Sajak-sajak Edy Firmansyah (Jawa Pos, 30 April 2022)
MENYAMBUT LEBARAN
.
Mari sambut Lebaran
kemacetan di tengah hilal
kota ini maaf yang lekas jadi pudar
seperti ledakan kembang api
menghamburkan cahaya warna-warni
meriah semu
takbir rasa sakit
struk harga-harga
menciptakan asma
hanya angin wabah
membuat gerah
dan kampung yang tidur
terjaga derap kaki mudik
yang lupa pulang
ke dalam masa lalu
.
/2022
.
.
.
BISIK SUARA-SUARA
.
Suara-suara itu membisikkan
kepadamu bahwa kau akan berada
dalam kolak pisang
centang perenang di kolam santan
antara ketan hitam
dan bubur mutiara mengambang
.
Maka kau mengkhayalkan
berenang di kolak pisang
seperti ikan di sungai
sedang mulut-mulut di sekelilingmu
menahan perih lapar puasa
hingga beduk magrib tiba
dan kolak pisang berpindah ke lambung terbakar
kau berenang-renang dalam lambung
bertemu dengan gadis kesepian
namun lekas berpisah di labirin usus
berakhir di lubang kakus
.
Betapa puasa adalah kesunyian masing-masing
antara kolak pisang dan lambung terbakar
kau ada dalam tiada
tiada dalam ada; waktu
.
/2022
.
.
.
LANSKAP PERJALANAN
.
Dari bangku belakang bis antarkota
kulihat ratusan antena menuding ke barat
ke arah mana aku harus berangkat
.
Kusaksikan juga laut berkilauan
ombak begitu ramah
langit biru dan terang
pepohonan bakau kian jarang
seekor camar terbang sendirian
jadi teman bagi sepi
mempersiang segala yang pergi
.
Pasar Ikan Tanjung baru saja lewat
tak kucium amis ikan sebab hidung mampet
.
Tapi masih bisa kurasakan sesak dada nelayan
susah payah menuntun sampan ke pantai
kulitnya yang legam terbakar
seperti kulit nasibnya yang hitam
dipanggang api penjajahan
yang tak pernah usai
.
Di sampan itu kulihat anak perempuannya
berdiri memeluk tiang layar
memandang jalanan
memandang bis yang ringkih berjalan
tatapannya, kosong
sekosong tangki diesel perahu
menderu tersendat-sendat menjelajahi laut-Mu
.
Tapi, jauh di horizon selat itu
sebuah cerobong mengepulkan asap hitam
pengeboran minyak lepas pantai terus berjalan
tapi bukan untukmu, wahai anak-anak nelayan
.
Dari bangku belakang bis antarkota
sajakku menggigil
seperti demam flu
di tubuhku
.
.
.
MUDIK
.
Sebentar lagi, sebentar lagi, ibu
begitu matahari terlelap dalam kumandang takbir
aku akan melipat baju, menggendong ransel, pulang ke pangkuanmu
meski aku tahu, tangan tak lagi bisa menyentuh tangan
hanya dingin pusara kusentuh
doa-doa masih utuh
.
/2022
.
.
EDY FIRMANSYAH. Lahir di Pamekasan, Madura. Menulis puisi, prosa, dan esai. Buku antologi puisi tunggalnya yang pernah terbit, antara lain, Derap Sepatu Hujan (Indie Book Corner, 2011) dan Ciuman Pertama (Penerbit Gardu, 2012). Sementara itu, buku puisi terakhirnya yang segera terbit berjudul Ciuman Terakhir (Penerbit Diomedia, 2022).
.
BISIK SUARA-SUARA.
Leave a Reply