bli!” ia gugup sehingga menyebut panggilanku dua kali. “Walau tak pernah pulang, ia ingat anaknya terus,” tukang bubur setengah bergumam, antara kaget dan takjub.
Aku membenarkan dalam hati: ya, tiga anak ia tinggal pergi, tapi ternyata selalu dibawanya di pergelangan tangan, dibelainya persis di urat nadi. Kami sama larut terharu. Teka-teki jumlah karet gelang kini terjawab sudah, berupa kemuliaan seorang ayah!
Saat membayar pesananku, aku salami si tukang bubur dan kurangkul. Ricik sungai di lembah terasa berpindah ke dalam pelukan kami. Kemudian aku pamit pergi.
“Mas, korannya ketinggalan!”
“Buat Sampean,” jawabku dari seberang jalan. ***
.
.
April-November-Februari 2021-2022
RAUDAL TANJUNG BANUA. Tinggal di Bantul. Buku terbarunya, Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan.
.
Tiga Helai Karet Gelang di Tangan Seorang Ayah. Tiga Helai Karet Gelang di Tangan Seorang Ayah. Tiga Helai Karet Gelang di Tangan Seorang Ayah. Tiga Helai Karet Gelang di Tangan Seorang Ayah. Tiga Helai Karet Gelang di Tangan Seorang Ayah. Tiga Helai Karet Gelang di Tangan Seorang Ayah.
Leave a Reply