Cerpen, Media Indonesia, Raudal Tanjung Banua

Rumah Makan Kelok Awas

Rumah Makan Kelok Awas - Cerpen Raudal Tanjung Banua

Rumah Makan Kelok Awas ilustrasi Budi Setyo Widodo (Tiyok)/Media Indonesia

4.1
(14)

Cerpen Raudal Tanjung Banua (Media Indonesia, 24 April 2022)

GEMBIRA betul pemuda perantauan itu sampai di kawasan perbukitan Kelok Awas. Meski jalan naik-turun berkelok-kelok menambah rasa lelahnya mengemudi, ia tak peduli. Kawasan itu sudah dekat kampungnya.

Paling membuatnya senang tak terkira-kira adalah selepas kelokan besar yang disebut Kelok Awas karena begitu patahnya (“Setajam siku,” kata orang-orang) ia akan sampai di tempat itu, tempat yang selalu ia bayangkan selama perjalanan: sebuah rumah makan.

Ya, sebuah rumah makan tak jauh dari kelok patah siku. Kecil saja. Dinding-dindingnya menempel ke tebing bukit. Halamannya hanya menampung tiga hingga lima minibus, itu pun harus mepet ke tepi jalan.

Rumah makan Kelok Awas (demikian ia disebut, meski di plangnya bertuliskan ‘Rumah Makan Dua Putri’), cukup puas menerima penumpang kendaraan kecil, mulai pick-up, mobil boks kanvas, kendaraan keluarga dan sesekali mobil pelat merah. Yang terakhir ini, setiap ada pegawai kota kabupaten berdinas ke selatan, pasti berhenti di warung ini. Dan tempat di mana pegawai negeri suka makan berombongan, konon pertanda hidangannya enak. Maka tak pelak, sejak lama rumah makan Dua Putri terkenal meski lebih terkenal lagi sebutan rumah makan Kelok Awas.

***

Dalam perjalanan dari kota rantauannya di sebuah pulau yang berbatasan dengan Singapura, ia berjuang untuk berpuasa. Meski sebagai musafir ia boleh tidak berpuasa, suasana surau masa kecilnya selalu terbayang, beserta buya, guru mengajinya, yang tetap berpuasa saat ke sawah atau ke ladang. Ia menghormati sang guru dengan cara tetap berpuasa dalam perjalanan.

Selepas siang setelah mendarat di bandara, ia singgah di kantor cabang. Berbasa-basi sebentar, lalu menerima kunci kontak dan surat kendaraan dari sekuriti. Si sekuriti sempat menyarankan besok saja melanjutkan perjalanan. Mengingat jarak tempuh antara 4-5 jam. Ia akan malam melewati kawasan perbukitan yang sepi. Namun, ia familier dengan jalur selatan.

Satu hal, ia akan berhenti di rumah makan Kelok Awas. Makan sepuasnya setelah bertahun tak pernah lagi ia singgahi. Semua menu akan ia gasak, tentu tak lupa gulai kepala ikan kerapu yang sangat disukainya. Hanya dulu ia harus sepenuhnya berhemat untuk bisa makan. Sebagai sopir pick-up pengantar ikan pindang ke kota kabupaten, ia tak banyak dapat upah. Lagi pula ayahnya menanggung sakit menahun. Uang harus ia kumpulkan untuk membawa sang ayah rutin ke dokter.

Ah, mobil itu sudah tua, berderak dan melenguh menaiki bukit pendakian. Namun, itu pula alasannya untuk selalu berhenti di rumah makan Kelok Awas. Mendinginkan mesin atau mengisi air radiator. Tak lupa menatap makanan-makanan dari balik kaca etalase. Jika ia merasa ada uang agak lebih, barulah ia masuk dan makan. Namun, kali ini, ia akan membalaskan semua dendamnya dengan lunas!

Baca juga  Romantisme Cinta si Buta dan si Bisu

***

Bukan hanya soal makan tak terjangkau yang membuatnya dendam. Juga hasrat tak sampai! Ia tak tahu apakah soal ini juga bisa ia bayar dengan lunas.

Begitulah dulu. Setiap kali berhenti di rumah makan itu, ia akan mencuri pandang kepada dua orang anak gadis pemilik rumah makan. Sepasang gadis cantik yang sibuk membantu ayah-ibu mengelola warung. Selain keduanya, juga ada dua anak laki-laki tanggung yang mengangkut kayu, menyalakan api dan mencuci kuali-kuali besar, dan satu-dua bocah yang sibuk bermain.

Saat itu ia sering berpikir, bagaimana anak-anak itu bersekolah dan bergabung dengan anak-anak sebaya di kampung? Jarak kampung dan sekolah cukup jauh. Tapi, tampaknya mereka tak dikondisikan untuk itu. Semuanya diarahkan untuk sibuk di dapur.

Urusan di dalam rumah makan, tampak sepenuhnya dikuasai sang ayah. Menghidangkan makanan sekaligus jadi kasir. Si ayah yang bertubuh tambun dan bermuka dingin itu akan menarok berderet-deret piring aneka menu di atas telapak tangannya hingga batas lengannya yang gempal, dan membawanya dari meja satu ke meja lain dengan amat cekatan.

Hanya sesekali saja anak-anak gadisnya membantu di ruangan itu jika tamu sedang ramai. Pakaian mereka seadanya dan mereka tampak kumal dan lelah.

Namun, ia melihat kecantikan tersumbul di wajah si gadis, terutama si kakak yang berhidung bangir dan rambut sebahu. Pernah suatu kali ia mencoba hendak mendekat, ingin memulai percakapan dengan sapaan, tapi si ayah sudah memanggil, “Piring, cepat!”

Kali lain dicobanya lagi mendekat. Tapi si ayah seketika berteriak, “Tambah rendang!” Si gadis gegas ke belakang, mengambil dan mengantarkan rendang dalam cambung besar.

Dengan begitu ia tahu bahwa si gadis selalu di bawah pengawasan si ayah. Akibatnya ia bahkan tak tahu nama si gadis. Ini membuatnya tambah penasaran.

Ia tak tahu dari mana keluarga itu berasal, pemiliknya bukan orang kampung terdekat, mereka punya aksen berbeda jika bercakap. Ada yang bilang mereka dari daerah perbatasan, memberanikan diri buka warung di tempat sawang yang angker. Beberapa kali bus dan truk terjungkal di Kelok Awas, menewaskan penumpang atau sopir atau kernetnya. Arwah mereka konon sering gentayangan. Belum lagi cerita masa lalu, ketika banyak korban Peristiwa 65 dihabisi di sana. Mayatnya dilempar ke jurang yang berbatasan langsung dengan laut.

Baca juga  Tawa Mbak Joyo

Keinginan berbasa-basi kepada laki-laki pemilik rumah makan pun selalu gagal. Ia merasa tak nyambung. Si kasir tak pernah senyum. Sesekalinya, jika ketemu lawan bicara yang cocok, langsung tertawa, yang terdengar lebih buruk daripada ia tak tersenyum.

***

Ia sampai di Kelok Awas bertepatan dengan waktu berbuka puasa. Tak ada masjid di sekitar situ, tak ada azan. Namun, dari jam tangannya ia tahu waktu berbuka sudah tiba.

Dari kaca mobil ia lihat banyak yang berubah. Bangunan tua dan lapuk. Papan nama miring, dibiarkan. Suasananya sepi. Namun, ia pikir wajar. Mungkin sekarang orang jarang berhenti sebab jalan sudah bagus dan tak bikin lelah. Buktinya, ia bisa sampai di Kelok Awas sejam lebih cepat.

Segera ia masuk, duduk di meja sudut, dan pesan minuman untuk berbuka. Caranya memesan sangat meyakinkan. Suaranya dikeraskan penuh wibawa. Ia pun sudah bersiap menyapa jika nanti bunga rumah makan itu melintas. Sudah beranak atau masih gadis, sudah tak secantik dulu atau tambah cantik, ia tak peduli. Ia akan menyapa minimal dengan dua-tiga patah kata. Hanya dengan begitu sesak di dadanya bisa lepas.

Ia tak akan cemaskan lagi panggilan si ayah. Ia akan bersikap sebagai lelaki yang punya kepercayaan diri. Apa yang ditakutkan? Si wajah dingin itu boleh tak takut tinggal di tempat sawang, tapi dia sendiri ‘kan tak pantas ditakuti oleh orang yang datang? Sialan, kenapa dulu ia merasa takut sekalipun hanya mendengar suaranya? Ia nikmati jus pinang muda pembatal puasa. Sejuk. Si pelayan tambun sekaligus kasir itu lalu menghidangkan makanan aneka menu. Masih secekatan dulu. Dentang piring dan denting sendok beradu seolah memancing menghidupkan suasana yang masih ngelangut. Hmmm, mungkin lantaran ia belum melihat bunga rumah makan.

Kali ini, dengan suara lebih keras, dipintanya lagi seporsi khusus gulai kepala ikan kerapu. Namun, si pelayan hanya menggeleng.

Ia melanjutkan makan sambil ujung matanya mencari-cari sesuatu. Namun, yang ia cari tak ketemu. Ke mana gadis kakak-beradik itu? Sampai ia selesai, tidak ada tanda mereka akan melintas.

Ia ingin bertanya kepada kasir, ayah mereka, tapi tiba-tiba ia merasa tak enak hati. Rasa percaya dirinya goyah. Boleh jadi ia belum bisa sepenuhnya membebaskan diri dari kungkungan rasa rendah diri di masa lalu. Atau, ia tak siap kecewa. Ia mencoba tenang: mungkin belum saatnya. Kapan-kapan ia bisa kembali ke sini, toh tak terlalu jauh dari kampungnya.

***

Ia sampai di rumah ketika ibu dan adik perempuannya bersiap-siap berangkat salat Tarawih. Ia hendak langsung diajak makan, tapi dijawabnya, “Saya sudah berbuka dan makan tadi. Di rumah makan Kelok Awas.”

Baca juga  Kaya

Ibu dan adiknya berpandangan.

“Mak dan adik lanjut saja ke masjid. Saya istirahat dulu,” ujarnya lagi sambil mengeluarkan telekung untuk adik dan ibunya, oleh-oleh Lebaran dari rantau.

Ia terbangun saat ibunya menyiapkan makan sahur. Ia ceritakan tentang makanan kesukaannya yang tak ketemu di Kelok Awas.

“Semua menu tentu sudah tak ada di sana. Warung itu, kan sudah lama tutup karena suatu perkara,” jawab ibunya pelan, cemas.

“Maksud Mak?”

“Kejadiannya bulan puasa juga, dua tahun lalu. Ada laki-laki dari kampung bawah sering menjemput anak perempuan di warung itu. Katanya untuk salat Tarawih, sebab si gadis, kau tahulah, jauh ke mana-mana.”

“Yang dijemput anak yang besar atau yang kecil?” ia menyelidik ingin tahu. Sebab ia dulu tergila-gila pada si kakak.

“Ndak tahulah. Yang jelas, suatu malam si gadis telat pulang. Ayahnya marah besar. Ia gampar si laki-laki, tapi gara-gara itu, besoknya ramai bahwa si ayah sudah bertahun-tahun memerkosa dua anak tirinya itu! Si kakak lama-lama tertekan dan mati minum racun. Adiknya kabarnya masuk rumah sakit jiwa. Si ibu dan adik-adiknya entah ke mana.”

“Jadi kedua gadis itu anak tirinya?”

“Iya, ternyata.”

“Astaga…. Lalu, di mana ayah bejat itu sekarang?”

“Sempat dipenjara. Ia mati gantung diri dengan kain sarung di selnya. Ya sejak itulah rumah makannya ditinggal begitu saja, terbengkalai.”

“Berarti semalam saya berbuka di mana?” ia merasa terhantar ke dunia antah-barantah.

“Itulah. Jika benar kau makan di Kelok Awas, itu satu-satunya warung di sana, kan? Bangunannya sudah kosong. Tapi, boleh jadi kau sudah lupa. Mungkin kau makan bukan di warung itu, tapi di warung lain dekat Kelok Awas,” ibunya mencoba menenangkannya.

”Entahlah, Mak,” jawabnya gamang. Namun, dalam hati ia merasa pasti bahwa ia telah berhenti di warung Dua Putri. Plang namanya ia ingat betul. Meski miring, tapi masih lekat seperti dulu. ***

.

.

Yogyakarta, April 2022

Raudal Tanjung Banua, tinggal di Bantul, Yogyakarta. Buku terbarunya, Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan. Mengelola Akar Indonesia dan Komunitas Rumahlebah.

.

Redaksi menerima kiriman naskah cerpen, ketik sebanyak 9.000 karakter, karya orisinal dan belum pernah diterbitkan di media massa lain. Kirim e-mail ke cerpenmi@mediaindonesia.com

.

Loading

Average rating 4.1 / 5. Vote count: 14

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!